Umat muslim tentu tak mau melewatkan amalan sunah yang diajarkan Rasulullah SAW, yakni puasa Ayyamul Bidh.
Puasa Ayyamul Bidh adalah puasa sunah yang dikerjakan setiap tanggal 13, 14, dan 15 di bulan qomariyah (bulan pada kalender Hijriyah). Orang yang mengerjakan ibadah sunah ini akan dicatat seperti orang yang berpuasa sepanjang tahun.
Dari Abu Dzar, Rasulullah SAW bersabda kepadanya,
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
"Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah)." (HR. Tirmidzi, no. 761)
Jika merujuk pada kalender Hijriyah, maka jadwal puasa Ayyamul Bidh di bulan Juli 2022 ini jatuh pada tanggal 13, 14 dan 15 Juli 2022.
Meski puasa sunah ini dilakukan pada tanggal 13-15 di setiap bulan Hijriyah, namun ada satu bulan yang dilarang melakukan puasa ini, yaitu tanggal 13 bulan Dzulhijjah. Pasalnya pada tanggal tersebut termasuk hari tasyrik yang diharamkan untuk puasa.
Rasulullah SAW sendiri telah menyatakan dalam sabdanya bahwa hari Tasyrik adalah hari dilarang berpuasa. Rasulullah menjelaskan bahwa hari-hari tersebut adalah hari makan-makan, sehingga kita dilarang berpuasa.
"Hari-hari Mina adalah hari-hari makan, minum dan berdzikir kepada Allah." (HR. Muslim)
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa yang dimaksud hari-hari Mina adalah tiga hari setelah Idul Adha, yaitu hari Tasyrik. Disebut hari tasyrik karena daging-daging kurban didendeng atau dijemur di bawah terik matahari.
Lalu bagaimana hukum Puasa Ayyamul Bidh saat Hari Tasyrik?
Dikutip dari detikEdu, menurut empat imam besar mahzab, puasa pada hari tasyrik disejajarkan dengan larangan seperti berpuasa pada Idul Fitri dan Idul Adha.
Dengan kata lain, puasa pada waktu tersebut dianggap makruh hingga tidak sah. Bahkan, puasanya dapat terhitung dengan maksiat jika sengaja berpuasa pada hari tasyrik.
"(Puasa pada hari tasyrik) hukumnya makruh menurut mahzab Hanafi dan Hambali, baik puasa tersebut wajib maupun sunnah," tulis Prof. Dr. Wahbah Al Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 2.
Makruh yang dimaksud dalam mazhab Hanafi adalah makruh tahriiman yang berarti puasanya tetap dianggap sah. Namun, buku tersebut menjelaskan, pelakunya tetap disebut berdosa.
"Sebab, larangan yang tertuju kepada suatu sifat yang laazim [melekat, tidak terpisahkan) dari suatu amal mengakibatkan kerusakan sifat itu saja, sedangkan amal itu sendiri tetap masyru' (dianjurkan untuk dikerjakan)." bunyi keterangan mazhab Hanafi yang diterjemahkan Prof. Dr. Wahbah Al Zuhaili.
Sementara bagi mahzab Maliki, kemakruhan berpuasa di hari tasyrik hanya terbatas pada dua hari setelah Idul Adha. Berbeda dengan jumhur yang menyebut larangan berlaku selama tiga hari setelah Idul Adha.
Meski tidak ada larangan puasa pada hari tasyrik ketiga atau 13 Zulhijah pada mahzab Maliki ini, namun hukumnya tetap terhitung makruh. Hal ini dijelaskan dalam Fikih Ibadah yang disusun oleh Hasan Ayyub.
"Malik berpendapat, makruh berpuasa pada hari keempat (13 Zulhijah) bila puasanya sunnah (namun) puasanya tetap berlaku," tulis buku tersebut.
Di sisi lain, mahzab Syafi'i membolehkan pelaksanaan puasa pada hari tasyrik karena sebab tertentu meski selebihnya puasa apapun tetap dilarang. Sebab yang dimaksud dalam mahzab ini di antaranya yakni, puasa nazar, kafarat, atau qadha.
Secara umum, empat mahzab menyatakan puasa di hari tasyrik adalah makruh termasuk dalam pengamalan puasa Ayyamul Bidh.
Namun ada juga pendapat yang menyatakan jika puasa Ayyamul Bidh di bulan Dzulhijjah tetap dilaksanakan 2 hari saja atau dengan menggantinya dengan menambah pada tanggal 16 Dzulhijjah.
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Rasulullah SAW bersabda,
صَوْمُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ
"Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun." (HR. Bukhari, no. 1979)
Hadits itu menerangkan bahwa puasa Ayyamul Bidh itu lebih utama jika punya kemudahan untuk mengerjakannya. Jika tidak mudah untuk mengerjakannya, cukup berpuasa tiga hari pada hari mana saja yang disuka.
Demikian penjelasan Syaikh Sa'id bin Wahf Al-Qohthoni dalam Ash-Shiyam fil Islam, halaman 375. Juga disampaikan pula oleh guru dari Syaikh Sa'id yaitu Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baz sebagaimana dinukil dalam Ash-Shiyam fi Al-Islam, halaman 375-376.
Wallahu'alam.
(tey/tya)