Kisah Fudhail bin Iyadh: Dari Perampok Jadi Sufi Besar

Kisah Fudhail bin Iyadh: Dari Perampok Jadi Sufi Besar

Hanif Hawari - detikHikmah
Sabtu, 09 Agu 2025 05:00 WIB
Symbol of the Shia Muslim religion with an Ayatollah who prays and preaches in front of his followers by stretching a finger upwards.
Ilustrasi Fudhail bin Iyadh (Foto: Getty Images/iStockphoto/Pict Rider)
Jakarta -

Fudhail bin Iyadh merupakan salah satu tokoh sufi besar yang sangat dihormati dalam sejarah Islam. Namanya dikenal luas bukan hanya karena kedalaman ilmunya, tetapi juga karena perjalanan hidupnya yang penuh transformasi spiritual.

Sebelum menjadi sufi master, Fudhail bin Iyadh dikenal sebagai seorang jagoan, preman, dan perampok yang sangat ditakuti masyarakat.

Setiap malam ia mengintai di jalan-jalan sepi, siap merampas harta siapa saja yang lewat, hingga suatu hari ia tersentak oleh lantunan ayat-ayat Al-Qur'an yang kemudian mengguncang jiwanya dan mengubah arah hidupnya selamanya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kisah Fudhail bin Iyadh

Dikisahkan dalam buku Kumpulan Kisah Teladan oleh Hasballah Thalib dan Zamakhsyari Hasballah, Fudhail bin Iyadh adalah seorang sufi besar dalam sejarah Islam yang dikenal karena perjalanan hidupnya yang luar biasa. Ia lahir di Samarqand dan dibesarkan di sebuah tempat bernama Abi Warda, wilayah Khurasan.

ADVERTISEMENT

Tidak terdapat catatan pasti mengenai tahun kelahirannya, namun ia pernah menyatakan bahwa usianya telah mencapai 80 tahun. Kehidupan awalnya pun tidak banyak diketahui secara rinci.

Sebagian riwayat menyebutkan bahwa Fudhail bin Iyadh dulunya adalah seorang penyamun yang sangat ditakuti. Ia biasa menghadang orang-orang yang melintas antara daerah Abu Warda dan Sirjis.

Suatu hari, ia terpikat kepada seorang wanita dan memanjat tembok rumah wanita itu dengan niat buruk. Namun tiba-tiba ia mendengar seseorang membaca ayat Al-Qur'an dari surah Al-Hadid ayat 16.

Berikut ini adalah bunyi surat Al-Hadid ayat 16:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, tunduk hati mereka untuk mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab (al-Qur'an) kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang jahat".(Q.s. al Hadid, 16).

Ayat tersebut mengguncang hatinya dan menyadarkannya akan kemaksiatan yang selama ini ia lakukan. Seketika itu juga ia berkata, "Tentu saja wahai Rabbku, sungguh telah tiba saatku untuk bertaubat."

Malam itu ia berlindung di reruntuhan bangunan dan mendengar sekelompok orang berbicara tentang dirinya. Mereka berkata ingin menunggu hingga pagi karena takut disergap oleh Fudhail.

Mendengar ucapan itu, Fudhail pun merenung dalam-dalam. Ia merasa hina karena menjadi sebab ketakutan kaum muslimin, padahal ia menghabiskan malam dengan kemaksiatan.

Ia pun menyadari bahwa Allah sedang memberinya peringatan melalui peristiwa itu. Maka ia berdoa, "Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepada-Mu, dan aku akan mengabdikan hidupku di Baitullah."

Setelah bertaubat, Fudhail menuntut ilmu ke Kufah dan belajar dari banyak ulama besar. Ia berguru kepada Manshur, Al-A'masy, 'Atha' bin As-Saaib, Shafwan bin Salim, dan lainnya.

Kemudian ia menetap di Makkah dan hidup sederhana dengan bekerja mengangkut dan menjual air. Ia menghidupi dirinya dan keluarganya dengan hasil dari pekerjaan halal tersebut.

Fudhail dikenal sangat wara', menolak pemberian dari para raja dan pejabat karena khawatir akan kehalalan harta mereka. Ia hanya pernah menerima pemberian dari sahabatnya yang saleh, yaitu Abdullah bin Al-Mubarak.

Beliau wafat di Makkah pada bulan Muharram tahun 187 Hijriyah. Kisah hidupnya menjadi bukti bahwa hidayah Allah bisa datang kapan saja, dan siapa pun bisa berubah menjadi manusia mulia.

Wallahu a'lam.




(hnh/inf)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads