Akhir pekan lalu, warga Kota Bandung digegerkan aksi segerombolan orang yang menggunakan atribut geng motor XTC. Gerombolan ini menganiaya pengendara lain di saat melintas di Jalan Ambon yang dekat dengan area GOR Saparua, Bandung, Jumat (22/4) lalu.
Kasus yang kini tengah ditangani pihak kepolisian itu pun menambah daftar aksi kejahatan jalanan yang terjadi di Kota Bandung. Bagaimana tidak, pada bulan Maret 2022 saja, tercatat sudah ada tiga kejadian aksi kriminal jalanan yang bahkan sempat mengakibatkan korbannya mengalami luka serius.
Dari mulai aksi pencopetan dan penodongan menggunakan terhadap seorang pelajar SMP, kemudian aksi penodongan dan perampasan dua pengemudi ojek online (Ojol) menggunakan samurai, serta aksi sadis pemotor yang melindas warga. Ketiga aksi tersebut sempat viral dan banyak dibagikan di akun-akun publik medsos di Kota Bandung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menilik sisi lain, Kota Bandung sebetulnya punya sebuah aplikasi yang dirancang untuk warga yang memang memerlukan pertolongan. Aplikasi tersebut bernama Bandung Panic Button, dan resmi diluncurkan pemkot pada tahun 2015 saat masih dipimpin Wali Kota Ridwan Kamil.
Berdasarkan catatan detikJabar, aplikasi Bandung Panic Button berfungsi untuk melaporkan keadaan darurat yang dialami warga. Aplikasinya tinggal diunduh dan dipasang di smartphone, kemudian warga Bandung bisa menekan aplikasi tersebut jika terjebak dalam kondisi darurat, terutama saat menjadi korban kejahatan.
"Tinggal di download saja di playstore, lalu daftar pakai nomor handphone. Nanti juga di aplikasi ini mendaftarkan nomor keluarga terdekat, jadi nanti ada sms yang masuk ke nomor keluarga kalau kita dalam bahaya," ujar Ridwan Kamil waktu itu.
Aplikasi ini digadang-gadang sebagai bagian dari konsep Smart City. Pasalnya, aplikasi ini langsung terhubung dengan layar Command Center yang ada di Balai Kota Bandung dan diawasi langsung oleh petugas yang siaga di sana.
Namun dalam perjalanannya, konsep dari aplikasi Bandung Panic Button ini tak seindah gagasannya. Dari catatan detikJabar, pada 2018, Kadiskominfo Kota Bandung saat itu Ahyani Raksanagara melaporkan jika aplikasi tersebut justru kurang efektif digunakan oleh warga.
Kala itu, Ahyani menjelaskan bahwa Bandung Panic Button dirancang untuk merespon cepat setiap kejadian seperti kriminalitas atau kebakaran. Namun pada kenyataanya, warga Kota Bandung malah lebih senang menggunakan layanan saluran telepon 112 dibanding aplikasi tersebut.
Rata-rata, kata Ahyani, pengguna Panic Button dalam satu bulan hanya ada 10 orang. Sementara untuk layanan 112 dalam satu hari bisa mencapai ratusan bahkan ribuan aduan.
Ia menilai masyarakat memilih layanan 112 karena lebih mudah diakses ketimbang aplikasi Panic Button."Kalau layanan 112 itu kan pakai telepon apapun bisa tanpa harus download aplikasi dan lain-lain," kata Ahyani.
Meski begitu, Ahyani saat itu masih memastikan layanan Panic Button atau 112 akan tetap mendapat respon yang cepat. Namun hal itu dikembalikan pada masyarakat dengan layanan mana yang dipilih.
Saat dilihat detikJabar, Selasa (26/4/2022) pukul 07.00 WIB, aplikasi Bandung Panic Button sebenarnya masih tersedia untuk diunduh di layanan google play store. Namun dari tahun 2018, tak ada lagi jejak digital yang menjelaskan apakah aplikasi tersebut masih bisa digunakan masyarakat atau sudah terbengkalai begitu saja.
(ral/yum)