7 Masjid Tertua di Jakarta, Usianya Sudah Ratusan Tahun

7 Masjid Tertua di Jakarta, Usianya Sudah Ratusan Tahun

Lusiana Mustinda - detikHikmah
Senin, 12 Agu 2024 08:00 WIB
Masjid Jami Al Khairaat
Masjid Jami Al Khairat (Foto: Devi Setya/detikcom)
Jakarta -

Kehadiran Islam di Indonesia berkembang dari para Wali Songo. Diantara peninggalan Wali Songo adalah masjid-masjid tua yang sudah berusia ratusan tahun. Tentu masjid ini menjadi saksi perjuangan penyebaran agama Islam di Tanah Air.

Tidak hanya di Jawa, Jakarta juga memiliki masjid yang usianya sudah mencapai ratusan tahun. Masjid tua ini tentu sangat berperan dalam upaya penyebaran agama Islam. Ada banyak masjid bersejarah yang masih berdiri kokoh di Jakarta.

Selain menjadi tempat ibadah, masjid-masjid legendaris ini juga sering dikunjungi wisatawan baik lokal ataupun mancanegara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masjid-masjid Tertua di Jakarta

1. Masjid Jami Al Khairaat

Masjid Jami Al Khairaat ini menjadi salah satu masjid yang eksis di Jakarta Timur. Lokasinya ada di kawasan Batu Ampar, Condet. Dinobatkan sebagai salah satu masjid tertua di Jakarta karena keberadaan masjid ini sudah ada sejak abad ke-16.

Masjid ini didirikan oleh Dato' Kudul dan Dato' Dji'in, keduanya adalah kakak beradik. Mereka warga asli Betawi yang tinggal di Condet. Sebagai masjid tertua di kawasan Jakarta Timur, Masjid Jami Al Khairaat masih aktif menjadi wadah untuk beribadah dan menimba ilmu agama Islam.

ADVERTISEMENT

2. Masjid Al Alam Marunda

Dikenal sebagai Masjid Si Pitung, masjid ini jadi yang tertua di Jakarta. Berdiri sejak tahun 1527, berlokasi di tepi pantai Marunda, Kelurahan Cilincing, Jakarta Utara. Dilansir buku Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia yang ditulis Abdul Baqir Zein, Masjid ini seolah menjadi saksi bisu atas rentetan peristiwa dan perkembangan yang terjadi di sekitarnya, sejak keberadaannya di awal abad ke-17.

Masjid Al-Alam adalah satu di antara masjid-masjid tua di Jakarta yang mampu membangkitkan rasa keimanan di dada atas kebesaran Allah SWT.

3. Masjid Raya Al Arif Jagal Senen

Masjid yang berada di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat ini dikenal dengan Masjid Jagal. Berdiri sejak tahun 1695, masjid ini memiliki bentuk persegi panjang dengan atap limas dan kubah besar di atasnya.

4. Masjid Jami Al-Barkah

Masih dalam buku Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia, Masjid Jami Al-Barkah berlokasi di Jalan Kemang Utara. Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua yang ada di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Didirikan tahun 1818 oleh Guru Sirin.

Konon, Guru Sirin adalah salah satu wali yang berasal dari Banten. Salah satu keunikan masjid ini yakni pada bagian belakang, di sisi barat bangunan terdapat makam tua. Disalah satu makan ini bersemayam jasad Guru Sirin yang wafat tahun 1920.

5. Masjid Jami Assalafiyah

Sekitar tahun 1619 M terjadi pertempuran yang melibatkan prajurit Pangeran Jayakarta dengan serdadu Pemerintah Hindia Belanda yang pada waktu itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jaan Pieter Zoon Coen di daerah Mangga Dua (wilayah Jakarta Pusat).

Pada pertempuran itu prajurit Pangeran Jayakarta terkepung dari beberapa arah. Dengan cara melepas jubah dan kemudian dibuang ke sebuah sumur tua, akhirnya Pangeran Jayakarta dapat meloloskan diri. Lalu serdadu Belanda, begitu melihat jubah Pangeran ada di dalam sumur, mereka mengira Pangeran Jayakarta telah meninggal. Akhirnya, sumur itu pun ditimbun.

Karena suasana yang tidak memungkinkan, akhirnya Pangeran Jayakarta hijrah ke Jakarta Timur. Sampailah ia di daerah hutan jati yang sangat lebat, kini dikenal sebagai daerah Jatinegara. Di hutan jati dan di seberang Kali Sunter-pada waktu itu--inilah, Pangeran Jayakarta kemudian mendirikan sebuah masjid.

Masjid ini didirikan pada tahun 1620 M. Awalnya masjid ini didirikan untuk menghimpun para jawara (preman, jagoan) dan ulama untuk meneruskan perjuangannya melawan Pemerintah Belanda dan perbaikan masjid menjadi wewenang Pemda DKI. Terutama renovasi terhadap cungkup makam Pangeran Jayakarta itu sendiri.

6. Masjid Al Anwar

Masjid al-Anwar yang dahulu mempunyai nama Masjid Angke. Masjid ini terletak di wilayah Jakarta Barat dan tidak dapat dilepaskan dengan tokoh-tokoh pejuang dan pendiri Jakarta tempo dulu, seperti Pangeran Fatahillah dan Tubagus Angke. Kini, Masjid Angke menjadi bagian dari cagar budaya yang dilindungi undang-undang monumen (monumen ordonantie Stbl 1931 No. 238).

Masjid yang berdiri diatas tanah seluas 400 meter persegi dan berukuran 15 x 15 m, memang termasuk kecil. Akan tetapi, keberada- annya cukup menarik karena bentuk-bentuk bangunannya memper- lihatkan perpaduan dari berbagai gaya arsitektur, seperti gaya bangunan Belanda, Banten kuno, dan Cina.

Seorang ahli sejarah yang berkebangsaan Belanda, Dr. F. Dehan, dalam bukunya Oud Batavia, menulis, masjid ini didirikan pada Kamis, tanggal 26 Sya'ban 1174 H yang bertepatan dengan tanggal 2 April 1761

7. Masjid Jami Matraman

Kalau Anda singgah di Gedung Proklamasi yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat, jangan lupa singgah ke Masjid Jami Matraman yang jaraknya hanya sekitar 300 meter dari gedung tempat diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia.

Masjid Jami Matraman ini aslinya bernama Masjid Jami Matraman Dalem yang artinya 'masjid jami para abdi dalem' atau para pengikut setia Kasultanan Mataram Ngayogyakarta. Tidak usah heran, Sultan Agung Hanyokrokusumo pernah mengirimkan laskar Mataram dalam upaya merebut Batavia dari tangan Kompeni Belanda. Meskipun kemudian tercatat dalam sejarah, misi Sultan Agung itu gagal karena ratusan prajurit Mataram tewas akibat wabah kolera yang mengganas, tetapi dari pihak Kompeni mengalami kerugian yang amat besar dengan gugurnya pemimpin mereka Jaan Pieter Zoen Coen yang pada waktu itu menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (Betawi).

Daerah yang dahulunya menjadi tempat bermukim prajurit- prajurit Kasultanan Mataram, oleh orang Betawi disebut Matraman (asal kata Mataraman). Sekarang meliputi daerah sepanjang Jalan Salemba Raya di Jakarta Pusat sampai ke Pasar Jatinegara, Jakarta Timur (dahulu disebut orang Meester Cornelis).

Masih bersumber dalam buku Abdul Zein, dalam sejarah, tercatat dua kali Sultan Agung mengirimkan pasukannya ke Batavia. Setelah gagal untuk kedua kalinya, akhirnya Sultan Agung menarik kembali pasukannya ke markas pusat di Yogyakarta. Akan tetapi, tidak sedikit prajurit Mataram tersebut yang enggan kembali ke markasnya. Mereka umumnya bukan prajurit reguler Kasultanan Mataram, tetapi hanya sukarelawan yang karena cintanya terhadap perjuangan di jalan Allah atau jihad fi sabilillah, ikut bergabung bersama-sama prajurit Mataram.

Setelah tidak lagi berjuang di medan perang, para prajurit sukarelawan ini pun mengalihkan perjuangannya di medan dakwah, menjadi penyebar agama Islam di seluruh pelosok-pelosok Betawi. Mereka melebur dan menikah dengan penduduk pribumi dan melahir- kan generasi baru kaum Betawi yang militan.

Masjid ini didirikan pada tahun 1837 M dengan arsitektur yang diilhami bentuk masjid di Timur Tengah dan India. Mempunyai kubah yang besar dan menjulang, berada tepat di titik pusat. Di sebelah kiri dan kanan masjid berdiri tegak dua buah menara perlambang keagungan Islam Warnanya yang kuning keemasan, amat mencolok, memberi kesan berani. Itu memang warna perjuangan bagi kaum yang sedang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Airnya.




(aeb/aeb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads