Seandainya kami boleh memiliki sifat iri, kami akan iri dengan umat yang hidup di masa kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Kami iri dengan 'Ukasyah, salah seorang sahabat yang kulit badannya bisa bersentuhan langsung dengan Rasulullah hanya beberapa hari menjelang wafatnya Sang Penghulu Nabi.
Kami iri dengan Thalhah yang rela beberapa jarinya terputus demi melindungi Rasulullah dari serangan pedang pasukan kafir Quraisy. Kami iri dengan Abu 'Ubaidah yang rela dua giginya tanggal saat mengeluarkan pecahan topi baja dari pipi Kanjeng Nabi.
Tapi kami yang hidup 14 abad setelah masa kanjeng Nabi ini tak boleh iri. Sebab umat yang lahir jauh setelah Nabi Muhammad wafat juga termasuk orang yang beruntung. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, "Bahagialah bagi siapa yang melihat aku dan beriman kepadaku. Dan bahagia (pulalah) bagi siapa yang beriman kepadaku, padahal dia tidak melihat aku (tujuh kali)."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satu yang bisa kami lakukan adalah meneladani bagaimana para sahabat mencintai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagaimana banyak dikisahkan dalam sirah nabawiyah maupun buku-buku yang lain. Salah satunya tentang cerita tentang 'Ukasyah yang bisa memeluk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam saat sama-sama tidak mengenakan baju.
Suatu hari menjelang wafat, Rasulullah meminta para sahabat berkumpul di Masjid Nabawi. Kemudian dari atas mimbar, putra Abdullah bin Abdul Muthalib ini bersabda, "Wahai kaum muslim. Demi Allah dan demi hakku atas kalian. Barangsiapa yang pernah aku zalimi tanpa sepengetahuanku, berdirilah dan balaslah kezalimanku itu."
Namun tak ada satu pun sahabat berdiri. Rasulullah pun mengulangi sabdanya hingga tiga kali. "Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya aku merupakan nabi, pemberi nasihat, dan mengajak kepada Allah atas izin-Nya. Bagi kalian, aku tidak berdaya seperti saudara yang sebapak dan seibu. Maka siapa saja di antara kalian yang pernah aku sakiti, bangkitlah dan balaslah aku, sebelum datang nanti pada Hari Kiamat kelak," sabda Nabi Muhammad SAW.
Barulah kemudian berdiri seorang pria bernama Ukasyah bin Mihshan yang langsung menghampiri Nabi Muhammad SAW. Ukasyah mengaku sempat terkena pecutan cambuk Rasulullah saat terjadi Perang Badar. Itu terjadi saat unta yang ditunggangi Ukasyah tiba-tiba lepas kendali, sehingga mendahului unta Nabi Muhammad SAW. Saat Ukasyah turun dari untanya dan mendekat ke arah Nabi Muhammad, mendadak Nabi Muhammad mengayunkan cambuk dan mengenai tubuh Ukasyah. "Aku tidak tahu saat itu, apakah Engkau (Muhammad) bermaksud mencambukku atau unta," kata Ukasyah.
Rasulullah SAW kemudian berdoa memohon perlindungan kepada Allah SWT atas kesalahannya pada Ukasyah. Sang Rasul Ulul Azmi itu pun meminta Bilal bin Rabbah ke rumah Fatimah untuk mengambil cambuk yang tergantung di dinding. Sementara para sahabat termasuk Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab yang berkumpul di Masjid Nabawi menahan amarah kepada Ukasyah. Mereka heran dengan Ukasyah yang tega melakukan hukum qisash dengan mencambuk Nabi Muhammad SAW.
Bahkan para sahabat rela menggantikan Nabi Muhammad untuk menerima balasan hukuman dari Ukasyah. Namun Nabi Muhammad tegas dengan mempersilakan kepada siapapun yang pernah Rasulullah zalimi untuk membalas. Maka setelah Bilal kembali ke Masjid Nabawi membawa cambuk, diserahkanlah cambuk itu kepada Ukasyah.
"Ukasyah, cambuklah aku. Lakukanlah bila benar aku pernah berbuat salah kepadamu!" kata Rasulullah.
"Wahai Rasulullah, saat engkau mencambukku pada waktu Perang Badar, badanku saat itu tidak ditutupi kain," kata 'Ukasyah.
Maka Nabi Muhammad SAW pun melepas bajunya, sehingga tampak kulit punggung dan perut beliau. Seluruh sahabat kian marah kepada 'Ukasyah, namun mereka tak bisa mencegah.
Setelah Rasulullah SAW melepas bajunya, tiba-tiba 'Ukasyah melemparkan cambuk itu dan berlari memeluk Rasulullah SAW dari belakang. Kulit 'Ukasyah pun bersentuhan langsung dengan badan Nabi Muhammad. 'Ukasyah juga menciumi punggung Rasulullah SAW. "Ya Rasulullah, aku ingin memeluk engkau sehingga kulitku menyentuh kulitmu. Sungguh sebuah kemuliaan bagiku bila bisa melakukannya," kata 'Ukasyah dengan air mata berderai.
Ada juga kisah para sahabat yang rela bertaruh nyawa saat Perang Uhud saking cintanya kepada Nabi Muhammad SAW. Ada Nusaibah dan Ummu Sulaim, dua perempuan yang tak lagi muda namun dengan semangat tinggi ikut terjun ke medan Perang Uhud bersama 700 tentara Islam. Ketika tentara Muslim terdesak, keduanya menjadi perisai melindungi Nabi Muhammad SAW dari serangan tentara Quraisy. Padahal saat itu tubuh mereka penuh luka akibat sabetan pedang lawan.
Pakaian mereka yang awalnya berwarna putih sudah berubah warna menjadi merah karena darah. Jubah nyaris tak berbentuk karena sobek di sana sini.
Masih dari Perang Uhud ada Thalhah yang sejumlah jarinya terputus demi melindungi Rasulullah dari serangan pedang Qamiah, salah satu tentara Kafir Quraisy. Pada akhirnya pedang Qamiah berhasil mengenai topi baja Nabi Muhammad SAW. Pelipis cucu kesayangan Abdul Muthalib itu pun terluka. Qamiah belum puas dan sekali lagi mengayunkan pedangnya hingga membentur topi baja Nabi Muhammad SAW. Ayahanda Fatimah Az Zahra itu pun roboh, pingsan.
Wajah Rasulullah penuh luka. Pecahan-pecahan logam menancap di pipi putra Siti Aminah itu. Salah seorang sahabat yang bernama Abu 'Ubaidah terenyuh. Setelah Rasulullah sadar, dia pun mendekatinya. "Ya Rasulullah, izinkan saya membersihkan wajah muliamu," kata Abu 'Ubaidah lirih. Suaranya tercekat, air matanya tumpah.
Setelah mendapatkan izin, Abu 'Ubaidah menggigit pecahan topi baja yang menonjol dari pipi Rasulullah. Dia tidak menarik langsung pecahan topi baja itu karena khawatir akan menimbulkan rasa sakit pada diri Rasulullah. Barulah setelah topi baja pecah, dia keluarkan perlahan-lahan dari pipi Nabi Muhammad. Hal itu dia lakukan berulang-ulang hingga dua giginya tanggal.
Kisah Abu 'Ubaidah, Nusaibah, Ummu Sulaim dan 'Ukasyah di atas baru sebagian kecil wujud kecintaan para sahabat kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Masih banyak lagi kisah-kisah lainnya yang membuat kami iri. Kami iri sebab tak bisa secara langsung membalas cinta Rasulullah kepada umatnya. Cinta yang begitu tulus, besar dan ikhlas.
Saking cintanya, tiada sedetikpun terlewat tanpa Rasul memikirkan umat. Bahkan hingga saat menjelang wafatnya pun, Nabi Muhammad masih memikirkan umatnya. "Ummati, ummati, ummati," itulah kalimat yang diucapkan Nabi Muhammad saat menghadapi sakaratul maut di tengah perihnya rasa sakit karena nyawa akan berpisah meninggalkan raga.
Sementara kami, -semoga tergolong ke dalam umat Nabi Muhammad SAW-, hingga kini masih sering susah untuk mewujudkan cinta kami pada Rasulullah. Lidah ini sering lebih piawai melantunkan lagu-lagu modern ketimbang mengumandangkan sholawat kepada Nabi Muhammad. Kami sering kalah oleh nafsu dari pada meneladani sikap rendah hati Rasulullah. Mata dan hati ini sering terhalang untuk mampu merasakan cinta tulus sang kekasih Allah subhanahu wa ta'ala.
Di tengah keterbatasan dan kemampuan ini kami hanya bisa berharap di saat hari kiamat nanti, kami termasuk dalam golongan orang-orang yang dicari Nabi Muhammad SAW untuk diberi syafaat. Agar kami terlepas dari pedihnya siksa api neraka. Agar kami bisa bersama Rasulullah berada di Surga. Maka, izinkan kami mencintaimu ya Rasulallah.
Erwin Dariyanto
Jurnalis, Redaktur Pelaksana detikHikmah detikcom
Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili sikap institusi di mana penulis bekerja.
(erd/erd)
Komentar Terbanyak
Menteri Israel Pimpin Ibadah Yahudi di Halaman Masjid Al Aqsa
Saudi, Qatar dan Mesir Serukan agar Hamas Melucuti Senjata untuk Akhiri Perang Gaza
Indonesia Konsisten Jadi Negara Paling Rajin Beribadah