Kapan Sholat Boleh Diqashar, Dijamak, atau Diqodho? Begini Ketentuannya

Kapan Sholat Boleh Diqashar, Dijamak, atau Diqodho? Begini Ketentuannya

Indah Fitrah - detikHikmah
Jumat, 01 Agu 2025 08:45 WIB
ilustrasi sholat
ilustrasi sholat. Foto: Getty Images/iStockphoto/leolintang
Jakarta -

Sholat merupakan ibadah utama yang tetap wajib dilaksanakan dalam berbagai keadaan. Ketika seorang muslim menghadapi kondisi sulit seperti bepergian jauh, sakit, atau hujan lebat, Islam memberikan kemudahan berupa keringanan (rukhshah) dalam pelaksanaannya.

Di antaranya adalah qashar (meringkas sholat), jamak (menggabungkan dua waktu sholat), dan qadha (mengganti sholat di luar waktunya). Setiap keringanan ini memiliki syarat tertentu yang perlu dipahami agar tidak disalahgunakan. Kemudahan ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 286:

...Ω„ΩŽΨ§ ΩŠΩΩƒΩŽΩ„Ω‘ΩΩΩ اللّٰهُ Ω†ΩŽΩΩ’Ψ³Ω‹Ψ§ Ψ§ΩΩ„Ω‘ΩŽΨ§ ΩˆΩΨ³Ω’ΨΉΩŽΩ‡ΩŽΨ§ Ϋ—

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Artinya: "Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya..."

Berikut penjelasan lengkapnya berdasarkan Seri Fikih Kehidupan karya Ahmad Sarwat, Lc., MA.

ADVERTISEMENT

Sholat Qashar Rukhshah Saat Safar

Qashar adalah meringkas sholat yang semula empat rakaat menjadi dua rakaat, berlaku untuk Dzuhur, Ashar, dan Isya. Namun, tidak semua perjalanan membolehkan qashar. Para ulama menyebutkan bahwa qashar hanya bisa dilakukan jika seseorang benar-benar dalam keadaan safar dengan jarak tertentu.

Mayoritas ulama seperti Imam Malik, Asy-Syafi'i, dan Ahmad bin Hanbal menetapkan jarak minimal safar sekitar 88 km, berdasarkan ukuran 4 burud, sebagaimana disebut dalam hadits Ibnu Abbas:

"Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian mengqashar sholat bila kurang dari 4 burud, dari Makkah ke Usfan." (HR Ad-Daruquthni)

Ada pula pendapat lain seperti Abu Hanifah yang menetapkan batasnya adalah tiga hari perjalanan, dan Ibnu Taimiyah yang tidak mensyaratkan jarak tertentu selama seseorang sudah dalam perjalanan dan keluar dari tempat tinggalnya.

Selain jarak, syarat lain adalah bahwa tujuan perjalanan harus mubah (diperbolehkan secara syariat). Perjalanan untuk maksiat tidak membolehkan qashar, menurut mayoritas ulama.

Qashar juga hanya sah dilakukan setelah keluar dari batas wilayah tempat tinggal, bukan saat masih di rumah. Bahkan, sholat qashar tidak boleh dilakukan jika status safarnya telah berakhir saat sholat berlangsung, misalnya karena sudah sampai tujuan atau berniat mukim.

Selain itu, perjalanan harus memiliki tujuan yang jelas. Bila tidak tahu arah atau tujuan pasti, seperti orang berburu tanpa arah, maka tidak termasuk safar yang membolehkan qashar.

Sholat Jamak Menggabungkan Dua Waktu Sholat

Masih dari sumber sebelumnya, dijelaskan bahwa sholat jamak adalah menggabungkan dua sholat fardu dalam satu waktu pelaksanaan. Hanya dua pasang waktu sholat yang bisa dijamak, yaitu Dzuhur dengan Ashar, serta Maghrib dengan Isya. Penggabungan ini dilakukan dengan dua cara: jamak taqdim, yaitu dilakukan di waktu sholat pertama, dan jamak ta'khir, yaitu dilakukan di waktu sholat kedua.

Keringanan ini diberikan kepada orang yang sedang dalam perjalanan (safar), dengan syarat yang hampir sama dengan sholat qashar, yaitu sudah berniat safar, benar-benar keluar dari tempat tinggal, dan jarak perjalanannya mencapai batas minimal yang ditentukan para ulama.

Selain dalam kondisi safar, jamak juga dibolehkan dalam keadaan lain, seperti sakit, hujan, ibadah haji, atau ketika mengalami kesulitan besar yang menyulitkan pelaksanaan sholat pada waktunya. Dalam keadaan sakit, misalnya, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Malik, dan sebagian ulama dari mazhab Syafi'i membolehkan jamak berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas:

"Rasulullah SAW menjamak sholat bukan karena takut dan bukan pula karena hujan." (HR Muslim)

Saat ibadah haji, Rasulullah SAW juga pernah menjamak Maghrib dan Isya di Muzdalifah, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

"Nabi SAW menjamak antara Maghrib dan Isya di Muzdalifah pada haji wada." (HR Bukhari)

Begitu pula ketika hujan turun dan menyulitkan untuk datang ke masjid, para sahabat seperti Ibnu Umar pernah menjamak Maghrib dan Isya bersama imam. Hal ini sesuai dengan riwayat:

"Sesungguhnya termasuk sunnah bila hari hujan untuk menjamak antara Maghrib dan Isya." (HR Atsram)

Dalam kondisi darurat lainnya, misalnya terjebak macet, sedang operasi medis, atau situasi bencana, sebagian ulama juga membolehkan jamak. Hal ini menunjukkan bahwa syariat Islam memberikan keringanan ketika ada kesulitan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al Hajj ayat 78,

ΩˆΩŽΨ¬ΩŽΨ§Ω‡ΩΨ―ΩΩˆΩ’Ψ§ فِى اللّٰهِ Ψ­ΩŽΩ‚Ω‘ΩŽ Ψ¬ΩΩ‡ΩŽΨ§Ψ―ΩΩ‡Ω–Ϋ— Ω‡ΩΩˆΩŽ Ψ§Ψ¬Ω’ΨͺΩŽΨ¨Ω°Ω‰ΩƒΩΩ…Ω’ ΩˆΩŽΩ…ΩŽΨ§ Ψ¬ΩŽΨΉΩŽΩ„ΩŽ ΨΉΩŽΩ„ΩŽΩŠΩ’ΩƒΩΩ…Ω’ فِى Ψ§Ω„Ψ―Ω‘ΩΩŠΩ’Ω†Ω مِنْ Ψ­ΩŽΨ±ΩŽΨ¬ΩΫ—...

Artinya: "Berjuanglah kamu pada (jalan) Allah dengan sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama..."

Sholat Qadha Mengganti Sholat yang Terlewat

Sholat yang tidak dikerjakan pada waktunya wajib diganti atau diqadha. Qadha berlaku bagi siapa saja yang meninggalkan sholat karena uzur syar'i, seperti perang, perjalanan, sakit, atau tertidur.

Rasulullah SAW sendiri pernah tidak melaksanakan empat waktu sholat dalam Perang Khandaq, lalu beliau mengqadha semuanya begitu memungkinkan. Bagi wanita yang haid atau nifas, tidak ada kewajiban qadha untuk sholat yang ditinggalkan selama masa haid itu. Namun jika suci dan waktu sholat masih tersisa, ia wajib sholat.

Dalam situasi tertentu seperti tidak ada air dan tanah (untuk bersuci), atau sedang di atas kendaraan yang tidak memungkinkan sholat, maka qadha dapat menjadi solusi. Bahkan jika seseorang tertidur atau lupa, ia tetap wajib mengqadha. Nabi SAW juga pernah tertidur hingga melewatkan sholat Subuh, lalu menunaikannya setelah bangun.

Mengenai orang yang meninggalkan sholat secara sengaja, jumhur ulama dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) menyatakan bahwa ia tetap wajib mengganti sholatnya meskipun berdosa. Tidak menggantinya hanya akan menambah dosa.




(inf/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads