Tradisi Mengantar Jemaah Haji di Indonesia, Sudah Ada Sejak Zaman Kolonial

Tradisi Mengantar Jemaah Haji di Indonesia, Sudah Ada Sejak Zaman Kolonial

Devi Setya - detikHikmah
Jumat, 10 Mei 2024 18:00 WIB
Sejumlah jemaah haji asal NTT saat tiba di Bandara El Tari Kupang, Jumat (28/7/2023).
Tradisi mengantar jemaah haji Indonesia
Jakarta -

Ramainya asrama haji jelang keberangkatan jemaah asal Indonesia menjadi pemandangan yang umum terlihat. Tradisi mengantarkan jemaah haji hingga ke titik keberangkatan merupakan hal yang lazim dilakukan masyarakat Indonesia.

Biasanya orang-orang yang mengantar haji ini datang masih kalangan keluarga, tetangga hingga kerabat. Selain mendoakan, orang-orang yang mengantar haji ini berharap mendapat karomah agar kelak ikut menjadi tamu Allah SWT selanjutnya yang diundang ke Baitullah.

Tradisi mengantar jemaah haji ini ternyata sudah menjadi sebuah kebiasaan yang dilakukan sejak masa kolonial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengutip buku Perjalanan Religi Haji dan Umroh Pasca Pandemi Covid-19 oleh Fuad Thohari, dijelaskan calon jemaah haji biasanya akan menggelar walimatus safar atau selamatan menjelang keberangkatan ke Tanah Suci.

Dalam kegiatan ini, calon jemaah haji mengundang para tetangga, teman, kenalan atau kerabat untuk berpamitan. Acara ini sekaligus menjadi simbol pelepasan yang juga disaksikan tokoh agama setempat.

ADVERTISEMENT

Acara dilanjutkan dengan menuju ke titik keberangkatan haji, yakni asrama haji. Sebagian keluarga, tetangga dan kerabat akan penuh suka cita mengantar calon jemaah haji ini.

Fuad Thohari menyebut tradisi ini sudah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda. Pelepasan dan perpisahan antara calon jemaah haji dengan orang sekampungnya tak lepas dari lamanya perjalanan haji pada masa itu. Dahulu perjalanan haji yang ditempuh menggunakan jalur laut bisa memakan waktu berbulan-bulan.

Tradisi Mengantar Haji di Berbagai Daerah

Ibadah haji merupakan salah satu ibadah istimewa, karena hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mampu. Umat Islam yakin bahwa mereka yang pergi berhaji adalah orang yang diundang Allah SWT.

Mengantarkan calon jemaah haji merupakan hal yang tak kalah istimewa. Masyarakat dari berbagai daerah telah menjadikan kegiatan ini sebagai bagian dari tradisi saat menjelang musim haji.

Melansir laman Kemenag, sebagaimana dilaporkan Koran Java Bode, di tahun 1897, jamaah calon haji dielu-elukan oleh seisi desa. Tua dan muda ikut mengantar. "Di serambi stasiun orang saling berpelukan. Suatu pemandangan yang mengharukan."

Pada 1920, Ismail bin Hadji Abdoellah Oemar Effendi menuliskan pengalamannya melakukan perjalanan ke Singapura dengan menumpang kapal haji. Ia menyaksikan banyaknya pengantar jamaah calon haji di Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatera Utara.

Beratus orang menunggu kapal berangkat. "Sekaliannya tiada yang jernih air mukanya. Banyak antaranya yang menangis, terutama perempuan-perempuan dan anak-anak," tulis Ismail dalam buku Melawat ke Melaka, 1920 dan 1921. Ketika peluit kapal dibunyikan untuk kali pertama, makin banyak pengantar yang menangis. "Dan semakin kuat pula kedengannya tangis itu," kata Ismail.

Ada yang berpelukan dan berciuman sambil menangis. Ada yang sekadar berlinang air mata menahan sedih. Saat peluit dibunyikan untuk kedua kalinya, para pengantar turun dari kapal. Saat kapal berangkat, para pengantar kata Ismail, "Ada yang bergolek-golek di atas tanah, hampir pingsan." Mereka berpisah dengan ayah ibu atau kakek nenek yang melakukan perjalan haji dengan kapal untuk waktu setahun pergi-pulang.

Di tahun 1925, Bupati Bandung, Wiranatakoesoema, menyaksikan betapa jumlah jamaah yang berangkat ke Tanah Suci kalah besar dengan jumlah orang yang mengantar keberangkatan. Yang mengantarkan dirinya, ia gambarkan "baik di luar stasiun kereta api maupun di serambi stasiun khalayak berdesak-desakan dan banyak pengantar yang ikut menumpang dalam tiga gerbong tambahan."

Merangkum buku Awal Mula Muslim Di Bali Kampung Loloan Jembrana Sebuah Entitas Kuno oleh H. Bagenda Ali, diceritakan bahwa seluruh daerah di Kabupaten Bali memiliki tradisi mengantar calon jemaah haji. Pengantar akan menemani jemaah haji hingga di tempat penyebrangan kapal ferry di Gilimanuk.

Di Kabupaten Bali, tradisi mengantar haji ini dikenal dengan istilah Ninjo Haji (kata Ninjo berasal dari bahasa Melayu yang artinya meninjau).

Masih menurut buku yang ditulis H. Bagenda Ali, tradisi mengantar jemaah haji juga menjadi kebiasaan yang dilakukan di Makassar. Tradisi ini bahkan sudah dilakukan sejak nenek moyang suku Bugis-Makassar ketika melepas jemaah haji.

Di Surabaya, di Pelabuhan Tanjung Perak bahkan ada pelabuhan yang dikenal sebagai Tanjung Tangis. Pelabuhan ini menjadi titik keberangkatan jemaah haji dari Jawa Timur dan Bali pada masa lalu. Pelabuhan ini disebut Tanjung Tangis karena tempat itu menjadi tempat umat Islam menangis melepas kepergian sanak keluarga yang berangkat haji.

Tradisi ini masih berlangsung hingga saat ini. Perjalanan haji yang tidak terlalu lama menjadikan keluarga dan sanak saudara tidak menangis tersedu seperti di masa lalu. Tangis haru bahagia diiringi doa kini mengantarkan perjalanan jemaah haji ke Tanah Suci.




(dvs/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads