Musibah ambruknya Mushola Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo, banyaknya bangunan yang mengalami kerusakan ketika terjadi gempa, fenomena urban sprawling, terjadinya degradasi kualitas fisik lingkungan, termasuk munculnya fenomena ekosistem kota yang 'sakit', dapat dibaca sebagai fenomena yang bersumber dari akar masalah yang berkaitan dengan manajemen penyelenggaraan bangunan dan lingkungan.
Permasalahan bangunan dan lingkungan tersebut juga dapat diduga kuat akibat terjadinya kesalahan dalam perencanaan, atau bahkan tidak ada perencanaan sama sekali. Kalaupun ada perencanaan, proses perencanaan sebatas pada pertimbangan aspek fisik dan fungsi bangunan, atau berorientasi pada kepentingan efisiensi 'proyek' semata. Akibatnya, produk perencanaan mengabaikan pertimbangan keamanan, keselamatan, kenyamanan, dan konservasi lingkungan.
Berbagai isu dan permasalahan di atas merupakan empirical evidence yang tak terbantahkan bagi pentingnya regulasi bangunan gedung yang keberadaannya juga merupakan amanat pembukaan UUD 1945 yang semangatnya dapat dimaknai bahwa negara harus menjamin keselamatan warga negara, termasuk menjamin keselamatan dari ancaman bahaya akibat kesalahan perencanaan, konstruksi, dan pemanfaatan bangunan gedung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak awal tahun 2000-an pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, pemerintah sudah mendorong dan menfasilitasi regulasi tentang bangunan gedung hingga kabupaten/kota, namun dalam implementasinya, beberapa pihak lebih fokus pada aspek retribusi, administrasi, atau fungsi bangunan gedung, melupakan mitigasi dan antisipasi bencana pada bangunan gedung.
Momentum penting dalam sejarah pengaturan bangunan gedung di Indonesia ditandai dengan disahkannya UU Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Tiga tahun kemudian terbit PP Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Bangunan Gedung, yang kemudian diikuti dengan beberapa ketentuan teknis tentang bangunan. Misalnya tentang Sertifikat Laik Fungsi (SLF) Bangunan Gedung
UU Bangunan Gedung beserta peraturan pelaksananya menjadi panduan bagi pemerintah dan masyarakat dalam penataan dan penyelenggaraan bangunan gedung agar terwujud bangunan gedung yang fungsional dan andal, yang mampu menjamin keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan bagi para penggunanya, serta serasi dan selaras dengan lingkungannya. Terkait dengan Bangunan Pondok Pesantren, Pasal 11 UU Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren juga mengatur bahwa pondok atau asrama pesantren harus memerhatikan aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.
Dimensi Teknis-Estetis
Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Persyaratan administratif meliputi status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan gedung. Persyaratan teknis meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung.
Secara estetis, setiap bangunan gedung juga harus memerhatikan karakteristik arsitektur dan lingkungan di sekitarnya sehingga tercipta keserasian, keselarasan, dan keseimbangan bangunan gedung dengan lingkungannya. Tata ruang dalam bangunan gedung juga harus memerhatikan fungsi ruang, tanpa mengabaikan aspek estetis dan keandalan bangunan gedung.
Kaidah-kaidah arsitektur bangunan gedung harus sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) atau harus mendapat rekomendasi dari pemerintah atau tim ahli terkait dan pendapat publik. Pemerintah juga seyogyanya menetapkan kaidah-kaidah arsitektur tertentu pada bangunan gedung dan kawasan tertentu dalam rangka menjaga marwah, jati diri dan 'identitas' bangunan dan kawasan/kota.
Pemberlakuan persyaratan teknis bangunan dimaksudkan untuk mewujudkan bangunan gedung yang dapat menjamin keselamatan pengguna dan lingkungannya, dapat ditempati secara aman, sehat, nyaman, dan aksesibel, sehinggga secara keseluruhan dapat memberikan jaminan terwujudnya bangunan gedung yang fungsional, layak huni, berjati diri, dan produktif, serta serasi dan selaras dengan lingkungannya. Dengan dipenuhinya persyaratan teknis bangunan gedung, diharapkan kegagalan konstruksi maupun kegagalan bangunan gedung dapat dihindari, sehingga pengguna bangunan dapat hidup lebih tenang, sehat, dan aman.
Dimensi Humanis Etis
Regulasi bangunan gedung telah menempatkan manusia sebagai pusat (center) dari kegiatan penataan dan penyelenggaraan bangunan gedung. Persyaratan teknis khususnya persyaratan keandalan bangunan gedung yang meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan, dibuat dalam upaya memberi 'jaminan' kepastian bahwa setiap bangunan gedung, selain layak, aman, dan sehat untuk dihuni, juga mampu memberi kenyamanan dan kemudahan bagi penghuninya.
Ketentuan persyaratan kenyamanan bangunan gedung mengatur bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan kemudahan, antara lain meliputi penyediaan fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman dan nyaman termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia untuk hubungan horizontal antar ruang, hubungan vertikal antar ruang, dan akses evakuasi. Ketentuan persyaratan kenyamanan juga mengatur bahwa setiap setiap bangunan harus mempertimbangkan faktor kenyamanan bagi penghuninya, baik kenyamanan ruang gerak, hubungan antar ruang, kondisi udara, pandangan, kenyamanan terhadap kebisingan dan getaran.
Pengadaan fasilitas dan aksesibilitas bangunan gedung dan lingkungan tersebut beserta persyaratan teknisnya, sangat menentukan status keandalan sebuah bangunan gedung. Jika sebuah bangunan dipandang 'tidak andal', maka bangunan tersebut tidak akan mendapatkan Sertifikat Laik Fungsi (SLF), dan bangunan tersebut belum dapat difungsikan/ditempati.
*
Pengaturan tentang bangunan gedung dibuat karena begitu stragisnya bangunan gedung dalam kehidupan. Bangunan gedung sama pentingnya dengan faktor-faktor produksi lainnya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Bangunan rumah misalnya, memiliki beragam fungsi, sebagai media bagi persemaian budaya, pembentukan watak dan jati diri, dan sarana bagi peningkatan kualitas generasi penerus. Di dalam Islam, rumah merupakan titik awal dari kebaikan masyarakat, karena proses pembinaan pertama dan utama masyarakat dimulai dari pembinaan individu di dalam rumah. Oleh karenanya, Islam sangat memerhatikan pembinaan keluarga yang dimulai dari dalam rumah (At-Tahrim [66]:6).
Tidaklah heran, jika Khalil Gibran dalam "Sang Nabi" menulis: "Rumahmu bukanlah sebuah sarang, melainkan tiang utama sebuah kapal layar". Bangunan rumah bukan semata-mata perfungsi sebagai "sarang" untuk tempat berteduh, lebih dari itu, ia merupakan pilar penting bagi manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan. Sebagai 'tiang utama kapal layar', tentu saja bangunan rumah harus fungsional dan andal, mampu menjamin keselamatan, kesehatan, dan kenyamanan bagi para penghuninya menuju tanah harapan. Dan ikhtiar untuk mewujudkannya bukan semata-mata kewajiban yuridis namun juga sebuah imperatif secara teologis, karena menjadi bagian dari tujuan syariat (maqashid al-syariah).
Tatang Astarudin
Penulis adalah Wakil Ketua BWI, Dosen UIN Sunan Gunung Djati, Pimpinan Pesantren Universal Al-Islamy Kota Bandung
Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)
(erd/erd)
Komentar Terbanyak
Gencatan Senjata Israel-Hamas Tercapai, Takbir Menggema di Gaza
Ini yang Disepakati Israel dan Hamas untuk Akhiri Perang Gaza
2 Tahun Perang Gaza: 67 Ribu Warga Tewas, Rumah-Tempat Ibadah Hancur