Seorang ayah seharusnya menjadi sosok yang melindungi, menyayangi, dan menjaga keluarganya dari segala bentuk ancaman. Namun kenyataannya, ada sebagian kecil ayah yang justru menjadi sumber bencana bagi anak-anaknya sendiri.
Kasus ayah yang mencabuli anak perempuannya merupakan tragedi kemanusiaan yang mengguncang moralitas masyarakat. Tindakan ini tidak hanya melanggar norma sosial, tetapi juga merupakan dosa besar dalam Islam.
Sudah jelas bahwa perilaku tersebut salah secara hukum Islam maupun nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku. Lalu, bagaimana sebenarnya Islam memandang kejahatan berat ini dan apa hukuman bagi ayah yang melakukan pencabulan terhadap anaknya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hukuman Seorang Ayah yang Mencabuli Anaknya
Dijelaskan dalam penelitian Tindak Pidana Perkosaan terhadap Anak Kandung dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif oleh Mohamad Fadhila Agusta, seorang ayah yang mencabuli anak perempuannya sendiri sudah jelas hukumnya adalah haram.
Dalam hukum pidana Islam, ulama berbeda pendapat mengenai jenis hukuman bagi ayah yang memperkosa anak kandungnya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa pelaku layak dijatuhi hukuman rajam karena dianggap sebagai pezina muhsan. Sementara pendapat lain menegaskan bahwa hukumannya masuk kategori ta'zîr, yaitu hukuman yang bentuk dan tingkatannya ditentukan melalui ijtihad penguasa atau hakim.
Berikut ini adalah penjelasan lengkapnya.
Hukuman Rajam
Seorang anak perempuan merupakan mahram bagi ayahnya, sehingga haram dinikahi apalagi disetubuhi. Karena itu, dalam hukum pidana Islam, tindakan ayah yang berhubungan badan dengan putrinya termasuk kategori jarimah zina.
Zina terjadi ketika persetubuhan dilakukan pada farji yang keharamannya jelas. Dengan demikian, ayah yang memaksa putrinya untuk berhubungan badan dianggap telah melakukan zina terhadap farji yang diharamkan baginya.
Dikutip dari skripsi berjudul Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Pandangan Abdul Qadir Awdah tentang Hukuman Bagi Ayah yang Menyetubuhi Putrinya oleh Ira Fauziayatul, hal ini mengutip dari kitab Fathul Bari yang menyebutkan bahwa.
مَنْ زَنَى بِأُخْتِهِ فَعَلَيْهِ حَدُّ الزَّانِي
Artinya: "Barang siapa berzina dengan saudara perempuannya, maka hukumannya adalah hukuman bagi pezina."
Oleh sebab itu, pelaku dihukumi sebagai pezina muhsan dan layak menerima sanksi yang sama, yaitu rajam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
Artinya: Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah memberi jalan yang lain kepada mereka, yaitu orang yang belum menikah (berzina) dengan orang yang belum menikah, (hukumnya) dera 100 kali dan diasingkan setahun. Adapun orang yang sudah menikah (berzina) dengan orang yang sudah menikah (hukumnya) dera 100 kali dan rajam
Hukuman Ta'zir
Menurut sebagian ulama, dalam kasus ayah yang mencabuli anak kandungnya, para ulama menegaskan bahwa hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman ta'zir, bukan hudud. Hal ini karena terdapat unsur syubhat yang membuat hudud tidak dapat ditegakkan secara pasti.
Masih dari sumber yang sama, ta'zir memberi kewenangan penuh kepada hakim untuk menentukan bentuk dan kadar hukuman sesuai beratnya kejahatan. Dengan demikian, hakim dapat menilai sejauh mana kerusakan moral dan sosial yang terjadi akibat perbuatan tersebut.
Karena sifatnya fleksibel, hukuman ta'zir dapat berupa penjara, cambuk, pengasingan, denda, hingga hukuman mati pada kasus yang sangat berat. Dalam kejahatan inses yang merusak martabat dan kehormatan keluarga, peluang dijatuhkannya hukuman berat sangat besar.
Ulama menilai bahwa perbuatan pencabulan ayah terhadap anaknya sendiri merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah kepemimpinan dalam keluarga. Oleh sebab itu, ta'zir memungkinkan hakim memberikan hukuman yang paling keras demi melindungi korban dan menjaga stabilitas masyarakat.
Selain itu, status anak yang lahir dari tindakan tersebut tidak dinasabkan kepada ayah pelaku, dan ayah tidak berhak menjadi walinya. Meski demikian, pelaku tetap diwajibkan memberikan nafkah karena ia menjadi sebab lahirnya anak tersebut, tanpa mengurangi beratnya hukuman ta'zir yang diterimanya.
Wallahu a'lam.
(hnh/inf)












































Komentar Terbanyak
MUI: Nikah Siri Sah tapi Haram
Daftar Besaran Biaya Haji Reguler 2026 Tiap Embarkasi Daerah
Menag: Orang Arab Harus Belajar Islam di Indonesia