Pergi haji merupakan rukun Islam kelima bagi mereka yang mampu. Artian mampu di sini tidak hanya secara fisik melainkan juga mental dan finansial.
Kewajiban haji tercantum dalam surah Ali Imran ayat 97, Allah SWT berfirman:
فِيهِ ءَايَٰتٌۢ بَيِّنَٰتٌ مَّقَامُ إِبْرَٰهِيمَ ۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَٰلَمِينَ
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Artinya: "Padanya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) maka amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah SWT, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam."
Menurut Ahmad Sarwat dalam Ensiklopedia Fikih Indonesia: Haji & Umrah, haji secara bahasa artinya al qashdu yang bermakna menyengaja melakukan sesuatu yang agung. Haji juga didefinisikan mendatangi sesuatu atau seseorang.
Secara istilah, pengertian haji berarti mendatangi Kakbah untuk menunaikan amal perbuatan tertentu. Selain itu, haji juga dapat diartikan berziarah ke tempat khusus pada waktu tertentu dengan mengerjakan amal perbuatan khusus dengan niat ibadah.
Haji bahkan menjadi ibadah yang sangat didambakan setiap muslim. Walau begitu, biaya yang dibutuhkan seseorang untuk pergi haji tidak sedikit, karenanya ini menjadi kendala kebanyakan orang untuk bertolak ke Tanah Suci.
Alasan tersebut menyebabkan sejumlah orang mempertimbangkan opsi meminjam uang dengan berutang demi bisa pergi haji. Lantas, bagaimana pandangan ulama terkait hal ini? Apakah berutang untuk pergi haji diperbolehkan?
Bolehkah Melunasi Biaya Haji dengan Berutang?
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang bisa dijadikan pedoman bagi muslim mengenai berutang untuk biaya haji. Fatwa ini dikeluarkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI ke-X, 26 November 2020 lalu.
Dalam fatwa tersebut, dikatakan membayar setoran awal haji dengan uang hasil pinjaman atau pembiayaan diperbolehkan. Berikut bunyi fatwanya,
Ketentuan Hukum
1. Pembayaran setoran awal haji dengan uang hasil utang hukumnya boleh (mubah) dengan syarat:
a. bukan utang ribawi; dan
b. orang yang berutang mempunyai kemampuan untuk melunasi utang, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.
Uang yang dipinjam dari pihak lain dianggap sebagai upaya atau ikhtiar seorang muslim untuk menunaikan kewajiban haji. Tentunya, kewajiban ini harus disertai kemampuan mendasar sebagai seorang umat beragama yang memiliki kewajiban lain pada keluarga atau orang yang jadi tanggungannya.
Turut dijelaskan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia/DSN MUI Nomor: 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Melalui fatwa tersebut diterangkan terkait dana talangan untuk membeli kursi porsi haji atau melunasi biaya haji yang nantinya pinjaman itu dilunasi dengan cara diangsur.
Dana talangan haji dari bank merupakan produk pembiayaan yang diberikan oleh bank kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana yang diperlukan guna mendapat porsi haji. Nasabah nantinya akan membayar kembali pinjaman tersebut secara bertahap sesuai kesepakatan.
Fatwa dari DSN MUI itu menyatakan pembiayaan haji yang dilakukan oleh bank syariah diperbolehkan dengan syarat tertentu, seperti menggunakan akad murabahah atau ijarah dan harus bebas dari unsur riba. Berikut bunyi fatwanya,
Ketentuan Umum
1. Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000.
2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
3. Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.
4. Besar imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah.
Apakah Hajinya Orang yang Berutang tetap Sah?
Menurut buku Fatwa-Fatwa Essensial susunan Anwar Hafidzi, berhaji dengan cara utang menggunakan talangan haji tetap sah tetapi termasuk sunnah untuk melakukannya. Sebab, orang yang berangkat haji dengan berutang masih dalam kategori tidak mampu yang artinya belum memenuhi syarat wajib haji.
Sunnah bisa berubah menjadi makruh bahkan mudharat apabila orang yang berangkat haji tanpa bekal yang cukup bisa membahayakan diri sendiri hingga keluarga yang ditinggalkan. Misalnya, dia memaksakan haji sampai-sampai nafkah untuk keluarganya tidak terpenuhi dan menyebabkan terganggunya kesehatan jiwa.
Wallahu a'lam.
(aeb/lus)












































Komentar Terbanyak
MUI: Nikah Siri Sah tapi Haram
Tolak Mundur dari Ketum PBNU, Gus Yahya Kumpulkan Ulama Malam Ini Tanpa Rais Aam
Gus Yahya Kumpulkan Alim Ulama di PBNU Malam Ini, Rais Aam & Sekjen Tak Diundang