Namanya adalah M Akbar Nurul Fitrah. Ia merupakan murid kelas 6 di SDN 206 Putraco Indah, Kelurahan Turangga, Kecamatan Lengkong, Kota Bandung yang tergolong sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah itu. Meski memiliki 'kekurangan', Akbar tak canggung untuk bermain dengan teman sebayanya saat pelajaran dimulai.
Akbar diketahui mengidap Pervasive Developmental Disorder-Not Otherwise Specified (PDD-NOS), atau semacam gangguan pada anak yang menimbulkan autisme. Akbar telah dinyatakan mengidap gangguan itu sejak berumur 1,5 tahun. Meski demikian, ibu Akbar, Sinta Destiati tak lelah memberikan kasih sayang kepada anak pertamanya supaya terus berkembang.
Saat berbincang dengan detikJabar, Sinta sudah menyekolahkan Akbar di SDN Putraco Indah dari kelas 1. Sinta memang sengaja memilih sekolah tersebut karena direkomendasikan tetangganya yang kebetulan merupakan guru di SD ini. Ditambah, SDN Putraco Indah sudah sejak lama dikenal warga dengan label sekolah inklusi yang menerima anak-anak berkebutuhan khusus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keberadaan sekolah ini pun dirasakan oleh Sinta. Akbar yang tadinya tergolong anak yang sulit diatur karena gangguan autisnya, kini perlahan sudah mulai bisa fokus dan bisa diarahkan ke beberapa kegiatan positif. Bahkan, perkembangan motorik dan akademik anaknya juga berkembang seiring mengikuti pelajaran di SDN Putraco Indah.
"Iyah ada perubahan, banyak malah. Kayak udah mulai bisa ngikutin, nurut gitu yah, asalnya kan nggak, apa-apa susah diatur. Akbar dulunya suka lari-lari ke mana, sekarang mah sudah mulai bisa nurut. Sudah mulai bisa fokus kalau diarahin sama gurunya," kata Sinta saat ditemui di sekolah, Kamis (28/7/2022).
Perkembangan Akbar juga dipengaruhi bertambahnya usia. Namun, bagi Sinta, lingkungan sekolah yang justru menjadi faktor utama Akbar bisa berkembang seperti sekarang. Sebab menurutnya, SDN Putraco Indah telah membantu perkembangan anaknya melalui pola ajar yang tepat kepada anak-anak berkebuhan khusus.
Salah satunya yang begitu dirasakan Sinta, yaitu tidak adanya tembok pembatas antara siswa reguler dengan siswa berkebutuhan khusus di sekolah itu. Mereka berbaur bahkan turut membantu perkembangan Akbar yang memang tergolong anak autis.
"Lingkungan sekolah mendukung banget di sini, apalagi kan inklusi. Teman bermainnya juga ngedukung, dia di sini main bebas sama yang reguler. Terus di sini mah enggak ada buly-buly yah, kalau di luar kan kadang suka ada. Yang ngisingen mah kadang suka ada aja, kalau di sini enggak ada. Akbarnya betah di sini," ucapnya.
Menjelang kelulusan, perkembangan Akbar sudah terasa. Anak umuran 12 tahun itu sudah mulai bisa menulis, bercerita kepada Sinta mengenai aktivitasnya di sekolah, atau cerita tentang kegiatan teman sebayanya tatkala bermain bersama Akbar. Disamping, Akbar memang anak yang secara otodidak sudah bisa membaca sebelum ia masuk TK.
"Pengennya mah saya yang inklusi lagi, supaya perkembangannya terkontrol. Kalau masuk ke negeri umum takut Akbar-nya enggak bisa ngikutin," tuturnya.
Sinta bersyukur bisa menyekolahkan anaknya yang autis itu di SDN Putraco Indah. Selain bisa membantu tumbuh kembang anaknya, guru-guru di sekolah itu juga turut membantu mengontrol perkembangan Akbar hingga seperti sekarang.
Sementara, guru olahraga SDN Putraco Indah Septian Mulyadi mengatakan jika pola pembelajaran sekolahnya tak membedakan antara siswa reguler atau ABK. Sebisa mungkin, para guru akan mencampur para murid supaya bisa memunculkan rasa saling menghargai di tengah perbedaan tersebut.
"Jadi kita menanamkan sejak dini, kalau anak-anak sejak kecilnya tidak membuli, sudah dewasanya itu enggak. Kita di sini mengajarkan anak-anak main bareng, bagaimana caranya mereka bisa babarengan (bersama) dan anak yang ABK ini jangan sampai dia berpikir bahwa saya dibedakan," katanya.
Sejak awal masuk sekolah, siswa yang reguler juga sudah mulai diberi pemahaman jika mereka memiliki teman yang 'berbeda' secara mentalitas dengan mereka. Sehingga setelah anak-anak yang reguler ini naik kelas, mereka sudah mulai mengerti memiliki teman sekolah yang berkebutuhan khusus.
"Anak kelas satu kan belum sadar dia punya teman berbeda, makanya sejak dini kita tanamkan itu di sini. Kalau udah naik kelas baru mulai sadar oh anak ini beda sama saya. Makanya, sejak kelas satu itu ditonjolkan harus bisa maen bareng, jadi ketika mereka naik ke kelas yang lebih tinggi bisa menghargai teman-temannya yang itu tanpa ada yang Namanya pembullyan," tuturnya.
Guru-guru di sekolah itu juga punya konsep dalam menangani ABK yang mereka sebut tutor sebaya. Konsep ini bertujuan supaya anak-anak reguler bisa ikut membentuk anak berkebutuhan khusus dalam perkembangan motorik dan akademiknya.
Pada penerapannya, Septian menyebut guru di sana akan membiasakan anak-anak yang reguler untuk menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus. Mereka diharuskan berbaur yang bisa turut membantu perkembangan ABK.
"Guru kan enggak bisa yah menangani satu-satu, jadi pakai tutor sebaya itu. jadi enggak usah dikasih tahu, anak yang reguler bisa membantu sendiri karena memang udah dibiasakan. Makanya timbul rasa sosialnya bagus. Orang tua yang reguler juga bisa saling bantu dengan orang tua anak berkebutuhan khusus nantinya," ucapnya.
Selain di lingkungan sekolah, ABK di SDN Putraco terus dipantau perkembangannya saat di rumah. Guru-guru di sana tak pernah lepas komunikasi dengan para orang tua supaya perkembangan anak-anak tersebut bisa terus berkembang.
Sebagai contoh, jika di sekolah anak tersebut dibiasakan tidak manja, maka di rumah pun harus diberlakukan tindakan yang sama. Karena menurut Septian, orang tua tak jarang melakukan kebiasaan lamanya yang akhirnya menghambat terhadap perkembangan anak berkebutuhan khusus.
"Intinya komunikasi dengan orang tua, kalau enggak ada kerjasama dengan orang tua pasti percuma. Misalnya di sini dia enggak dimanja, tapi di rumah malah dimanja. Makanya kita sama orang tua sering komunikasi, karena tanggungjawab orang tua lebih besar kalau di rumah," ungkapnya.
"Akhirnya, kita, guru di sini sama orang tua yang ABK itu udah enggak canggung lagi, udah enggak ada batasan. Kalau ada apa-apa soal anak itu, biasanya sering kita diskusikan sama orang tuanya. Begitu juga sebaliknya, udah enggak kagok lagi lah," kata Septian mengakhiri perbincangannya dengan wartawan.