Bagaimana Menyelesaikan Utang Orang yang Telah Meninggal?

Bagaimana Menyelesaikan Utang Orang yang Telah Meninggal?

Indah Fitrah - detikHikmah
Jumat, 26 Sep 2025 20:00 WIB
Ilustrasi utang
Ilustrasi utang. Foto: Getty Images/iStockphoto/pcess609
Jakarta -

Utang merupakan tanggung jawab besar yang tidak hanya berlaku selama hidup, tetapi juga tetap melekat setelah seseorang meninggal dunia. Ketentuan utang orang meninggal telah diatur dalam syariat.

Dalam Islam, utang dipandang sebagai hak yang harus dipenuhi, baik terhadap Allah SWT maupun terhadap sesama manusia. Karena itu, menyelesaikan utang orang yang telah wafat menjadi kewajiban penting bagi ahli waris dan keluarga yang ditinggalkan.

Hukum Membayar Utang Jenazah

Pembahasan tentang utang orang yang meninggal tidak bisa dilepaskan dari kedudukannya dalam syariat. Dalam kitab Fiqhul Islam Wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaili, dijelaskan bahwa setelah jenazah diperlakukan sesuai syariat seperti dimandikan, dikafani, dan dishalatkan, maka utang-utang jenazah wajib dibayarkan dari harta peninggalannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Islam menekankan bahwa pelunasan utang justru lebih didahulukan daripada pelaksanaan wasiat. Hal ini diperkuat dengan hadits dari Ali radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:

"Aku melihat Rasulullah SAW mulai mengurus utang mayit daripada wasiat." (HR Tirmidzi)

ADVERTISEMENT

Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa kedudukan utang dalam Islam sangat serius. Wasiat memang ibadah yang baik, tetapi sifatnya sunnah. Sedangkan utang merupakan kewajiban yang harus diselesaikan, sehingga posisinya jauh lebih kuat dibandingkan wasiat.

Prioritas dalam Pembayaran Utang

Pertanyaan yang sering muncul kemudian adalah bagaimana cara menentukan utang mana yang harus dibayar lebih dulu? Masih dari sumber sebelumnya, dijelaskan bahwa terdapat urutan prioritas yang menjadi pedoman agar pembayaran utang dilakukan secara adil.

1. Utang yang Berkaitan dengan Benda

Utang ini biasanya terkait barang gadai yang masih tersisa. Misalnya, ada barang yang dijadikan jaminan, maka penyelesaiannya didahulukan. Menurut ulama Hanafiyyah, utang jenis ini bahkan lebih utama daripada pengafanan dan perawatan jenazah.

Meski begitu, dalam praktik hukum modern, perawatan jenazah tetap diutamakan terlebih dahulu, lalu setelah itu pembayaran utang dilakukan.

2. Utang kepada Allah SWT

Utang yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah SWT, seperti zakat, kafarat, atau nadzar, pada dasarnya tidak otomatis dibebankan kepada ahli waris setelah seseorang meninggal.

Namun, jika almarhum pernah berwasiat agar kewajiban itu ditunaikan, pembayarannya diambil dari harta peninggalannya, maksimal sepertiga bagian.

Meski begitu, mayoritas ulama berpendapat bahwa kewajiban tersebut tetap harus dilunasi dari harta peninggalan, walaupun tidak ada wasiat dari yang bersangkutan.

3. Utang Saat Sehat

Utang yang dibuat ketika masih sehat mendapat prioritas berikutnya. Contohnya mahar yang belum dilunasi, biaya sewa yang tertunggak, atau pinjaman dengan bukti jelas.

Utang jenis ini dianggap lebih kuat karena biasanya ada pengakuan dan bukti nyata, sehingga penyelesaiannya lebih pasti dan tidak menimbulkan perselisihan.

4. Utang Saat Sakit

Utang yang timbul di masa sakit, terutama sakit menjelang wafat, biasanya hanya berdasarkan pengakuan lisan. Karena itu, kedudukannya berada setelah semua utang lain diselesaikan.

Ulama juga membatasi pelunasan utang jenis ini hanya boleh diambil dari sepertiga harta peninggalan. Hal ini untuk menjaga hak ahli waris tetap terjaga dengan adil.

Peran Ahli Waris dalam Menyelesaikan Utang

Setelah memahami urutannya, pertanyaan berikutnya adalah siapa yang bertanggung jawab melunasi utang orang yang meninggal? Jawabannya ada pada ahli waris.

Dalam buku Hukum Waris Islam Perkembangan Hukum Waris pada Masa Kekinian karya Dr. Abd Rahim dkk dijelaskan bahwa setelah biaya perawatan jenazah ditanggung, harta peninggalan harus dipakai untuk melunasi utang pewaris.

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah An-Nisa' ayat 11:

"Sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya..."

Artinya jelas, sebelum harta dibagikan kepada ahli waris, utang harus lebih dulu diselesaikan.

Dalam praktik modern, ada juga utang yang sifatnya khusus. Misalnya utang bank yang sudah diasuransikan. Jika debitur meninggal, pihak asuransi yang menanggung pelunasan.

Berbeda halnya jika utang tersebut bersifat pribadi antarindividu. Dalam kasus ini, ahli waris tetap memikul tanggung jawab, dan pembayaran diambil dari harta peninggalan si jenazah. Oleh sebab itu, Islam menekankan pentingnya pencatatan utang piutang agar memudahkan penyelesaian ketika seseorang meninggal.

Menghindari Zalim dalam Utang

Penting pula diingat bahwa menunda-nunda pembayaran utang padahal memiliki kemampuan untuk melunasinya termasuk perbuatan zalim. Hal ini ditegaskan Rasulullah SAW dalam hadits riwayat al-Daruquthni dan imam empat dari Abu Hurairah:

"Menunda-nunda pembayaran utang padahal mampu adalah kezaliman."

Hadits ini berlaku bukan hanya bagi yang masih hidup, tetapi juga memberi peringatan bagi ahli waris agar tidak meremehkan tanggung jawab menyelesaikan utang keluarga yang telah meninggal. Dengan melunasi utang, selain membebaskan si mayit dari beban akhirat, juga menjaga kehormatan keluarga di mata masyarakat.




(inf/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads