Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyuarakan kekhawatirannya terhadap pelaksanaan UU Jaminan Produk Halal Indonesia. Pihaknya merasa aturan tersebut menjadi hambatan teknis perdagangan mereka.
Dalam dokumen Laporan Perkiraan Dagang Nasional 2025 yang dirilis Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) pada 31 Maret 2025, AS memaparkan hambatan perdagangan luar negeri yang dihadapi eksportirnya. Salah satunya menyoroti UU RI Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
"Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, sertifikasi halal wajib diberikan kepada produk pangan, minuman, farmasi, kosmetik, alat kesehatan, produk biologi, produk rekayasa genetika, barang konsumsi, dan produk kimia yang diperjualbelikan di Indonesia. Semua proses bisnis, termasuk produksi, penyimpanan, pengemasan, distribusi, dan pemasaran, tercakup dalam undang-undang ini," bunyi dokumen tersebut seperti dikutip detikHikmah, Selasa (22/4/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena Indonesia terus mengembangkan peraturan untuk menerapkan undang-undang ini, para pemangku kepentingan AS khawatir bahwa Indonesia telah menyelesaikan banyak peraturan tersebut sebelum memberitahukan rancangan peraturan tersebut kepada WTO dan mempertimbangkan masukan dari para pemangku kepentingan, sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Perjanjian WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan dan sebagaimana yang direkomendasikan oleh Komite WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan (Komite TBT WTO)," tambahnya.
Laporan tersebut kemudian menyoroti Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 784/2021 tentang produk-produk yang memerlukan sertifikasi halal dan KMA Nomor 1360/2021 tentang bahan yang dikecualikan dari kewajiban sertifikasi halal. AS merasa aturan ini bisa diubah.
"Ini adalah dokumen yang hidup, artinya dapat diamandemen tanpa memerlukan penerbitan keputusan baru," paparnya.
Aturan Akreditasi Badan Sertifikasi Halal Dinilai Memberatkan
Dokumen tersebut juga menyoroti sejumlah aturan akreditasi badan sertifikasi halal asing atau Halal Certification Body (HCB). Pemerintah AS merasa aturan tersebut memberatkan HCB AS untuk bisa menerbitkan sertifikasi halal, yang sebenarnya bisa dipangkas prosedurnya.
"Amerika Serikat khawatir bahwa peraturan akreditasi tersebut menciptakan permintaan dokumen yang berlebihan, persyaratan yang semakin memberatkan bagi auditor untuk memenuhi syarat, dan kebijakan rasio cakupan terhadap auditor yang sewenang-wenang, yang semuanya meningkatkan biaya dan menunda prosedur akreditasi yang tidak perlu bagi HCB AS," jelasnya.
"Amerika Serikat terus menyuarakan kekhawatirannya terhadap peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 di Komite TBT WTO dan Komite Perdagangan Barang WTO," tutup laporan itu.
(kri/inf)
Komentar Terbanyak
Di Masjid Al Aqsa, Menteri Garis Keras Israel Serukan Ambil Alih Gaza
Menteri Israel Pimpin Ibadah Yahudi di Halaman Masjid Al Aqsa
Indonesia Konsisten Jadi Negara Paling Rajin Beribadah