Bolehkah Menikah Saat Masih Punya Banyak Utang?

Bolehkah Menikah Saat Masih Punya Banyak Utang?

Tia Kamilla - detikHikmah
Senin, 01 Des 2025 09:30 WIB
Man having financial problems with credit card debt mortgage
Ilustrasi punya banyak utang. Foto: Getty Images/Milan_Jovic
Jakarta -

Dalam Islam, menikah adalah salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan Allah SWT. Menikah termasuk sunnah para nabi dan petunjuk para rasul yang dijadikan teladan.

Allah SWT berfirman dalam surah Ar-Rad ayat 38,

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ اَزْوَاجًا وَّذُرِّيَّةً ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ لِكُلِّ اَجَلٍ كِتَابٌ

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Artinya: "Sungguh Kami benar-benar telah mengutus para rasul sebelum engkau (Nabi Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Tidak mungkin bagi seorang rasul mendatangkan sesuatu bukti (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Untuk setiap masa ada ketentuannya."

Selain itu, menikah merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Ar-Rum ayat 21,

ADVERTISEMENT

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Artinya: "Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir."

Namun, bagaimana jika menikah tapi masih punya banyak utang menurut Islam? Berikut penjelasannya.

Hukum Menikah Saat Punya Banyak Utang Menurut Islam

Dalam Islam, menikah saat masih punya banyak utang adalah boleh atau mubah, namun sangat disarankan untuk menunda pernikahan jika berutang terlalu besar karena bisa menyulitkan hidup berumah tangga nantinya.

Mengutip dari buku Fikih Sunnah 3 karya Sayyid Sabiq, hukum menikah menjadi mubah karena faktor-faktor yang mengharuskan maupun menghalangi terlaksananya pernikahan tidak ada pada diri seseorang.

Seseorang yang masih memiliki utang tetapi tidak berada dalam kondisi darurat, misalnya tidak khawatir terjerumus dalam zina, masih mampu mengendalikan diri, dan tidak memiliki kewajiban lain yang lebih mendesak, maka menikah baginya termasuk persoalan yang dibolehkan, bukan dianjurkan ataupun diwajibkan.

Namun, perlu diingat bahwa kemampuan finansial menjadi salah satu unsur penting dalam membangun rumah tangga. Meski tidak harus kaya, calon suami minimal harus mampu memberi nafkah untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga dan tidak menjadikan pernikahan sebagai sebab munculnya kesulitan baru.

Allah SWT memerintahkan hamba-Nya melakukan pernikahan dalam keadaan mampu. Bagi orang yang sudah siap untuk melangsungkan pernikahan dan dia khawatir tidak menikah, terjebak pada perzinaan, maka hukum menikah baginya adalah wajib.

Laki-laki Wajib Menafkahi Keluarganya Setelah Menikah

Setelah menikah, suami wajib memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Dikutip dari buku Tanya Jawab Seputar Fikih Wanita Empat Mazhab karya A. R. Shohibul Ulum, dalam Islam nafkah itu menjadi tanggung jawab suami untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Pemenuhan terhadap nafkah merupakan bagian dari upaya mempertahankan keutuhan rumah tangga. Suami mulai memberikan nafkah wajib sejak akad perkawinan dilakukan.

Kewajiban mencari nafkah terutama oleh suami dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 233,

وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

Artinya: "Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli waris pun seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."

Menurut Tafsir Al-Qur'an Kementerian Agama RI, ayat di atas menegaskan pembagian kewajiban kedua orang tua terhadap anaknya. Seorang suami wajib memberi nafkah anak dan istrinya selama menyusui. Apabila tidak sanggup menunaikan kewajibannya karena miskin, ia boleh melakukan sesuai kesanggupannya.

Selain itu, ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang kewajiban suami untuk mencari nafkah adalah surah At-Talaq ayat 7,

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا

Artinya: "Hendaklah orang yang lapang (rezekinya) memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari apa (harta) yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah kelak akan menganugerahkan kelapangan setelah kesempitan."

Kewajiban Melunasi Utang dalam Islam

Menurut buku Fikih Sunnah 5 karya Sayyid Sabiq, utang adalah harta yang diberikan kepada seseorang dengan kewajiban untuk mengembalikannya dalam bentuk yang sama.

Seseorang yang berutang biasanya sedang terdesak atau membutuhkan. Memberikan pinjaman kepada orang lain dinilai sebagai perbuatan baik karena menolong orang yang membutuhkan. Di sisi lain, utang adalah tanggung jawab yang besar. Orang yang berutang wajib melunasinya.

Menunda membayar utang merupakan kezaliman. Hal ini tertuang dalam hadits dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,

مَطْلُ الْغَنِي ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبَعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتَبَعْ

Artinya: "Mugulur-ulur pembayaran utang bagi yang mampu merupakan kezaliman. Dan apabila seseorang di antara kalian dialihkan (pembayaran utangnya) kepada seorang yang mampu, maka ikutilah." (HR Abu Dawud)

Melunasi utang bukan hanya kewajiban pribadi, tetapi juga bagian dari menjaga keharmonisan rumah tangga. Saat seseorang memasuki pernikahan dengan beban utang yang belum terselesaikan, tanggung jawab tersebut secara otomatis dapat mempengaruhi kehidupan keluarga, baik secara finansial maupun emosional. Oleh karena itu, Islam sangat menekankan pentingnya menyelesaikan utang agar tidak menimbulkan masalah baru setelah menikah.




(kri/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads