Kenapa Musafir Diberi Keringanan Sholat?

Kenapa Musafir Diberi Keringanan Sholat?

Berliana Intan Maharani - detikHikmah
Senin, 24 Apr 2023 20:00 WIB
4 Hukum Berpuasa bagi Musafir dalam Islam
Foto: iStock
Jakarta -

Orang yang sedang berpergian atau dalam perjalanan (musafir) diberi keringanan untuk mengerjakan sholat. Namun, keringanan tersebut tidak berarti menghilangkan kewajibannya dengan meninggalkan sholat.

Lantas, kenapa musafir diberi keringanan sholat?

Dijelaskan dalam Kitab Al-Wafi: Syarah Hadis Arba'in Imam an-Nawawi oleh Musthafa Dieb al-Bugha & Muhyiddin Mistu, hakikatnya Allah SWT mensyariatkan hukum-hukum Islam untuk memberi kemudahan kepada kaum muslimin, bukan untuk menyulitkan.

Hal tersebut sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur'an surat Al-Hajj ayat 78, Allah SWT berfirman:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

...وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى ٱلدِّينِ مِنْ حَرَجٍ...

Artinya: "Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan." (QS Al-Hajj: 78).

ADVERTISEMENT

Selain itu, turut diterangkan dalam hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh agama ini mudah. Karena itu, mudahkanlah dan jangan mempersulit." (HR Bukhari).

Oleh sebab itu, Allah SWT banyak sekali memberikan keringanan hukum kepada umat Islam, salah satunya yaitu musafir yang diberi keringanan sholat.

Alasan musafir diberi keringanan sholat juga salah satunya didasarkan pada salah satu riwayat hadits. Dinukil dari buku Fikih Sunnah Jilid 2 karya Sayyid Sabiq, dalam sebuah hadits disebutkan:

إِنَّ اللَّه وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ، وَ شَطْرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ الْحُبْلَى، وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ

Artinya: "Sesungguhnya Allah memberi keringanan kepada orang yang bepergian untuk tidak berpuasa dan mengqashar shalat, sedangkan perempuan hamil dan menyusui diberi keringanan untuk tidak berpuasa." (HR Abu Daud).

Keringanan Sholat Pada Musafir

Musafir mendapatkan keringanan dalam melaksanakan sholat fardhu. Berikut ini bentuk keringanan sholat pada musafir sebagaimana dijelaskan dalam buku Panduan Muslim Kaffah Sehari-Hari dari Kandungan hingga Kematian.

1. Sholat Jamak

Sholat jamak ialah mengerjakan dua sholat fardhu dalam satu waktu. Sholat fardhu yang bisa dijamak dalam satu waktu hanyalah sholat Dzuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya. Sedangkan sholat Subuh tidak boleh dijamak dengan sholat apapun.

Syarat sahnya sholat jamak di antaranya, yaitu dalam perjalanan jauh minimal 81 km, perjalanan tersebut bukan untuk tujuan maksiat, dalam keadaan sangat takut atau khawatir (misalnya dalam keadaan perang, sakit, hujan lebat, bencana alam).

Sholat jamak dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu jamak taqdim dan jamak takhir. Jamak taqdim adalah mengerjakan dua sholat fardhu dalam waktu sholat fardhu yang pertama. Sementara jamak takhir yaitu mengerjakan dua sholat fardhu dalam waktu sholat fardhu yang kedua.

2. Sholat Qashar

Sholat qashar merupakan sholat yang diringkas rakaatnya. Artinya, melakukan sholat fardhu dengan cara meringkasnya dari empat rakaat menjadi dua rakaat. Sholat fardhu yang boleh diqashar hanyalah sholat yang jumlah rakaatnya empat, yaitu sholat Dzuhur, Ashar, dan Isya.

Syarat sahnya sholat qashar sama dengan sholat jamak ditambah tidak boleh bermakmum kepada orang yang shalat dengan rakaat sempurna.

3. Sholat Jamak Qashar

Sholat jamak qashar yaitu menggabungkan dan sekaligus meringkas dua shalat fardhu dalam satu waktu. Hukum dan syaratnya sama dengan sholat jamak dan sholat qashar. Pelaksanaan sholat jamak qashar dapat dilaksanakan secara taqdim (di awal) maupun takhir (di akhir).

Syarat Musafir

Tidak semua orang yang bepergian lantas dikatakan sebagai musafir dan bisa melakukan keringanan-keringanan dalam hal ibadah. Ahmad Sarwat dalam bukunya Seri Fiqih Kehidupan 3 menyebutkan ada tiga syarat utama seorang musafir.

1. Keluar dari Daerah Tempat Tinggalnya

Seseorang baru bisa disebut sebagai musafir apabila ia keluar dari wathan atau daerah tempat tinggalnya. Meski ia sudah menempuh jarak yang ditetapkan seperti seorang musafir, jika belum keluar dari daerahnya tidak bisa dikatakan sebagai musafir sehingga keringanan untuk musafir tidak boleh dilakukan.

Contohnya, seseorang yang mengemudikan mobil dan masuk ke jalan tol di Jakarta. Meskipun alat pengukur jarak menunjukkan telah menempuh lebih dari 100 km, tetapi kalau hanya berputar-putar saja di dalam kota lalu pulang ke rumah, maka tidak disebut musafir.

2. Memiliki Tujuan Tertentu

Musafir dalam perjalanannya juga harus memiliki tujuan tertentu yang pasti secara spesifik, bukan sekadar berjalan tanpa arah dan tujuan. Selain itu, perjalanan yang dilakukan hendaknya tidak bertujuan untuk melakukan maksiat atau kemungkaran yang dilarang Allah SWT.

Perjalanan yang dilakukan dengan tujuan untuk mencuri, berjudi, berpraktik riba, mengerjakan sihir, atau perbuatan maksiat lainnya menjadi tidak dibenarkan dan tidak berlaku keringanan untuk melakukan sholat dengan jama' atau qashar bagi pelakunya.

3. Ada Jarak Minimal ke Tempat yang Dituju

Seseorang dikatakan sebagai musafir apabila telah menempuh jarak minimal dari wilayah tempat tinggalnya hingga ke tempat tujuannya. Dalam hal penentuan jarak seorang musafir, para ulama memiliki perbedaan pendapat.

Quraish Shihab dalam buku Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui menyebutkan, menurut mazhab Syafi'i dan Maliki jarak yang ditempuh musafir sekurang-kurangnya adalah 77 kilometer. Sedangkan menurut Madzhab Abu Hanifah, yaitu 115 kilometer.

Imam Ahmad berpendapat bahwa seseorang tidak bisa lagi disebut sebagai musafir jika dia telah bermaksud tinggal empat hari atau lebih di suatu tempat. Imam Syafi'i dan Malik juga berpendapat demikian. Sementara Imam Abu Hanifah membenarkan sampai lima belas hari.

Itulah alasan kenapa musafir diberi keringanan sholat. Syariat Islam pada dasarnya memberikan kemudahan dan tidak mempersulit umatnya. Maka dari itu, seorang musafir diberi keringanan untuk menunaikan sholat fardhu dengan syarat dan ketentuan yang telah dijelaskan.




(lus/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads