Nabi Muhammad SAW Lahir dari Keluarga Bani Hasyim di Makkah

Nabi Muhammad SAW Lahir dari Keluarga Bani Hasyim di Makkah

Yusuf Alfiansyah Kasdini - detikHikmah
Senin, 16 Sep 2024 18:00 WIB
Ilustrasi Nabi Muhammad
Kaligrafi Nabi Muhammad SAW (Foto: Getty Images/iStockphoto/ramil110)
Jakarta -

Kisah kelahiran Nabi Muhammad SAW memiliki makna penting bagi umat Islam karena beliau adalah nabi terakhir pembawa rahmat bagi seluruh alam. Beliau berasal dari keluarga dengan nasab mulia.

Menurut kitab Ar-Rahiq Al-Makhtum: Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri yang diterjemahkan Faris Khairul Anam, Nabi Muhammad SAW lahir dalam keluarga bani Hasyim di Makkah, pada Senin pagi, di tahun peristiwa gajah.

Para ulama berbeda pendapat terkait tanggal kelahirannya, ada yang menyebut 9 Rabiul Awal dan ada pula yang berpendapat 12 Rabiul Awal. Namun, mayoritas dari mereka mengatakan Nabi Muhammad SAW lahir pada 12 Rabiul Awal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penelitian ulama terkenal, Muhammad Sulaiman Al-Manshurfuri, dan peneliti astronomi Mahmud Basya memperkirakan bahwa kelahiran Nabi bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April 571 M.

Bani Hasyim Punya Sifat-sifat Unggul

Keluarga Nabi Muhammad SAW, bani Hasyim, menjadi salah satu keturunan kebanggakan suku Quraisy. Dijelaskan dalam buku Nabi Muhammad SAW: Kisah Manusia Paling Mulia di Dunia karya Neti dkk, bani Hasyim memiliki keistimewaan dan keunggulan di antara kaumnya. Mereka dikaruniai keteguhan iman, kecerdasan akal, kesederhanaan dalam segala hal, jauh dari sifat zalim, pengasih dan pennyayang terhadap kaum lemah, pemurah, dan pemberani.

ADVERTISEMENT

Tak heran jika bani Hasyim dipercaya sebagai Kota Makkah dan pemelihara Baitullah karena sifat-sifat unggul yang mereka miliki.

Peristiwa Menjelang Kelahiran Nabi Muhammad SAW

Sejumlah peristiwa besar terjadi menjelang kelahiran Nabi Muhammad SAW. Beberapa di antaranya runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra, padamnya api yang biasa disembah oleh Majusi, dan runtuhnya gereja-gereja di sekitar Buhairah. Peristiwa ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Al-Ghazali.

Terlahir Tanpa Seorang Ayah

Nabi Muhammad SAW lahir dari pasangan Abdullah bin Abdul Muthalib dan Aminah binti Wahab. Abdullah, ayah Rasulullah SAW, adalah seorang saudagar yang sering melakukan perjalanan ke Negeri Syam dan merupakan anak dari pemimpin suku Quraisy yang sangat dihormati.

Sementara itu, Aminah berasal dari bani Zuhrah, suku yang memiliki status mulia dalam keturunan dan kedudukan di kalangan Quraisy, seperti yang disebutkan dalam karya Sirah Nabawiyah oleh Abul Hasan al-Ali Hasani an-Nadwi.

Qadarullah, Abdullah meninggal dunia ketika Aminah baru mengandung Nabi Muhammad SAW selama dua bulan, sehingga Nabi Muhammad SAW lahir tanpa kehadiran ayahnya.

"Abdullah meninggal dunia, sedangkan Aminah, ibunda Rasulullah SAW, sedang mengandung beliau. Ketika itu, ia telah menyaksikan tanda-tanda dan jejak-jejak yang menunjukkan bahwa anaknya memiliki kemuliaan," tulis buku tersebut

Ibnu Sa'd meriwayatkan bahwa ibunda Rasulullah SAW melihat cahaya keluar setelah kelahiran beliau yang menyinari istana-istana di Syam.

Wanita yang Menyusui Rasulullah SAW

Sesuai tradisi Arab kala itu, anak yang baru lahir harus disusukan kepada wanita lain. Mengacu sumber sebelumnya, wanita pertama yang menyusui Nabi Muhammad SAW adalah Tsuwaibah, hamba sahaya Abu Lahab.

Saat itu, Tsuwaibah juga sedang menyusui anaknya yang bernama Masruh, dan sebelumnya pernah menyusui Hamzah bin Abdul Muththalib (Paman Nabi). Tsuwaibah juga menyusui Abu Salamah bin Abdul Asad Al-Makhzumi.

Selanjutnya, seperti tradisi umum di kalangan Arab, keluarga mencari wanita dari pedesaan untuk menyusui bayi mereka, dengan tujuan menjauhkan anak dari penyakit di perkotaan dan memperkuat tubuh serta bahasa Arab mereka.

Abdul Muththalib kemudian memilih Halimah binti Abu Dzu'aib dari Bani Sa'd bin Bakr untuk menyusui Nabi Muhammad SAW. Halimah bersama suaminya, Al-Harits bin Abdul Uzza, yang dikenal dengan julukan Abu Kabsyah, berasal dari kabilah yang sama.

Peristiwa Pembelahan Dada Nabi Muhammad SAW

Pada saat Rasulullah beranjak ke umur empat atau lima tahun. Saat itu, di tengah masa Rasulullah SAW disusui oleh Halimah binti Abu Dzu'aib, terjadilah peristiwa pembelahan dada Nabi Muhammad SAW.

Muslim meriwayatkan dari Anas bahwa suatu ketika Rasulullah SAW sedang bermain dengan beberapa anak kecil lainnya, kemudian Malaikat Jibril datang menghampiri beliau. Malaikat Jibril memegang beliau, membaringkannya, lalu membelah dada beliau dan mengeluarkan segumpal darah, sambil berkata, "Ini adalah bagian setan yang ada padamu."

Malaikat Jibril kemudian mencuci gumpalan darah beliau dalam sebuah baskom emas dengan air zamzam, merapikannya kembali, dan memasukkannya ke tempat semula.

Anak-anak yang menyaksikan peristiwa tersebut berlarian menemui ibu susuan Rasulullah SAW, mengatakan bahwa Muhammad telah dibunuh. Namun saat ketika mereka datang, mereka mendapati wajah beliau semakin bercahaya berseri.

Nabi Muhammad SAW Dikembalikan ke Sang Ibu

Halimah merasa khawatir akan keselamatan Nabi Muhammad SAW setelah peristiwa pembelahan dada. Karena itulah, ia memutuskan untuk mengembalikan Nabi Muhammad SAW kepada ibunya, Aminah. Nabi Muhammad SAW kemudian tinggal bersama ibunya hingga usianya mencapai enam tahun.

Aminah, yang merindukan suaminya yang telah wafat, memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Yatsrib (Madinah) untuk mengunjungi makam suaminya. Ia melakukan perjalanan sejauh 500 kilometer dari Makkah, ditemani oleh Nabi Muhammad SAW yang masih kecil serta pembantu mereka, Ummu Aiman.

Perjalanan ini direstui oleh Abdul Muththalib, kakek Nabi. Setelah tinggal sebulan di Madinah, Aminah dan rombongannya memutuskan untuk kembali ke Makkah. Namun, dalam perjalanan pulang, Aminah jatuh sakit dan meninggal di daerah Abwa, yang terletak di antara Makkah dan Madinah.

Nabi Muhammad SAW Diasuh Sang Kakek

Setelah wafatnya ibunda tercinta, Nabi Muhammad SAW diasuh oleh kakeknya, Abdul Muththalib, di Makkah. Perasaan kasih sayang Abdul Muththalib terhadap cucunya yang kini menjadi yatim piatu semakin dalam. Ia merasa iba melihat cucunya harus menghadapi cobaan berat setelah sebelumnya kehilangan ayahnya. Abdul Muththalib begitu menyayangi Nabi Muhammad SAW hingga ia menganggap cucunya lebih penting daripada anak-anaknya sendiri.

Ibnu Hasyim meriwayatkan bahwa ada dipan yang diletakkan di dekat Ka'bah khusus untuk Abdul Muththalib. Keluarganya duduk di sekeliling dipan itu tanpa ada yang berani duduk di atasnya, sebagai bentuk penghormatan kepada Abdul Muththalib.

Namun, ketika Nabi Muhammad SAW yang masih kecil duduk di atas dipan tersebut, paman-pamannya mencoba mencegahnya. Saat melihat ini, Abdul Muththalib berkata, "Biarkanlah cucuku. Demi Allah, dia akan memiliki kedudukan yang agung."

Lalu, ia membiarkan Nabi Muhammad SAW duduk bersamanya di dipan itu, sambil mengelus punggungnya dengan penuh kasih sayang, merasa gembira atas setiap tindakan cucunya.

Nabi Muhammad SAW Diasuh Pamannya hingga Dewasa

Pada usia delapan tahun, dua bulan, dan sepuluh hari, Nabi Muhammad SAW kehilangan kakeknya, Abdul Muththalib, yang meninggal dunia di Makkah. Sebelum wafat, Abdul Muththalib berpesan agar Nabi Muhammad SAW diasuh oleh pamannya, Abu Thalib, saudara kandung dari ayah beliau.

Abu Thalib menjalankan amanah tersebut dengan penuh tanggung jawab, memperlakukan Nabi Muhammad SAW seperti anaknya sendiri. Ia mengutamakan kepentingan Nabi Muhammad SAW di atas anak-anaknya sendiri, menunjukkan perhatian dan penghormatan yang besar.

Abu Thalib melindungi Nabi Muhammad SAW hingga usia lebih dari empat puluh tahun, menjalin persahabatan dan bermusuhan dengan orang lain demi membela beliau.




(aeb/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads