Ada beberapa perang yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. Usai perang, biasanya akan dibagikan ghanimah yakni harta rampasan perang.
Dalam sejarah peradaban Islam, menaklukkan wilayah adalah hal yang biasa dilakukan oleh Rasulullah SAW bersama dengan umat muslim. Untuk menyebarluaskan Islam melalui dakwah, Rasulullah juga berperang melawan kaum musyrikin.
Atas izin Allah, umat Islam berhasil memenangkan peperangan. Seusai berperang dan keadaan telah kembali stabil, biasanya Rasulullah sebagai pemimpin akan membagikan ghanimah sesuai dengan syariat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa sebenarnya ghanimah itu?
Pengertian Ghanimah
Menurut Muhammad Rawwas dalam Mausu'ah Fiqhi Ummar ibn Al-Khattab RA, terjemahan M. Abdul Mujieb AS, Ensiklopedi Fiqih Ummar bin Khattab ra, yang dikutip dari jurnal Baitul Mal dan Ghanimah: Studi Tentang Ijtihad Umar bin Khattab dalam Penguatan Lembaga Kuengan Publik, ghanimah adalah harta yang dirampas orang-orang Islam dari tentara kafir dengan jalan perang.
Adapun berdasarkan Fikih Sunnah-Jilid 5 oleh Sayyid Sabiq, ghanimah memiliki bentuk jamak ghanaim. Secara bahasa, ghanimah berarti apa yang didapatkan oleh manusia melalui usaha. Ghanimah juga biasa disebut sebagai anfal (kata jamak dari nafal) yang berarti tambahan.
Beberapa jenis ghanimah antara lain persenjataan, kendaraan, perlengkapan perang, stok makanan, bahan pangan, emas dan perhiasan perak, barang antik, juga batu mulia.
Sejarah Ghanimah
Pada masa jahiliyah sebelum masa keislaman, apabila suku-suku Arab melakukan peperangan dan sebagian dari mereka menang dalam menghadapi sebagian yang lain. Pihak yang menang mengambil ghanimah atau harta rampasan perang dan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan tersebut berdasarkan ketetapan dari pemimpin.
Selanjutnya, dalam kepemimpinan khulafaur rasyidin, Islam mengekspansi wilayah dengan cara berperang. Dengan berperang inilah, umat Islam mendapatkan harta dari pihak musuh. Adapun bentrok bersenjata pertama kali antara Rasulullah dengan kaum musyrikin adalah pada perang Badar pada tanggal 17 bulan Ramadhan (tahun kedua beliau hijrah).
Peperangan tersebut dimenangkan oleh kaum muslimin dan dengan kemenangan yang gemilang, untuk pertama kalinya kaum muslimin merasakan manisnya menang atas penindasan yang dilakukan kaum musyrikin selama bertahun-tahun.
Hal ini senada dengan firman Allah dalam Al-Qu'ran Ali Imran ayat 167:
وَلِيَعْلَمَ الَّذِيْنَ نَافَقُوْا ۖوَقِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا قَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اَوِ ادْفَعُوْا ۗ قَالُوْا لَوْ نَعْلَمُ قِتَالًا لَّاتَّبَعْنٰكُمْ ۗ هُمْ لِلْكُفْرِ يَوْمَىِٕذٍ اَقْرَبُ مِنْهُمْ لِلْاِيْمَانِ ۚ يَقُوْلُوْنَ بِاَفْوَاهِهِمْ مَّا لَيْسَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ ۗ وَاللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُوْنَۚ
Artinya: dan mengetahui orang-orang yang munafik. Dikatakan kepada mereka, "Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu)." Mereka menjawab, "Seandainya kami mengetahui (bagaimana cara) berperang, tentulah kami mengikutimu." Mereka pada hari itu lebih dekat pada kekufuran daripada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya sesuatu yang tidak ada dalam hatinya. Allah lebih mengetahui segala sesuatu yang mereka sembunyikan.
Bagaimana Hukum Ghanimah?
Hukum ghanimah adalah boleh atau mubah dalam Islam. Jadi, ghanimah halal dan diizinkan dalam Islam. Sesuai dengan hadits berikut ini.
"Halalnya ghanimah bagi kita karena Allah mengetahui kelemahan dan ketidakberdayaan kita." (HR. Bukhari dan Muslim).
Ada juga dalil ghanimah dihalalkan hanya bagi umat Islam sebagaimana dalam Al-Qur'an surat Al Anfal ayat 69 yang berbunyi:
فَكُلُوْا مِمَّاغَنِمْتُمْ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: "Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Cara Pembagian Ghanimah
Imam al-Mawardi dalam bukunya Ahkam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam menjelaskan pada awalnya, Rasulullah membagi-bagikan harta tersebut berdasarkan ijtihadnya sendiri. Namun, karena Perang Badar, kaum Muslimin dan kaum Anshar memperebutkan harta tersebut. Akhirnya Allah pun menjadikannya sebagai milik Rasul-Nya. Nabi pun memiliki hak yang mutlak untuk mengelolanya.
Abu Umamah al-Bahili berkata, "Aku pernah bertanya kepada Ubadah bin Shamit mengenai harta rampasan perang sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat Al Anfal ayat 1:
يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَنْفَالِۗ قُلِ الْاَنْفَالُ لِلّٰهِ وَالرَّسُوْلِۚ فَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاَصْلِحُوْا ذَاتَ بَيْنِكُمْ ۖوَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗٓ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, "Harta rampasan perang itu milik Allah dan Rasul (menurut ketentuan Allah dan Rasul-Nya). Maka, bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang-orang mukmin."
Ubadah bin Shamit menjawab, "Ayat itu diturunkan kepada kami (pasukan perang Badar) ketika kami saling berebut harta rampasan perang. Moral kami saat itu sangat rusak. Karena itulah, Allah mengalihkan ghanimah tersebut dari kami dan menyerahkannya kepada Rasulullah.
Beliau kemudian membagi-bagikan ghanimah tersebut secara merata kepada kaum muslimin. Dari semua ghanimah perang Badar, beliau hanya mengambil jatah pedang Dzul Fiqar yang awalnya pedang tersebut adalah milik Munabbin bin al-Hajjaj.
Hanya itulah yang beliau ambil dan bukan seperlimanya sebagaimana ketentuan pembagian ghanimah sebagai berikut berdasarkan Al-Qur'an surat Al Anfal ayat 41.
وَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَاَنَّ لِلّٰهِ خُمُسَهٗ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ اِنْ كُنْتُمْ اٰمَنْتُمْ بِاللّٰهِ وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعٰنِۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
a. Jatah seperlima pertama adalah Rasulullah SAW dan sepeninggal beliau, jatah tersebut dialokasikan untuk kemaslahatan umum
b. Jatah seperlima kedua adalah kerabat Rasulullah SAW dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib
c. Jatah seperlima ketiga adalah anak-anak yatim
d. Jatah seperlima keempat adalah orang-orang miskin
e. Jatah seperlima kelima adalah ibnu sabil (musafir)
Barulah setelah jatah seperlima ghanimah tersebut dibagikan sesuai syariat, sisanya dibagikan kepada ahlu radhakh (orang-orang yang mendapat jatah sedikit). Orang yang menjadi bagian dari ahlu radhakh ini antara lain orang-orang yang ikut dalam peperangan tetapi tidak memiliki jatah dari ghanimah seperti misalnya budak, kaum wanita, anak-anak, dan para penyandang cacat.
Orang kafir dzimmi hendaknya juga diberi jatah ghanimah sesuai dengan kebutuhannya dengan catatan jatah mereka tidak boleh melebihi jatah para tentara yang berkuda atau tentara yang berjalan kaki.
Itulah penjelasan dari pengertian, sejarah, hukum, dan juga cara pembagian ghanimah. Perlu diingat bahwa tanpa peran Rasulullah SAW dan para pengikutnya di masa itu, Islam tidak akan tersyiar semasif sekarang. Oleh karenanya, kita harus mencontoh kegigihan mereka berani yang berperang atas nama Allah.
(dvs/dvs)
Komentar Terbanyak
Di Masjid Al Aqsa, Menteri Garis Keras Israel Serukan Ambil Alih Gaza
Rekening Buat Bangun Masjid Kena Blokir, Das'ad Latif: Kebijakan Ini Tak Elegan
Menteri Israel Pimpin Ibadah Yahudi di Halaman Masjid Al Aqsa