Senyum tipis Eman Supiatna menjadi pembuka pertemuan dengan detikJabar di Gang Kaswari, Sukabumi, belum lama ini. Kulitnya yang keriput menjadi pertanda usianya tak lagi muda.
Pria 61 tahun itu menjadi saksi nyata berdirinya Mochi Lampion yang kini terkenal sebagai oleh-oleh khas Kota Sukabumi. Bisa dikatakan, Eman menjadi saksi hidup di sana yang mengetahui seluk beluk panganan kenyal itu.
Meski tak lagi muda, ingatan Eman masih melekat kuat saat ditanya perjalannya sebagai penjaja dan pembuat mochi. Sebelum bekerja di bidang mochi, Eman bekerja serabutan. Segala jenis pekerjaan mulai dari buruh hingga pengrajin miniatur ia lakoni.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sampai waktunya ada salah satu kenalan yang mengajaknya menjajakan Mochi Lampion. Saat itu, pembuat mochi di Sukabumi seorang pribumi bernama Engkus Kuswandi.
"Dulu saya kerja serabutan, cuman ada teman nawarin kerja di mochi. Dulu kan nggak laku kaya sekarang, dulu kita nganvas (sales kanvas) karyawannya cuman tujuh orang," kata Eman.
Bertahun-tahun menjadi sales kanvas ke Bogor, Sukabumi dan Bandung dilakukan Eman. Mochi dipikulnya dan berpindah dari satu bus ke bus lain.
"Kadang pulang nggak laku dibawa lagi, dulu yang ngantre bukan yang bagus tapi yang bekasnya, diolah bikin dodol. Sampai dibuang di jalan karena dipikul berat," ujarnya.
Masa lalunya menjadi sales kanvas juga tak cukup sampai di situ. Pernah suatu ketika dalam satu minggu itu tidak ada mochi yang terjual dan ia tak menerima gaji atau upah.
"Satu minggu terus-terusan nggak laku, tapi kita nggak nyerah. Bahkan pabrik pernah mau dijual saking kolapsnya. Bos ini nggak nyerah, tiap ada pengunjung yang pengen nyoba mochi itu disajikan dengan teh hangat dan disiapkan bangku, biar makan mochi itu enak (suasanya). Jadi dari mulut ke mulut akhirnya terkenal di situ," kenang Eman.
"Kadang-kadang kita nggak gajian, karena dulu kan belum berkeluarga, jadi nggak ada tuntutan. Nggak gajian juga nggak masalah, karena perusahannya belum mapan seperti sekarang," tambahnya.
Berkah Konsistensi Eman
Puluhan tahun kemudian, kemampuan membuat Mochi diturunkan kepada Eman. Kini, dia menjadi Kepala Produksi yang membuat 2.500-5.000 box mochi per hari.
Eman menjelaskan, proses pembuatan mochi tidak mudah. Apalagi dulu belum ada mesin untuk mengaduk adonan mochi. "Dulu mah masih manual, dikocek pakai tangan. Satu kuali itu bisa empat orang," tuturnya.
Bahan utama mochi adalah tepung ketan yang dicampur air lalu dimasukkan ke mesin dan diaduk hingga kalis. Adonan tersebut direbus dalam api panas hingga mengambang dan diangkat ke mesin adonan.
"Bagian yang paling susah ngebentuk gula matang atau nggaknya. Mochi kan kalau gulanya nggak mateng dia nggak kenyal. Gula pasir digodog (direbus) sampai kelihatan (warnanya) sudah tua, lalu dicampur sama adonan tepung ketan itu, baru diangkat, disimpan di baki dan didinginkan sekitar 2 jam, baru bisa diproduksi," jelasnya.
"Yang berpengaruh ke teksturnya itu gula, kalau gulanya gagal teksturnya jadi lembek. Jadi cepat basi.
Eman mengakui, tak sedikit orang yang menawarkan pekerjaan yang sama kepadanya dengan gaji puluhan juta. Akan tetapi, Eman memilih untuk 'istiqamah' sebagai karyawan di Mochi Lampion.
"Banyak yang mau ngambil saya, (penawaran) gaji satu bulan Rp 10 juta-20 juta, banyak. Cuman saya pikir kalau pindah untuk jadi karyawan nggak akan berubah jadi bos, tetap saja jadi kuli," katanya.
Usahanya itu pun berbuah manis. Ketiga anaknya sukses menjadi orang yang berpendidikan. Eman yang hanya sampai duduk di bangku kelas 3 SD dapat mengantar kuliah anaknya hingga magister (S2).
"Saya coba bertahan di sini, mending majuin satu tempat dan kerasa maju mundurnya. Sampai sekarang bertahan, sampai anak saya sekolah semua, kuliah semua dari mochi, tiga anak magister semua," ungkap Eman yang menitikkan air mata.
"Suka jadi sedih kalau ingat perjuangan dulu. Saya nggak tergiur iming-iming di luar gaji gede, yang penting maju, liat anak cucu saya. Alhamdulillah anak-anak saya maju," syukurnya.
Selain bisa menyekolahkan anak-anaknya, hasil menjadi tukang pembuat mochi juga bisa mengantarkannya ke Tanah Suci. "Alhamdulillah umroh sudah dari penghasilan gaji mochi juga," kata dia.
"Harapannya (Mochi) Lampion ke depan lebih maju. Buat anak-anak dan cucu-cucu jangan sampai berhenti di tengah jalan, apapun usaha yang kalian tekuni," tutupnya.