Angkot di Kota Bandung sudah mulai memasuki usia senja. Moda transportasi yang pernah menjadi primadona hingga awal tahun 2010-an itu, kini sudah mulai ditinggalkan penumpang lantaran dianggap sudah ketinggalan zaman dengan menjamurnya transportasi online.
Meski sudah tak lagi menjadi unggulan, sejumlah pihak masih terus mengusahakan agar industri angkot tidak padam di wilayah Ibu Kota Jawa Barat. Salah satunya, seperti yang dilakukan Koperasi Angkutan Masyarakat atau Kopamas, sebagai paguyuban dari para sopir dan pengusaha angkot di Kota Bandung.
Ketua Kopamas Budi Kurnia pun sadar betul angkot kini sudah mulai ditinggalkan publik. Dulu, Kopamas mengelola 4 trayek dengan total jumlah armada 218 unit. Setelah menjamurnya transportasi online, ditambah pandemi yang melanda Kota Bandung, kini jumlah armada yang dikelola Kopamas hanya mencapai 140an unit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena memang angkot sekarang sudah ditinggalkan," kata Budi mengawali perbincangannya dengan detikJabar saat ditemui di kantor Kopamas di kawasan Sarijadi, Kota Bandung, belum lama ini.
Sejak dulu, koperasi yang berdiri pada tahun-79 ini sudah terkenal oleh publik sebagai koperasi pengelola angkot di jalur lintas Bandara Husein Sastranegara, Kota Bandung. Ada trayek yang mereka kelola yaitu jurusan ST Hall-Sarijadi dengan nomor 13, ST Hall-Gunung Batu Nomor 14, Pasar Sederhana-Cimindi nomor 24 dan Cibogo Atas-Andir nomor 36. Khusus untuk jurusan terakhir, terpaksa ditutup karena adanya kebijakan dari TNI AU mengenai area di zona Bandara Husein.
Saat masih berada di masa jaya-jaya sekitar tahun 90-an hingga 2015, Budi mengungkap para sopir maupun pengusaha angkot bisa menggantungkan hidupnya kepada usaha tersebut. Tak ayal, dulu bahkan pendapatan sopir bisa lebih besar 2-3 kali lipat dibanding para pengusaha yang mendapat setoran setiap harinya dari para sopir angkot.
"Di angkot, kita bisa buat jadi sandaran hidup. Ada yang bisa menyekolahkan anaknya sampai lulus SMA, sampe lulus kuliah, bahkan ada yang sampe punya gelar tinggi dari angkot. Karena dulu, setoran Rp25-Rp50 ribu, pendapatan sopir bisa nyampe Rp 150 ribu per hari. Itu pas harga semen juga masih Rp 1.400 per sak yah," tuturnya.
Namun kondisi itu berubah saat memasuki tahun 2015-an ketika era transportasi online masuk ke Indonesia. Di Kota Bandung, transportasi online juga langsung diminati publik lantaran saat itu menawarkan kemudahan bagi warga untuk berpergian ke mana saja.Imbasnya, angkot pada waktu itu perlahan mulai ditinggalkan penumpang.
"Masalahnya bukan di persaingan usaha sebetulnya, bukan. Karena kami juga setuju tidak boleh ada monopoli angkutan. Tapi yang kami tentang itu soal aturannya, sampai saat ini ada nggak regulasi yang mengatur transportasi online? Nggak ada. Kalau memang mereka (transportasi online) mau beroperasi, harusnya dikenakan regulasinya tentang angkutan juga. Ini mah kan nggak jelas," ucapnya.
Padahal menurut Budi, para sopir dan pengusaha angkot juga turut menyumbang pendapatan terhadap negara, khususnya di Kota Bandung. Setiap hari mereka membayar retribusi Rp 1.500 per angkot kepada pengelola terminal, per 6 bulan membayar retribusi uji KIR kepada pemerintah daerah dan per 5 tahun membayar retribusi perpanjangan izin trayek.
"Nah dari 3 hal itu, mereka (transportasi online) bayar Nggak? Ya Nggak. Itu sebetulnya yang kami, Kopamas sorot. Kalau memang mau jadi angkutan massal, ya aturannya juga harus ikut dong, jangan Nggak jelas begini. Karena kami pun bayar pajak ke negara," kata Budi.
Beban industri angkot makin berat saat pandemi melanda. Kota Bandung saat itu melakukan pengetatan mobilitas warga supaya angka kasus penularan Corona bisa ditekan.
Karena adanya kebijakan tersebut, para sopir dan pengusaha angkot di Kota Bandung jadi merana. Mereka tak bisa lagi mengandalkan pemasukan dari usahanya, bahkan ada yang harus berhenti total lantaran tak sanggup lagi menutup biaya operasional.
"Banyak pengusaha yang udah nyerah pas pandemi, akhirnya mobilnya juga dijual. Itu banyak. Yang bertahan, waktu itu akhirnya ngasih keringanan setoran ke sopir. Kalau mau narik, setornya cuma Rp 30 ribu, ada yang Rp 15 ribu, bahkan ada yang sampe enggak usah setor sopirnya. Yang penting sopir bisa nyari uang dulu pas pandemi," tuturnya.
Imbasnya, angkot yang dikelola Kopamas langsung turun drastis. Bahkan menurut perkiraan, dari 5.521 angkot di seluruh Kota Bandung, langsung berkurang setengah akibat kondisi pandemi COVID-19. "Karena udah enggak sanggup, banyak yang menyerah akhirnya di dunia angkot," ungkapnya.
Kini setelah pandemi mereda, Budi dan para anggota di Kopamas berkomitmen mengembalikan lagi masa-masa emas angkot seperti di era sebelumnya. Sejumlah hal telah pihaknya siapkan karena memang publik sudah mulai leluasa lagi melakukan mobilitas, termasuk menggunakan angkot sebagai transportasi mereka.
"Kami punya komitmen angkot harus bisa terus bertahan, karena historinya panjang banget. Saya 85 itu jadi kenek, tahun 92 jadi sopir angkot, dan sampe sekarang jadi pengusaha angkot. Makanya, sekarang kita lagi siapin beberapa strategi, salah satunya untuk merubah citra angkot supaya bikin masyarakat itu nyaman dan aman," terangnya.
Di sisi lain, Kopamas juga intens menjalin hubungan dengan pemerintah untuk tetap menjaga eksistensi angkot. Sebab diketahui, Pemkot Bandung berencana mengusung program transformasi transportasi dengan menghadirkan 14 koridor bus rapid transit (BRT) di wilayah perkotaan.
"Karena di 2024 akhir atau 2025 awal itu akan ada BRT, ini kan mengerikan bagi kami, angkot bakal padam. Kalau tidak diupayakan, angkot kami bakal lenyap. Makanya kita terus upayakan supaya angkot enggak berhenti," ucapnya.
"Kami sudah bicara dengan anggota, nanti akan ada penataan trayek. Rencananya akan kita geser jadi AKDP. Karena kalau ada BRT, otomatis trayek angkot ikut hilang. Nah, kita mau angkot ini jadi transportasi feeder, supaya ada kesinambungan dan sopir serta pengusaha angkot juga enggak jadi bangkrut akibat ini," ujarnya.