Kemuliaan pribadi Rasulullah SAW sudah terlihat jauh sebelum kenabian. Beliau lebih suka merenung untuk mengamati, berpikir panjang, dan mendalami kebenaran.
Hal tersebut diceritakan Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam Ar-Rahiq al-Makhtum: Sirah Nabawiyah. Dikatakan, dalam diri Nabi Muhammad SAW terhimpun banyak kelebihan dan sifat terpuji.
"Beliau adalah figur ideal dengan pikiran jernih dan analisis tajam. Beliau memperoleh kedudukan terhormat berkas kecerdasannya, kedalaman wawasannya, dan kecermatannya memilih sarana dan meraih tujuannya," papar Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemikiran jernih dan analisis tajam Rasulullah SAW terlihat dari kebiasaan beliau yang lebih suka merenung berlama-lama untuk mendalami kebenaran. Beliau juga gemar mempelajari kisah hidup manusia dan permasalahan sosial di dalamnya.
Rasulullah SAW selalu menolak dan menghindari perbuatan menyimpang. Setiap bergaul dengan orang lain, beliau betul-betul mempertimbangkan kemaslahatan urusannya dan urusan mereka. Beliau hanya akan bergabung jika hal itu membawa kebaikan, sebaliknya jika membawa mudharat, beliau lebih suka memisahkan diri.
Lebih lanjut Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri menjelaskan, dalam kesehariannya Rasulullah SAW tidak suka minum khamar, tidak makan daging ternak yang disembelih untuk persembahan kepada berhala, tidak menghadiri upacara pemujaan berhala pada hari raya atau acara keagamaan pada masa itu.
Bahkan, kata Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, sejak kecil beliau sudah menempatkan berbagai ritual pemujaan terhadap berhala tersebut sebagai sesuatu yang paling dibenci. Apalagi setiap kali mendengar sumpah atas nama Lata dan Uzza, dua berhala yang dituhankan zaman jahiliah.
Rasulullah Selalu Dilindungi dari Dorongan Nafsu Dunia
Ada suatu riwayat yang menceritakan tatkala Rasulullah SAW selalu tertidur ketika mendatangi resepsi pernikahan orang jahiliah. Beliau bersabda,
"Tidak pernah terlintas di benakku keinginan untuk melakukan lebih dari dua kali apa yang dilakukan oleh orang-orang jahiliah. Allah menghalangiku dari hal itu. Kemudian aku tidak pernah lagi menginginkannya sampai Allah memberiku kehormatan dengan mengangkatku sebagai rasul.
Suatu hari, aku berkata kepada seorang temanku ketika mengembala di perbukitan Makkah, "Maukah engkau mengawasi dombaku? Aku ingin turun ke Makkah dan bersenang-senang sebentar dengan anak-anak di tana." Temanku menjawab, "Baiklah."
Aku pun turun sampai melewati rumah pertama penduduk Makkah, ketika kudengar bunyi nyanyian, aku bertanya, "Apa ini?" Mereka menjawab, "Ada resepsi pernikahan lelaki ini dengan perempuan itu."
Maka aku duduk untuk mendengarkan. Tidak lama kemudian Allah menutup pendengaranku dan aku jatuh tertidur. Baru terbangun ketika matahari telah tinggi. Aku pun kembali kepada teman penggembalaku. Dia bertanya, lalu kuceritakan hal-ihwalnya.
Pada malam yang lain aku menginginkan hal yang sama. Aku masuk Makkah. Namun, di sana aku mengalami seperti yang kualami pada malam yang pertama dahulu. Setelah itu, satu kali pun aku tidak pernah lagi berangan-angan untuk melakukan hal yang buruk."
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan perawi lainnya. Al-Hakim menilainya shahih, sementara Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah menyebutnya lemah (dhaif).
(kri/nwk)
Komentar Terbanyak
MUI Kecam Rencana Israel Ambil Alih Masjid Al Ibrahimi di Hebron
Pengumuman! BP Haji Buka Lowongan, Rekrut Banyak SDM untuk Persiapan Haji 2026
Info Lowongan Kerja BP Haji 2026, Merapat!