Bandung Tak Sedingin Dahulu, Walhi Jabar: Akibat Aktivitas Manusia

Bandung Tak Sedingin Dahulu, Walhi Jabar: Akibat Aktivitas Manusia

Rifat Alhamidi - detikJabar
Rabu, 20 Apr 2022 15:55 WIB
Jembatan Layang Pasupati terlihat dari Jalan Cihampelas, Bandung, Jawa Barat, Selasa (22/2/2022). Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengganti nama Jembatan Layang Pasupati menjadi Jalan Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja yang merupakan tokoh penggagas wawasan nusantara. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/foc.
Suasana Kota Bandung (Foto: ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI).
Bandung -

Dampak perubahan iklim mengakibatkan Kota Bandung mengalami kenaikan suhu. Bandung yang dikenal sebagai kota adem dan sejuk, kini mulai terasa panas dan tak lagi dingin seperti dulu.

Kondisi tersebut turut menarik perhatian Direktur Eksekutif Walhi Jabar Meiki W Paendong. Ia punya pandangan sendiri kenapa Bandung sekarang terasa lebih panas dan tak sejuk lagi untuk aktivitas masyarakat.

"Ada beberapa faktor. Tapi kalau melihat fenomenanya, ini akibat aktivitas manusia juga yang menghasilkan emisi karbon lewat kendaraan misalnya, hingga berujung pada pemanasan global dan perubahan iklim seperti sekarang," kata Meiki saat berbincang dengan detikJabar via telepon, Rabu (20/4/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meiki menilai, Bandung memiliki keunikan sendiri secara topografi karena merupakan daerah cekungan yang dikelilingi oleh gunung-gunung di sekitarnya. Sehingga, Bandung lebih cenderung memiliki iklim lebih sejuk bahkan punya intensitas hujan cukup tinggi.

Tapi kondisi itu berubah karena polusi dan emisi karbon yang turut disumbang oleh masyarakat Kota Bandung. Belum lagi, kawasan industri banyak berdiri beberapa tahun ini yang mengakibatkan iklim di Kota Bandung mengalami pemanasan global.

ADVERTISEMENT

"Yang secara global akhirnya berakumulasi dan mengakibatkan perubahan iklim di Kota Bandung," ujar Meiki.

Selain itu, Walhi turut menyorot peran pemerintah yang dinilai tak memperhatikan kelestarian lingkungan saat melakukan sejumlah proyek infrastruktur di Kota Bandung. Padahal seharusnya, kata dia, kebijakan pembangunan harus bisa berjalan beriringan dengan kelestarian lingkungan di sekitarnya.

"Sumbangsih (pemanasan global) dari pemerintah juga bisa, bukan hanya di tingkat daerah, tapi dari mulai desa hingga pusat. Karena begini, jika ada kebijakan pembangunan, itu pasti diarahkannya untuk pertumbuhan ekonomi. Di saat cara pandang seperti itu diberlakukan, otomatis kondisi lingkungan itu hanya dijadikan sebagai komoditas," tuturnya.

"Pada akhirnya, lingkungan menjadi korban. Seharusnya lingkungan ini dijaga kelestariannya supaya kegiatan ekonomi juga bisa bergerak. Tapi yang terjadi sebaliknya, supaya ekonomi bisa bergerak, lingkungan ini pada akhirnya ditekan terus daya dukung dan daya tampungnya untuk kebutuhan pembangunan itu," katanya menambahkan.

Ia mengilustrasikan, jika ada lahan terbuka atau kawasan lain yang masih belum terjamah pembangunan, pemerintah akan terus mendorong pembangunan di kawasan tersebut. Sementara, fungsi lahan yang tadinya untuk menopang kelestarian lingkungan, akan terus digerus secara terus menerus dengan alasan yang ia sebut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Enggak berpikir bahwa beban lingkungan jadi semakin besar. Pada akhirnya memicu efek yang berdampak pada sosial, dan masyarakat sendiri yang ikut terkena dampaknya. Karena memang cara pandangnya arah pembangunannya di situ, didorong pertumbuhan ekonomi dulu dibandingkan kelestarian lingkungan. Walaupun itu selalu jadikan pedoman yah bahwa pertumbuhan ekonomi harus memperhatikan lingkungan hidup, tapi kan itu hanya jargon. Harusnya kalau bener-bener memperhatikan lingkungan hidup, ya di nomor satukan (kelestarian) lingkungan bukan pertumbuhan ekonominya," jelasnya.

Atas dasar tersebut, Walhi pun menilai pemerintah bertanggung jawab atas perubahan iklim terutama yang terjadi di Kota Bandung. Sebab, pembangunan yang dilakukan pemerintah memiliki pengaruh terhadap degradasi dan menurunnya kualitas lingkungan beberapa tahun ini.

"Memang ada pengaruh kebijakan pemerintah yang memberi kontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Termasuk degradasi atau menurutnya kualitas lingkungan di sekitar kita sekarang," pungkasnya.

Sebelumnya, pakar sains atmosfer ITB Zadrach L Dupe menerangkan banyak faktor yang mengakibatkan suhu udara di Bandung alami kenaikan, seperti alih fungsi lahan, kepadatan penduduk dan kendaraan. Kemudian, lanjut Zadrach, dampak yang paling nyata adalah karena peristiwa El Nino atau kemarau panjang pada 2020.

Lebih lanjut, Zadrach menerangkan data dari Bandungbergerak.id yang bersumber dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kota Bandung. Suhu udara di Kota Bandung alami kenaikan hingga tiga derajat celsius selama 45 tahun terakhir

Pada tahun 1975, rata-rata suhu udara di Kota Kembang mencapai 22,6 derajat celcius. Pada 2015, rata-rata suhu udara alami kenaikan satu derajat, yakni mencapai 23,6 derajat celsius. Dan, pada 2020 rata-rata suhu udara mencapai 25,69 derajat celsius.

Kenaikan rata-rata suhu udara itu membuktikan perubahan iklim tengah berlangsung. Peran manusia yang memodifikasi alam menjadi faktor terjadinya perubahan iklim.

(ral/mso)


Hide Ads