Dampak perubahan iklim mengakibatkan Kota Bandung, Jawa Barat (Jabar), alami kenaikan suhu. Dampaknya, Bandung tak lagi dingin.
Bandung dikenal sebagai kota yang adem dan sejuk. Itu dulu. Kini, Kota Kembang, julukan Ibu Kota Provinsi Jabar ini mulai hareudang atau gerah.
Pakar sains atmosfer ITB Zadrach L Dupe menerangkan banyak faktor yang mengakibatkan suhu udara di Bandung alami kenaikan, seperti alih fungsi lahan, kepadatan penduduk dan kendaraan. Kemudian, lanjut Zadrach, dampak yang paling nyata adalah karena peristiwa El Nino atau kemarau panjang pada 2020.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Panas permukaan bumi membuat suhu meningkat," kata Zadrach saat menjadi pembicara dalam webinar tentang Bandung Hareudang yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung.
Zadrach bercerita saat masih bersekolah di Kota Bandung pada tahun 1970-an. Pakar sains ITB asal Kupang itu masih mengingat betul kondisi suhu udara di Bandung yang masih dingin.
"Kalau dulu saat saya berangkat sekolah itu berkabut. Sampai sekolah, rambut dan bulu mata tertutup butiran air," ucapnya.
Lebih lanjut, Zadrach menerangkan data dari Bandungbergerak.id yang bersumber dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kota Bandung. Suhu udara di Kota Bandung alami kenaikan hingga tiga derajat celsius selama 45 tahun terakhir
Pada tahun 1975, rata-rata suhu udara di Kota Kembang mencapai 22,6 derajat celcius. Pada 2015, rata-rata suhu udara alami kenaikan satu derajat, yakni mencapai 23,6 derajat celsius. Dan, pada 2020 rata-rata suhu udara mencapai 25,69 derajat celsius.
Kenaikan rata-rata suhu udara itu membuktikan perubahan iklim tengah berlangsung. Peran manusia yang memodifikasi alam menjadi faktor terjadinya perubahan iklim.
Zadrach menerangkan pada tahun 1970, ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Bandung mencapai 35 persen, dari luas total Kota Bandung. Kota yang berada di daerah cekungan ini memiliki luas 167,3 kilometer persegi. Selama puluhan tahun RTH di Bandung alami penyusutan. Pada tahun 2021, RTH di Kota Bandung hanya 12 persen.
Menyusutnya RTH itu tak lepas dari aktivitas alih fungsi lahan. Tentunya selaras dengan ledakan jumlah penduduk di Kota Bandung. Pada tahun 1940, Kota Bandung dihuni 177.659 jiwa. Sedangkan, pada tahun 2020, jumlah penduduk mencapai 2.444.160 jiwa.
"Berdasarkan data yang ada, jumlah kendaraan roda dua di Bandung 300 unit per hari, atau 108.000 unit per tahun. Sementara itu, 300 unit per pekan atau 15.000 unit per tahun untuk kendaraan roda empat," kata Zadrach.
Zadrach pun menilai pembangunan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan ekonomi harus mengedepankan keseimbangan alam. Seperti penghematan energi, penggunaan air dan menghijaukan lingkungan.
"Saya pakai mobil, tapi itu bisa menipiskan ozon. Kemudian saya tanam pohon di rumah. Itu salah satu usaha yang dilakukan. Kalau mau bumi kita ini nyaman, pemerintah juga harus sadar," ucap Zadrach.
Sementara itu, Ketua AJI Bandung Tri Joko Her Riadi mengingat pentingnya keberpihakan media terkait isu lingkungan. Media memiliki tanggungjawab untuk melaporkan fakta, memprioritaskan kepentingan publik dan mengawasi pemerintah.
"Kolaborasi media penting untuk dilakukan. Agar isu lingkungan bisa menjadi lebih menarik dan relevan," ucap Joko.
(sud/mso)