Salah satu hal penting yang menjadi perhatian calon jemaah haji adalah istitha'ah. Istitha'ah haji menurut mazhab Syafi'i dibagi menjadi dua.
Istitha'ah haji adalah keadaan mampu atau tidaknya seseorang untuk menunaikan ibadah haji. Mengutip buku Fatwa-Fatwa Imam Asy-Syafi'i: Masalah Ibadah karya Asmaji Muchtar, istitha'ah haji menurut mazhab Syafi'i dibagi menjadi dua macam. Berikut penjelasannya.
Istitha'ah Haji Menurut Mazhab Syafi'i
1. Mampu Menunaikan Ibadah Haji dari Segi Jasmani dan Harta
Pertama, mampu diri, yaitu jasmani sehat dan mempunyai harta yang cukup untuk membiayai haji. Hal ini tergolong sebagai istitha'ah atau mampu yang sempurna.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Orang yang berkemampuan sempurna untuk menunaikan haji, harus menunaikan haji itu sendiri. Atau dalam kata lain, ibadah itu tidak boleh diwakilkan oleh orang lain.
2. Tidak Mampu Secara Jasmani tapi Mampu Secara Harta
Kondisi kedua istitha'ah adalah tidak mampu karena jasmaninya yang tidak sehat dan tidak mampu menaiki kendaraan, namun memiliki orang yang bisa disuruh untuk haji atas namanya atau mempunyai harta yang cukup untuk membayar ongkos orang yang haji atas namanya.
Seorang muslim dengan keadaan seperti ini harus menunaikan haji meskipun harus diwakilkan oleh orang lain.
Hukum Badal Haji untuk Orang Lain
Sebagian ulama mengatakan ibadah haji hukumnya sama seperti ibadah dan amalan lain yang tidak bisa diwakilkan atau pahalanya disalurkan kepada orang yang diwakilkan.
Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa haji bisa diwakilkan oleh orang lain. Salah satu mazhab yang memegang prinsip ini adalah mazhab Syafi'i.
Imam Syafi'i menjelaskan dalam kitab Al-Umm, apabila ada seseorang yang mampu menunaikan haji secara finansial namun tidak mampu secara jasmani, baik karena sakit atau sudah tua, dan ada orang lain yang bisa mewakilkannya, maka ia tetap diwajibkan untuk menunaikan ibadah haji. Hanya saja, ia bisa meminta orang lain untuk berhaji atas namanya.
Ijma' ini didasarkan pada sebuah hadits Rasulullah SAW yang berbunyi,
Sufyan berkata, "Aku mendengar Zuhri menuturkan, dari Sulaiman bin Yasar, dari Ibnu Abbas, bahwa seorang wanita dari Khats'am bertanya kepada Rasulullah SAW."
Wanita itu berkata, "Sesungguhnya Allah memfardhukan haji atas hamba-hamba-Nya. Sementara ayahku sudah sangat tua sehingga dia tidak sanggup berada di kendaraannya. Apakah menurutmu aku boleh berhaji atas namanya (membadalkannya)?"
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Ya!"
Wanita itu bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, apakah itu (badal haji) bermanfaat baginya (ayahku)?"
Rasulullah SAW menjawab, "Ya! Itu seperti jika ayahmu memiliki utang, lalu engkau melunasi utang itu, maka itu bermanfaat baginya."
Berdasarkan hadits ini, Imam Syafi'i menyimpulkan ibadah haji atas nama orang lain atau melakukan ibadah haji dengan dibadalkan orang lain itu boleh dan bisa.
"Kalau memang kewajiban itu tidak wajib baginya (ayah wanita tadi), tentulah Rasulullah SAW akan bersabda, 'Tidak ada kewajiban atas ayahmu.' Karena ternyata ayah wanita itu sudah masuk Islam, tetapi dia tidak sanggup berkendara di kendaraannya," jelas Imam Syafi'i seperti diterjemahkan Fuad Syaifudin Nur.
Bisa saja Rasulullah SAW juga berkata, "Tidak boleh ada seorang pun yang melaksanakan haji atas nama orang lain. Karena setiap orang hanya boleh beramal atas nama dirinya sendiri." Namun kenyataannya Rasulullah SAW malah mendukung pertanyaan wanita tadi.
Dalam hadits lain juga dikatakan, ada seorang wanita yang berkata kepada Nabi Muhammad SAW,
"Sesungguhnya ibuku meninggal dunia dengan kewajiban haji atas dirinya." Rasulullah SAW pun bersabda, "Kalau begitu, maka berhajilah atas nama ibumu."
Diriwayatkan pula oleh Ja'far bin Muhammad, dari ayahnya, bahwa Ali bin Abi Thalib RA berkata kepada seorang tua renta yang belum melaksanakan ibadah haji,
"Jika engkau mau, maka bekalilah seseorang untuk berhaji atas namamu."
Imam Syafi'i berkata apabila seorang muslim sudah memiliki niat untuk mewakilkan hajinya kepada orang lain, namun ternyata saat tiba waktu haji dirinya sanggup untuk melakukannya sendiri, maka haji yang dilakukan oleh orang lain atas namanya itu menjadi tidak sah. Kemudian ia harus haji lagi sendiri.
Apabila orang itu tidak melaksanakan haji sampai akhirnya dia meninggal dunia, atau dia kembali mengalami kondisi tidak sanggup berhaji, maka dia wajib mengirim orang untuk melaksanakan haji atas namanya jika dia sampai pada kondisi itu, atau dia meninggal dunia. Sebab, haji yang dilakukan atas namanya oleh orang lain baru sah baginya setelah dia ada pada kondisi tidak sanggup berhaji sendiri.
Namun, jika ia sudah sanggup berhaji, maka ia termasuk orang yang wajib haji dan harus melaksanakan haji itu dengan berangkat sendiri ke Tanah Suci. Demikian menurut pendapat mazhab Syafi'i.
(kri/kri)
Komentar Terbanyak
BPJPH: Ayam Goreng Widuran Terbukti Mengandung Unsur Babi
OKI Gelar Sesi Darurat Permintaan Iran soal Serangan Israel
Iran-Israel Memanas, PBNU Minta Kekuatan Besar Dunia Tak Ikut Campur