Turbulensi Kuota Haji Itu Bermula dari Sini

Kolom Hikmah

Turbulensi Kuota Haji Itu Bermula dari Sini

Agus Maftuh Abegebril, Penulis Kolom - detikHikmah
Kamis, 25 Sep 2025 05:48 WIB
Duta Besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi dan Perwakilan Tetap Indonesia untuk OKI
Agus Maftuh Abegebril (Foto: Mardi Rahmat/20 detik)
Jakarta -

Pada musim haji tahun 2019 adalah musim haji ke empat kalinya dan terakhir saya bertugas sebagai pelayan jamaah haji Indonesia. Setelah itu pemerintah Arab Saudi menghentikan kedatangan jamaah haji dari luar negeri termasuk Indonesia sampai dengan tahun 2022 karena adanya pandemi COVID-19.

Musim haji tahun 2019 juga musim haji di mana Mbah Maemoen Zubeir wafat yang 24 jam sebelumnya sempat memberikan wejangan kepada kami sekeluarga dan menyampaikan "kalimat pamitan" yang sangat mengharukan sekaligus mengagetkan.

Masih di bulan haji tahun tersebut, saya sebagai pelayan haji Indonesia di tahun ke empat penugasan, mengirimkan dua surat penting kepada Khadimul Haramain Raja Salman bin Abdulaziz bin Abdurrahman Al Saud dan Putra Mahkota "Sayyid as-Syabab" Pangeran Mohammed bin Salman Al Saud (MBS) setelah saya berjumpa beliau berdua di Istana Mina.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lho emang boleh seorang Duta Besar (bukan Dusta Besar) melakukan korespondensi dengan Raja dan Putra Mahkota? Bukannya Dubes hanya diperbolehkan berkomunikasi dan korespondensi "paling pol" ke Menlu Kerajaan Arab Saudi? Dubes sudah "nabrak" aturan protokoler dan tradisi diplomatik Saudi?

Di Arab Saudi, protapnya memang seorang Dubes hanya boleh berkomunikasi "mentog" ke Menteri Luar Negeri Kerajaan Arab Saudi. Dan memang di KBRI Riyadh tidak saya temukan arsip nota komunikasi Dubes RI mulai 1955 sampai dengan 2015 yang "direct atawa mubasyarah" ke Raja-Raja Saudi mulai Raja Saud bin Abdulaziz, Faisal bin Abdulaziz sampai dengan Raja Salman bin Abdulaziz.

ADVERTISEMENT

Lalu kenapa anda "murasalah" ke Raja dan Putra Mahkota? Saya jawab: karena saya diberikan izin alias diperbolehkan oleh Kantor Raja (Royal Court - Diwan Malaki) dan saya meyakininya sebagai anugerah "diplomatical miracle" dan juga sebagai "bid'ah diplomatik"yang maslahah untuk Indonesia.

Saya tidak ingat betul tahun 2019 tersebut surat yang ke berapa yang saya haturkan ke Raja Salman dan Putra Mahkota. Sampai saya pulang mengakhiri tugas di Saudi pada akhir tahun 2021 sekitar 40-an surat yang saya kirimkan ke Raja Salman dan selalu dibalas. Surat balasannya selalu dengan kertas khusus yang berhologram, bermaterial mewah, dengan font unik spesial yang tidak konvensional dengan Khadimul Haramain selalu tertulis di akhir surat tersebut.

Semua surat atau nota diplomatik dari Raja dan MBS saya bawa pulang ke Sewon Yogyakarta sebagai oleh-oleh kerja "bid'ah diplomatik".

Pada intinya dalam kedua surat tersebut, saya sebagai pelayan WNI dan jamaah haji Indonesia berterimakasih kepada Raja Salman dan Putra Mahkota MBS atas pemberian fasilitas dan kemudahan-kemudahan kepada jamaah haji Indonesia, yang pada waktu itu total kuota sebanyak 231.000 jamaah haji.

Surat Agus Maftuh kepada Kerajaan SaudiSurat Agus Maftuh kepada Kerajaan Saudi Foto: Dokumentasi Agus Maftuh

Surat Agus Maftuh kepada Kerajaan SaudiSurat Agus Maftuh kepada Kerajaan Saudi Foto: Dokumentasi Agus Maftuh

Lho kok kuotanya 231.000? bukannya 221.000?

Tahun 2019, Indonesia mendapatkan kuota haji 231.000 jamaah haji dengan perincian sebagaimana yang ada dalam Dashboard sistem E-Hajj ketika itu, 214.000 merupakan Mission Quota (ini istilah yang tertulis di E-Hajj) atau haji regular dan 17.000 untuk Company Quota atau dikenal dengan kuota haji plus. Jumlah tersebut masih ditambah dengan Member Quota atau yang dikenal dengan visa mujamalah (Courtesy Visa) atau di Indonesia lebih populer dengan sebutan furada sebanyak 4200. Jadi total visa haji resmi pada tahun tersebut adalah 235.200 jamaah haji.

Angka tersebut belum termasuk jamaah haji Indonesia yang menunaikan ibadah haji dengan visa ziarah (kunjungan) dan visa amal (kerja) yang jumlahnya di atas visa mujamalah sekitar 7500 jamaah. Jadi total jamaah haji Indonesia tahun tersebut sekitar 242.000 jamaah. Ini belum termasuk jamaah haji WNI di Arab Saudi dan juga WNIO (Warga Negara Indonesia "Ora duwe dokumen") yaitu saudara-saudara saya para ekspatriat Indonesia yang berada di Kerajaan Arab Saudi yang jumlahnya ribuan yang menunaikan ibadah haji.

Tahun 2019 tersebut juga pertama kali kami "nganyari" menerapkan UU Haji yang baru yaitu UU No: 8 tahun 2019 yang pada waktu itu baru berusia 4 bulan, dengan memberlakukan komposisi 92 persen reguler dan 8 persen haji khusus termasuk kuota tambahan 10 ribu ketika itu. Realitanya tahun tersebut dengan komposisi 92,7 persen untuk reguler sisanya haji khusus. Ada kelebihan 0.7 persen untuk haji reguler.

Dalam surat saya ke Raja dan Putra Mahkota MBS yang copy-nya saya upload ini, saya sampaikan kepada Raja keinginan dan harapan Presiden RI Joko Widodo untuk menambah kuota haji sebanyak 29.000 agar total kuota untuk tahun berikutnya berada di angka 250.000 jamaah. Prioritasnya adalah untuk para lanjut usia (Kibar as-Sin dalam surat tsb) dan untuk mengurai antrian panjang sampai dengan 30 tahun. Ini narasi paragraf ketiga dari surat tersebut.

Kenapa minta kuota haji kepada Khadimul Haramain Raja Salman? Ya karena tempat kuota haji ada di Istana Raja, al-Diwan al-Malaki, Royal Court bukan di kantor lain. Alur kuota itu dari kantor Raja ke Menteri Negara Urusan Luar Negeri (bukan Menlu), dari sini turun ke Kementerian Haji Arab Saudi. Kalamul Malik Malikul Kalam yang artinya titah Raja adalah Rajanya titah. Loby kuota haji hanya efektif di Diwan Malaki. Dan ini adalah "diplomatical experiences" yang sudah "Burhaniy" alias sudah teruji.

Pernah saya sampaikan ketika menghadap Diwan Malaki bahwa memberikan tambahan kuota haji kepada Indonesia itu seperti memberikan sebotol air di padang sahara. Tetesan kuota sangatlah berharga bagi calon jamaah haji Indonesia yang kehausan kuota.

Raja Salman sangat besar perhatiannya kepada jamaah haji Indonesia yang di mata Saudi adalah jamaah yang paling "ansaq wa anzam" sangat terkordinir, sangat rapi dan sangat teratur.

Perhatian Raja ini dibuktikan dengan memberikan "privilege" dengan mengutus Putranya Pangeran Faisal bin Salman (kakak MBS) untuk secara khusus menyambut kedatangan jamaah haji Indonesia. Tidak pernah terjadi sebelumnya Prince Ring Satu menyambut jamaah haji Indonesia.

Pertanyaannya kenapa di musim haji berikutnya kuota Indonesia di angka 221.000 padahal sebelumnya sudah di angka 231.000? ke mana hilangnya 10.000 kuota? Jawabannya: saya tidak tahu, akhir tahun 2021 saya sudah purna tugas sebagai pelayan WNI dan jamaah haji Indonesia setelah 6 tahun berada di Riyadh.

Terkait dengan hebohnya KPK melakukan penyidikan penyelenggaraan ibadah haji, sebenarnya ini adalah bukan barang baru dan "ujug-ujug". Ini adalah realisasi dari sebuah skema operasi 8 tahun yang lalu.

KPK sendiri menelisik tentang penyelenggaraan haji setahu saya sudah sangat lama.

Periode ketua KPK, Pak Agus Raharjo pada tahun 2017 pernah merancang untuk operasi "pem-bolduzeran" kecurangan-kecurangan dalam penyelenggaran ibadah haji dengan membuat MOU dengan Lembaga anti korupsinya Arab Saudi. Namanya NAZAHA, Hai'ah li al-Riqabah wa Mukafahah al-Fasad, Oversight and Anti-Corruption Authority.

Salah satu kesepakatannya: KPK tangani "mawafi" haji (jamak dari mafia) dari warga Indonesia dan NAZAHA urus dan gebug "mawafi" dari warga negara Arab Saudi. MOU tersebut sudah ditandatangani dan merupakan salah satu MOU dari 20 MOU SAUNESIA (Saudi dan Indonesia) ketika saya bertugas di Riyadh Arab Saudi.

Bapak Agus Raharjo dan Bapak La Ode Muhammad Syarif yang bertemu dengan NAZAHA sempat spill ke saya ketika itu tentang adanya indikasi para mafia haji menyimpan "aset kerja"nya di Luar Negeri termasuk di Saudi.

KPK mengincar para mafia haji yang biasa menerima "cash back" dan "cash bag" dari para pemain-pemain haji di bidang pemondokan, katering, transportasi dan lain lain.

Saya tidak tahu persis kelanjutan operasi tersebut karena saya sadar betul bahwa mazhab KPK adalah "clandestine operation" dengan level "muntaha as-sirriyyah, sirriyun lil ghayah" alias top secret.

Yang saya tahu "devices" penyadapan KPK sudah sangat canggih yang salah satunya adalah GII atau GI-2 (GSM Intercept Interrogator) yang fisiknya seperti koper kecil yang dilengkapi antenna. Sebuah alat canggih yang mampu dan expert dalam misi "JENTIP- nginjen dan ngintip" tidak hanya aktifitas nomer hp dan seri IMEI-nya saja, tapi juga cerdas dalam mengidentifikasi IMSI (International Mobile Subcriber Identity), 16 digit angka yang ada di belakang setiap simcard. Tidak ada yang bisa "ngumpet" dari device ini.

Terkait gegeran, turmoil atau turbulences kuota haji yang sedang ditangani oleh KPK, apakah saya juga terlibat? Saya jawab; ya saya terlibat dalam memohon dan merengek ke Raja Salman dan MBS untuk penambahan kuota menjadi 250.000. Jika bertambahnya kuota haji Indonesia menjadi 240.000 atau 250.000 dianggap sebagai sebuah dosa dan "jarimah" kejahatan, maka saya sudah barang tentu termasuk bagian dari orkestra kejahatan tersebut sebagai "syarikun fil jarimah" part of crime, karena dari surat inilah semua bermula.


Druwo Sewon 24/09/25

Agus Maftuh Abegebril

Penulis adalah mantan Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi

Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. Terimakasih

Saksikan Live DetikPagi:




(erd/erd)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads