Kriteria Cacat Hewan yang Sebabkan Makruh untuk Kurban

Kriteria Cacat Hewan yang Sebabkan Makruh untuk Kurban

Nilam Isneni - detikHikmah
Rabu, 07 Jun 2023 14:01 WIB
Idul Adha diperingati setiap tahun pada 10 Dzulhijjah dan identik dengan pemotongan hewan kurban. Lalu, mengapa Idul Adha disebut juga Hari Raya Kurban?
Ilustrasi kriteria cacat hewan yang makruh dijadikan kurban. Foto: Getty Images/iStockphoto/Rudy Tarigan
Jakarta -

Saat hendak melaksanakan kurban sebaiknya memperhatikan bagaimana kriteria cacat hewan yang menyebabkan makruh untuk berkurban. Mengingat, Rasulullah SAW melarang kurban dengan hewan cacat.

Dijelaskan oleh Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqih Sunnah Jilid 3, anjuran memilih hewan kurban bersandar pada hadits Imam Malik yang meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dia berkata kepada anak-anaknya,

"Wahai anakku, janganlah salah seorang di antara kalian berkurban dengan unta yang ia sendiri malu jika memberikannya kepada orang paling dicintai dan dihormatinya. Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Mulia dan Dzat yang paling berhak untuk diberi sesuatu yang terbaik."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sayyid Sabiq juga menjelaskan bahwa hewan yang dijadikan kurban harus dalam kondisi yang sehat. Kalau mengacu pada syarat ini, maka hewan yang matanya buta, kakinya pincang, berpenyakit kulit, atau badannya kurus, tidak boleh dijadikan sebagai kurban.

Sa'id bin Mansur meriwayatkan dari Hasan, dia berkata, "Para ulama telah menjelaskan bahwa apabila seseorang membeli unta atau hewan kurban dalam keadaan sempurna, kemudian unta atau hewan kurbannya yang sudah dibelinya buta, pincang, atau kurus sebelum hari penyembelihan kurban, yaitu tanggal sepuluh Zuhijah, dia tetap diperbolehkan untuk menyembelihnya dan hal itu sudah mencukupi."

ADVERTISEMENT

Ammi Nur Baits dalam buku Panduan Qurban dari A sampai Z: Mengupas Tuntas Seputar Fiqh Qurban menjelaskan mengenai cacat hewan kurban yang dibagi menjadi tiga macam, salah satunya adalah cacat yang menyebabkan makruh untuk berkurban, yaitu:

  • Hewan yang sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong.
  • Tanduknya pecah atau patah.

Ammi Nur Baits juga menukil Kitab Asy Syarhul Mumthi karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsmain bahwa terdapat hadits yang menyatakan larangan berkurban dengan hewan yang memiliki dua cacat, telinga terpotong atau tanduknya pecah. Namun, hadits ini dhaif sehingga ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh untuk kurban.

Hamdan Rasyid dan Saiful Hadi El-Sutha dalam buku Panduan Muslim Sehari-hari menjelaskan mengenai salah satu syarat bagi hewan kurban adalah tidak cacat.

Oleh karena itu, hewan yang cacat matanya, pincang, terpotong tanduk atau telinganya, hewan yang sakit, dan hewan yang kurus, maka hewan-hewan tersebut tidak boleh dijadikan sebagai hewan kurban. Rasulullah SAW bersabda,

أَرْبَعُ لَا تَجُورُ فِي الْأَضَاحِي: الْعَوْرَاءُ البَينُ عَوَرُهَا، وَالْمَرِيضَةُ البَيْنُ مَرَضُهَا، وَالْعَرْجَاءُ البَين طَلْعُهَا، وَالْكَسِيرَةُ الَّتِي لا تُنْقِى

Artinya: "Empat hewan tidak boleh dijadikan sebagai hewan kurban, yaitu: hewan yang cacat matanya dengan cacat yang jelas. hewan yang pincang dengan pincang yang jelas: hewan yang kurus kering yang tidak dapat digemukkan lagi, dan hewan yang sakit dan jelas sakitnya." (HR Muslim, Ahmad, dan lain-lain)

Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani dalam Kitab Shalaatul Mu'min menjelaskan mengenai maksud dari hadits ini. Dijelaskan bahwa al-'auraa' al-bayyin 'auruha adalah yang salah satu matanya terbuka atau menonjol.

Dikatakan, jika cacat matanya tidak sampai membuatnya buta, tetapi hanya rabun, hewan itu boleh dijadikan kurban. Akan tetapi, yang sehat adalah yang lebih baik.

Adapun, al-mariidhah al-bayyin mardhuhaa diartikan yang pada tubuhnya terlihat bekas-bekas sakit, misalnya sakit demam yang menyebabkannya tidak dapat digembalakan.

Selain itu, seperti juga bekas sakit gatal-gatal yang terlihat jelas yang dapat merusak daging atau mempengaruhi kesehatan, dan penyakit-penyakit lainnya yang dikategorikan sebagai sakit yang benar-benar jelas.

Tetapi, jika binatang itu tampak malas sehingga tidak mau dibawa ke tempat penggembalaan dan juga malas makan, hal itu boleh saja dijadikan hewan kurban, tetap tetap yang sehat adalah lebih baik darinya.

Al-'arjaa' adalah binatang yang tidak dapat berjalan sempurna. Jika kepincangannya itu hanya ringan dan tidak tampak, boleh saja dijadikan kurban, tetapi yang sehat tetap yang lebih baik. Demikian menurut penjelasan Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani.




(kri/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads