Dalam akad nikah, wali nikah menjadi rukun yang tak boleh terlewat. Artinya, wali nikah dapat mempengaruhi keabsahan pernikahan dalam Islam.
Menukil dari buku Fiqih Praktis 2 oleh Muhammad Bagir, perwalian nikah menjadi hak yang diberikan syariat kepada seseorang wali untuk melakukan akad pernikahan atas orang yang diwakilkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Ahmad Sarwat melalui bukunya Ensiklopedia Fikih Indonesia: Pernikahan mengartikan wali nikah sebagai orang yang memiliki wilayah atau hak untuk melaksanakan akad atas orang lain dengan seizinnya.
Nabi SAW menegaskan dalam sebuah hadits menikah tanpa izin dari wali dapat membuat pernikahan itu jadi batal. Diriwayatkan dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda,
"Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batal, nikahnya itu batal dan nikahnya itu batal. Jika (si lelaki) menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yang telah dihalalkannya. Dan bila mereka bertengkar, maka sultan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali." (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi & Ibnu Majah)
Sementara itu, ulama Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan ulama lain berpandangan jika wali nikah tidak termasuk rukun melainkan hanya sebagai syarat nikah.
Diterangkan dalam buku Tanya Jawab Seputar Fikih Wanita Empat Mazhab susunan A R Shohibul Ulum, menurut ulama Syafi'iyah yang harus didahulukan menjadi wali nikah adalah ayah dari perempuan yang bersangkutan. Lalu, siapa yang jadi wali nikah jika ayah meninggal dunia?
Wali Nikah Perempuan Jika Ayah Meninggal Dunia
Mengacu pada sumber yang sama, apabila ayah meninggal dunia atau disebut tidak memenuhi syarat secara syariat seperti hilang ingatan, pikun, pergi tidak diketahui keberadaannya dan sebagainya maka kakek dari pihak ayah berhak menjadi wali nikah. Kemudian, jika kakek juga sudah wafat maka yang berhak adalah buyutnya (ayah dari kakek).
Apabila buyut juga tidak ada, saudara laki-laki kandung yang berhak menjadi wali dari perempuan yang ingin menikah. Kemudian, jika saudara laki-laki tidak ada maka walinya adalah saudara laki-laki seayah.
Kemudian, apabila tak ada juga maka wali dari pernikahan si perempuan adalah anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung. Jika masih tak ada juga, yang berhak menjadi wali adalah anak dari saudara laki-laki yang seayah.
Lalu, bila masih tidak ada maka paman (saudara ayah yang sekandung) yang menjadi wali nikah si perempuan yang akan menikah.
Buya Yahya dalam ceramahnya mengatakan bahwa yang perlu diperhatikan dalam urusan wali adalah mengajak musyawarah orang-orang yang dihormati.
"Jadi biarpun misalnya kita sudah punya wali, orang-orang yang selama ini kita hormati perlu diajak diskusi musyawarah demi kebaikan," katanya dalam kanal YouTube Al Bahjah TV, detikHikmah telah mendapat izin mengutip tayangan tersebut.
"Supaya tidak hanya bicara tentang fikih (soal wali), akhlak itu penting. Jadi yang perlu diimbau di sini adalah pernikahan harus direncanakan, diobrolin dengan baik. Kemudian ini juga demi kemaslahatan keluarga dengan keluarga," tambahnya.
(aeb/inf)
Komentar Terbanyak
13 Asosiasi Haji-Umrah Serahkan DIM ke PKS, Tolak Legalisasi Umrah Mandiri
Dugaan Korupsi Kuota Haji, Pihak Eks Menag Yaqut Minta KPK Fokus pada Kerugian
Kelaparan di Gaza Kian Memburuk, Korban Anak Meningkat