Gelombang santri, masyayikh, dan pecinta kitab kuning segera memadati Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan. Di pondok tua yang harum tradisi, As'adiyah, Indonesia menggelar Musabaqah Qira'atil Kutub Internasional (MQKI) perdana pada 1-7 Oktober 2025. Ajang ini diselenggarakan Kementerian Agama bersama panitia lokal dan diikuti ratusan peserta dari pelbagai provinsi serta sejumlah negara.
Perhelatan ini diharapkan menjadi momentum kebangkitan tradisi keilmuan Islam Nusantara yang akan kembali menggema dari Sengkang ke pentas dunia. Inilah panggung baru yang menyatukan teks, tradisi, dan jejaring keilmuan di bawah payung Nusantara.
Tradisi Kitab Kuning
Bagi sebagian orang, lomba membaca dan mengkaji kitab kuning mungkin tampak "tradisional". Namun di balik lembaran syarah dan hasyiyah, MQKI mengirimkan pesan yang amat modern bahwa Indonesia percaya diri memperlihatkan modal kultural dan intelektualnya kepada dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kaitan ini, Kementerian Agama layak diapresiasi. Bukan semata karena berhasil merangkai logistik perhelatan internasional yang kompleks, tetapi karena mampu membaca arah zaman. Reputasi keilmuan Nusantara memang perlu diangkat kembali di tengah kompetisi ide global. Dengan seleksi berjenjang dan kurasi materi yang ketat, MQKI memfasilitasi proses regenerasi keilmuan secara sistemik, dari marhalah dasar hingga tingkat tinggi, yang menuntut kemahiran membaca, memahami, dan mempertahankan argumen atas teks-teks otoritatif.
Tradisi kitab kuning di Indonesia sejatinya telah menjadi identitas dan tulang punggung ekosistem keilmuan pesantren yang tangguh. Para peneliti Barat pun telah lama mengakui kedalaman dan keluasan tradisi ini.
Martin van Bruinessen (1994) menggambarkan betapa jaringan pesantren di Jawa, Madura, dan Sumatra menjadikan kajian teks klasik sebagai wahana pembentukan otoritas keagamaan dan transmisi ilmu lintas generasi. Ia menegaskan bahwa kitab kuning adalah pranata sosial yang melahirkan ulama dan tradisi intelektual khas Nusantara.
Michael Laffan (2011) menempatkan kepustakaan dan jejaring keulamaan Nusantara dalam arus besar sejarah global. Ia memperlihatkan bagaimana interaksi ulama Nusantara dengan pusat-pusat ilmu di Haramayn dan Mesir sehingga membentuk sintesis pemikiran Islam yang khas, progresif, dan berdaya saing.
Sementara itu, Peter G. Riddell (2001) menambahkan dimensi filologis dan intelektual. Ia mencatat bahwa perkembangan pemikiran Islam di kepulauan Melayu-Indonesia dibentuk oleh transmisi teks Arab, mulai dari tafsir, fikih, akidah, hingga tasawuf, yang diolah secara kreatif oleh ulama setempat. Karena itu, karya-karya berbahasa Arab dari ulama Nusantara seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan Syekh Mahfuzh al-Tarmasi menempati posisi terhormat dalam halaqah-halaqah ilmu di dunia Islam.
Diplomasi Budaya
Warisan keilmuan Nusantara tersimpan dalam memori pesantren dan terdokumentasi dengan baik di dunia internasional. Kurator British Library, Annabel Teh Gallop (2017), berulang kali menampilkan naskah Islam Asia Tenggara, mulai dari Aceh, Sulawesi, hingga Jawa, sebagai bukti betapa hidupnya tradisi penyalinan, penafsiran, dan seni kaligrafi dalam teks-teks keislaman kawasan ini. Di balik keindahan iluminasi naskah, tersimpan ide besar tentang keteraturan ilmu (tartib al-'ilm) dan penghormatan kepada otoritas teks.
Dengan latar sejarah yang demikian kuat, MQKI di Sengkang menjadi lebih dari sekadar kompetisi. Ia adalah deklarasi budaya yang menegaskan bahwa Indonesia adalah salah satu produsen pengetahuan dengan tradisi keilmuan yang panjang dan mendalam.
Momentum ini, dengan demikian, memiliki arti strategis bagi masa depan Islam Indonesia. Dari perhelatan ini, muncul gelombang baru regenerasi ulama-intelektual muda. Para peserta MQKI tidak hanya membaca atau menghafal teks tetapi juga menafsirkan, mengontekstualisasikan, dan mempertahankan argumen keagamaan secara rasional dan santun. Dari sanalah akan lahir ulama muda yang literat, moderat, dan terbuka, menggantikan generasi terdahulu dengan semangat keilmuan baru yang tetap berakar pada tradisi.
Di sisi lain, MQKI menjadi titik awal standardisasi mutu keilmuan pesantren. Format internasional mendorong lembaga-lembaga keagamaan untuk memperbaiki kurikulum, metodologi, dan sistem evaluasi, agar selaras dengan praktik akademik global tanpa kehilangan karakter khasnya.
Lebih jauh, MQKI juga memerankan fungsi diplomasi budaya Islam Nusantara. Dunia kini melihat Indonesia sebagai ruang ilmiah yang inklusif, penuh dialog, dan berakar kuat pada khazanah klasik. Sengkang pun tampil sebagai etalase peradaban, tempat di mana keilmuan Islam berjumpa dengan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan.
Namun, agar efek MQKI tidak berhenti pada euforia seremonial, dibutuhkan tindak lanjut yang konkret. Digitalisasi naskah dan kitab menjadi keharusan agar pengetahuan klasik dapat diakses luas dan dikaji lintas negara. Kelas riset lintas pesantren dan kampus perlu dikembangkan untuk mempertemukan sanad keilmuan tradisional dengan metodologi akademik modern. Festival ilmu tahunan di pelbagai daerah dapat menjadi ajang silaturahmi intelektual, memperkaya interaksi dan kreativitas.
Selain itu, penguatan bahasa Arab akademik bagi para santri akan membuka ruang publikasi internasional yang lebih luas. Program beasiswa dan riset pascasarjana bertema Islam Nusantara juga penting untuk memastikan keberlanjutan estafet keilmuan dan memperluas jejaring riset global.
Obor Keilmuan Nusantara
Pada titik inilah, peran negara menjadi sangat menentukan. Kementerian Agama telah menyiapkan panggung besar melalui MQKI. Langkah selanjutnya adalah merancang roadmap jangka panjang yang menyinergikan Ma'had Aly, pusat kajian kitab klasik, serta lembaga riset pesantren dengan jaringan keilmuan dunia.
Jika langkah-langkah itu dijalankan konsisten, Indonesia akan kembali menjadi rujukan keilmuan Islam global, bukan karena slogan, melainkan karena produktivitas pengetahuan yang nyata dan diakui.
Pada akhirnya, MQKI di Sengkang adalah undangan untuk kembali ke teks tanpa berpaling dari konteks. Di dalamnya, tersimpan panggilan untuk merawat akal budi, menumbuhkan adab ilmiah, dan menghidupkan kembali semangat para ulama pendahulu yang telah menyalakan cahaya ilmu di penjuru dunia.
Sejarah telah mencatat, jejaring ulama Nusantara pernah berkibar dari Banten, Minangkabau, Aceh, Giri, hingga Haramain. Para peneliti seperti van Bruinessen, Laffan, dan Riddell telah mengonfirmasi kebesaran itu. Kini, tugas generasi muda adalah menyalakan kembali obor tersebut, dengan semangat baru dan perangkat zaman yang lebih modern.
Selamat berlomba, para qurra' al-kutub. Di tangan kalian, halaman-halaman kuning itu akan kembali hijau, tumbuh, menyegarkan, dan menyejukkan wacana Islam global, dari Sengkang menuju dunia.
Ahmad Tholabi Kharlie
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Alumnus Pesantren Darussalam Ciamis
(hnh/hnh)
Komentar Terbanyak
Kemenhaj Rombak Sistem Antrean Haji, Tak Ada Lagi Masa Tunggu 48 Tahun
Antrean Haji Tiap Daerah Akan Dipukul Rata 26-27 Tahun
Bahlil Lahadalia Ditunjuk Jadi Ketua Dewan Pembina Pemuda Masjid Dunia