Kenapa Babi Haram Dimakan Menurut Ajaran Islam? Ini Alasannya

Kenapa Babi Haram Dimakan Menurut Ajaran Islam? Ini Alasannya

Indah Fitrah - detikHikmah
Jumat, 18 Apr 2025 07:00 WIB
portrait of a two pig. effect of an old black and white film with grain
Ilustrasi babi. Foto: Getty Images/iStockphoto/zayatssv
Jakarta -

Larangan mengonsumsi babi dalam ajaran Islam bukanlah hal yang baru diketahui. Namun, masih banyak yang bertanya-tanya kenapa babi haram dimakan? Apa sebenarnya alasan utama di balik keharamannya? Apakah karena faktor kesehatan, atau murni karena ketetapan dalam agama?

Ada sejumlah alasan kenapa babi haram dimakan. Para ulama telah menjelaskan hal ini dengan bersandar dalil-dalil Al-Qur'an dan hadits.

Kenapa Babi Haram Dimakan?

Sering kali kita mendengar alasan bahwa babi haram karena dianggap kotor, membawa penyakit, atau mengandung parasit tertentu. Walaupun secara ilmiah hal tersebut bisa dibuktikan, tetapi ternyata Islam tidak mendasarkan larangan ini pada hal tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut buku Seri Fiqih Kehidupan susunan Ahmad Sarwat, haramnya babi dalam Islam adalah murni ketetapan dari Allah SWT. Tidak perlu ada justifikasi ilmiah agar hukum ini menjadi sah. Sebab, hakikat ketaatan seorang Muslim adalah menerima perintah Allah, terlepas dari apakah akal bisa memahaminya atau tidak.

Apalagi, banyak masyarakat di dunia yang secara rutin mengonsumsi daging babi tanpa menunjukkan dampak kesehatan yang ekstrem. Jika alasan ilmiah dijadikan dasar utama, maka larangan ini seharusnya berlaku universal, tidak hanya dalam Islam.

ADVERTISEMENT

Pendapat Para Ulama Mazhab tentang Najisnya Babi

Tiga mazhab besar dalam Islam, yaitu Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali, sepakat bahwa seluruh tubuh babi, dalam keadaan hidup sekalipun, dihukumi najis. Kenajisannya mencakup seluruh bagian tubuh, dari bulu, air liur, keringat, hingga kotorannya.

Landasan hukum dari pandangan ini adalah firman Allah dalam surah Al-An'am ayat 145:

قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Arab latin: Qul lā ajidu fīmā ūḥiya ilayya muḥarraman 'alā ṭā'imiy yaṭ'amuhū illā ay yakūna maitatan au damam masfūḥan au laḥma khinzīrin fa innahū rijsun au fisqan uhilla ligairillāhi bih(ī), famaniḍṭurra gaira bāgiw wa lā 'ādin fa inna rabbaka gafūrur raḥīm(un).

Artinya: Katakanlah, "Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali (daging) hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena ia najis, atau yang disembelih secara fasik, (yaitu) dengan menyebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa pun yang terpaksa bukan karena menginginkannya dan tidak melebihi (batas darurat), maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Dari ayat ini, para ulama memahami bahwa bukan hanya dagingnya yang najis dan haram dikonsumsi, melainkan keseluruhan bagian tubuhnya tidak layak disentuh atau dimanfaatkan.

Sementara itu, mazhab Maliki memiliki pendekatan yang berbeda. Mereka tidak menganggap zat babi sebagai sesuatu yang najis secara mutlak. Dalam pandangan mereka, semua makhluk hidup secara asal adalah suci, termasuk tubuh babi. Namun demikian, mereka tetap sepakat bahwa mengonsumsi babi adalah perbuatan yang haram. Perbedaan pendapat ini hanya berkaitan dengan status najisnya, bukan pada keharamannya sebagai makanan.

Boleh Makan Babi Bila Darurat

Islam memberikan keringanan dalam situasi yang mendesak. Ketika seseorang berada dalam keadaan darurat dan tidak ada makanan lain yang bisa menyelamatkan nyawanya, maka diperbolehkan baginya mengonsumsi makanan yang haram, termasuk daging babi.

Hal ini ditegaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 173:

اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Arab latin: Innamā ḥarrama 'alaikumul-maitata wad-dama wa laḥmal-khinzīri wa mā uhilla bihī ligairillāh(i), fa maniḍṭurra gaira bāgiw wa lā 'ādin falā iṡma 'alaih(i), innallāha gafūrur raḥīm(un).

Artinya: Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Namun, konsumsi dalam kondisi seperti ini hanya dibolehkan sebatas untuk bertahan hidup, bukan untuk dinikmati atau dijadikan kebiasaan.

Wallahu a'lam.




(inf/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads