Menag yang memiliki latar belakang anak pondok ini mendorong agar sistem pendidikan pesantren lebih fokus pada pengembangan spiritualitas dan ilmu ketuhanan. Beliau mengingatkan bahwa pesantren memiliki metodologi dan tujuan pembelajaran yang berbeda dengan sekolah formal.
"Dalam mengukur Pondok Pesantren, kita jangan larut dengan ukuran-ukuran yang dibuat lembaga-lembaga yang sekuler, lembaga-lembaga yang dibentuk untuk kepentingan yang sangat pragmatis. Ukurlah pondok pesantren itu dengan ukurannya sendiri," jelas Nasaruddin Umar, dikutip dari laman Kemenag, Kamis (14/11/2024).
"Metodologi atau mungkin kita mulai dari Ontologi, epistemologi, dan aksiologi di pondok pesantren itu sangat berbeda dengan perguruan atau sekolah tinggi atau universitas," sambungnya.
Menag memberikan contoh, di pesantren, Al-Qur'an tidak hanya dipelajari sebagai kitab suci, tetapi juga sebagai kalamullah atau firman Tuhan. Pendekatan ini, menurutnya, sangat berbeda dengan pendekatan yang umumnya dilakukan di sekolah-sekolah formal.
Menag juga menyampaikan harapannya agar pesantren kembali menjadi pusat ilmu pengetahuan seperti pada masa lalu. Beliau mengutip pendapat Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang menyatakan bahwa jika tidak ada kolonialisme, pesantren seperti Lirboyo akan lebih terkenal daripada universitas-universitas umum.
"Jangan kita terlalu larut dengan metodologi alat-alat ukur modern dan mengukur pondok pesantren dengan itu. Nanti terjadi semacam pendangkalan spiritual di kalangan pondok kita," tutur Nasaruddin Umar.
"Saya yakin Majlis Masyayikh yang terpilih ini akan mengembalikan bahkan akan terus melanjutkan visi-visi pondok pesantren ini," lanjut Imam Besar Masjid Istiqlal itu.
Menag meminta kepada para pengurus pesantren untuk kembali mereview kurikulum yang ada. Kurikulum pesantren harus tetap relevan dengan perkembangan zaman, namun tidak boleh meninggalkan akar spiritualitasnya.
"Jadi mari kita kembali nembenahi kurikulum kita di pondok pesantren. Jangan sampai nanti kita terkontaminasi oleh tolak ukur pendidikan formal sehingga kita tidak mempelajari Al-Quran sebagai Kalamullah, hanya mempelajarinya sebagai Kitabullah," tukasnya.
Seperti diketahui, ada tiga agenda penting yang dibahas dalam pertemuan itu. Agenda pertama adalah peluncuran sistem penjaminan mutu untuk pesantren yang salah satunya diupayakan melalui peluncuran SYAMIL (Sistem Layanan Informasi Majelis Masyayikh).
Kedua, pengukuhan Dewan Masyayikh. Pengukuhan resmi diharapkan dapat memperkuat posisi mereka dalam pengawasan dan pengembangan mutu pesantren.
Ketiga adalah pentingnya menjaga kemandirian pesantren. Anggaran menjadi salah satu ukuran keberhasilan dari sistem pendidikan pesantren yang baru. Dalam hal ini, Majelis Masyayikh berperan sebagai penghubung antara pesantren dan negara, memastikan aspirasi pesantren didengar dan diperhatikan.
Para peserta sepakat untuk terus berkolaborasi dan berbagi sumber daya guna meningkatkan mutu dan aksesibilitas pendidikan pesantren. Acara ini dianggap sebagai langkah awal penting dalam membangun ekosistem pendidikan yang saling mendukung antara pesantren dan negara, guna menciptakan generasi santri yang unggul dan berdaya saing di tingkat nasional maupun global.
(hnh/lus)
Komentar Terbanyak
Ada Penolakan, Zakir Naik Tetap Ceramah di Kota Malang
Sosok Ulama Iran yang Tawarkan Rp 18,5 M untuk Membunuh Trump
Respons NU dan Muhammadiyah Malang soal Ceramah Zakir Naik di Stadion Gajayana