Sidaanah Ka'bah, Warisan Langit yang Tak Pernah Putus

Kolom Hikmah

Sidaanah Ka'bah, Warisan Langit yang Tak Pernah Putus

Muchlis M Hanafi - detikHikmah
Kamis, 19 Jun 2025 08:00 WIB
Kisah Bani Shaybah, keluarga pemegang kunci Kabah selama 15 abad terakhir
Sidanah (kunci) Ka'bah. Foto: BBC World
Jakarta -

Di tengah lautan manusia yang thawaf mengelilingi Baitullah, ada satu amanah yang terus berpindah tangan tanpa pernah kehilangan arah, yaitu kunci Ka'bah. Bukan sekadar besi sepanjang 35 sentimeter, kunci ka`bah adalah simbol otoritas spiritual, amanah sejarah, dan warisan kenabian.

Beberapa hari setelah Syeikh Shalih bin Zain al-'Abidin al-Syaibi-penjaga ka`bah ke-77 sejak Fathu Makkah- wafat pada 21 Juni 2024, amanah ini diserahkan kepada Syaikh Abdul Wahhab bin Zain al-'Abidin al-Syaibi. Ia menjadi sâdin (penjaga dan pemelihara ka`bah) ke-78, atau ke-109 jika ditarik dari masa Qushay bin Kilab. Keduanya adalah akademisi terkemuka Arab Saudi yang berasal dari keturunan Syaibah bin Usman bin Abi Thalhah.

Dalam tradisi keluarga, serah terima dilakukan tiga hari setelah masa berkabung. Prosesi ini bukan seremoni administratif, melainkan kelanjutan dari perintah Nabi Saw: "Ambillah ini, wahai Bani Thalhah, selamanya... Tak ada yang merebutnya dari kalian kecuali orang zalim."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Makna dan Fungsi Sidânah

Kata sâdin berasal dari kata sidânah (السدانة) yang berarti penjagaan, pengurusan, dan pemeliharaan Ka'bah. Orang yang menjalankan tugas ini disebut sâdin (penjaga Ka'bah), atau dalam bentuk jamak dikenal sebagai as-sadanah. Mereka bertugas membuka dan menutup pintu Ka'bah, menyambut tamu kehormatan, mengganti kiswah (kain penutup Ka'bah), membersihkan dan mencuci Ka'bah.

Menurut riwayat, Nabi Ismail AS adalah penjaga pertama Ka'bah, setelah membangunnya kembali bersama ayahandanya, Nabi Ibrahim AS. Kala itu, Ka'bah belum memiliki atap dan pintu. Raja Himyar dari Yaman, As'ad al-Himyari, menjadi orang pertama yang memasangkan pintu Ka'bah, sehingga dibutuhkan kunci untuk menguncinya.

ADVERTISEMENT

Tradisi pengelolaan Ka'bah secara struktural dimulai pada masa Qushay bin Kilab, buyut dari Nabi Muhammad Saw, yang menyerahkan tugas sidânah dan hijâbah kepada putranya Abdu ad-Dâr. Sejak saat itu, tugas ini diwariskan turun-temurun melalui Bani Abdu ad-Dâr, hingga sampai kepada 'Utsman bin Thalhah dan keluarganya, yang kemudian dikenal sebagai Âlu al-Syaibi, atau Bani Syaybah.

Ka'bah dicuci dua kali dalam setahun, yakni pada 15 Muharram dan awal bulan Sya'ban, dalam ritual penuh kekhusyukan yang hanya boleh dipimpin oleh sâdin. Dalam proses ini, dinding bagian dalam Ka'bah dibersihkan menggunakan 45 liter air Zamzam, 50 tolah (sekitar 600 gram), minyak mawar asli dari Taif, gaharu Kamboja, dan minyak amber murni, dengan menggunakan kain-kain khusus yang dibasahi air Zamzam yang telah dicampur dengan minyak mawar. Proses ini berlangsung selama kurang lebih empat jam (www.aljazeera.net, 22/6/2024).

Sidânah di Masa Islam

Ketika Rasulullah Saw memasuki Makkah pada peristiwa Fathu Makkah (tahun 8 Hijriah), hal pertama yang dilakukan adalah membersihkan Ka'bah dari 360 berhala yang mengelilinginya. Beliau kemudian masuk ke dalam Ka'bah ditemani oleh Bilal bin Rabah dan Usamah bin Zaid, dan melaksanakan salat di antara dua tiang yang berada di dalamnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim.

Setelah keluar, Ali bin Abi Thalib meminta kepada Nabi agar kunci Ka'bah diserahkan kepadanya, sebagai bentuk kehormatan dan tanggung jawab. Namun saat itulah turun firman Allah yang menjadi pedoman dalam masalah amanah: "Sungguh, Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya..." (QS. an-Nisâ' [4]: 58).

Mendengar ayat ini, Rasulullah Saw. memanggil kembali 'Utsman bin Thalhah, pemegang kunci Ka'bah dari Bani Abdi ad-Dâr, dan mengembalikan kunci tersebut sambil bersabda: "Ambillah ini, wahai keturunan Thalhah, selamanya sepanjang masa. Tak ada yang akan mengambilnya dari kalian kecuali orang yang zalim." (HR. ath-Thabrani)

Sejak saat itu, para ulama bersepakat bahwa tugas menjaga dan memegang kunci Ka'bah adalah hak eksklusif keluarga Bani Syaibah (keturunan 'Utsman bin Thalhah), dan tidak boleh diganggu gugat-bahkan oleh keluarga Nabi sendiri. Ini ditegaskan dalam berbagai literatur hadis, termasuk Syarh Shahih Muslim (4/481).

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa sebelum hijrah, Nabi Muhammad Saw. pernah meminta 'Utsman bin Thalhah agar membuka pintu Ka'bah untuknya, namun 'Utsman menolak dengan sikap yang kasar. Nabi tidak membalasnya, namun dengan tenang bersabda: "Wahai 'Utsman, mungkin suatu hari nanti engkau akan melihat kunci ini berada di tanganku, dan aku akan memberikannya kepada siapa pun yang aku kehendaki." 'Utsman menjawab: "Kalau itu terjadi, sungguh kaum Quraisy telah binasa." Nabi menjawab: "Tidak! Justru ketika itu mereka akan mulia dan berjaya." Riwayat ini kemudian menjadi kenyataan pada hari Fathu Makkah.

Dalam kisah lain diceritakan bahwa 'Aisyah r.a., istri Nabi, pernah ingin masuk ke dalam Ka'bah. Namun 'Utsman bin Thalhah menolak dengan alasan waktu malam, karena pintu Ka'bah tidak dibuka pada malam hari, baik pada masa Jahiliyah maupun masa Islam. Ketika hal ini disampaikan kepada Nabi Saw., beliau justru membenarkan tindakan 'Utsman dan menyarankan Aisyah untuk berdiri di Hijir Ismail, karena "itu pun bagian dari Ka'bah," sebagaimana sabda Nabi. (Lihat: Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad ﷺ dalam Sorotan Al-Qur'an dan Hadis, hlm. 919-920)

Sidânah di Masa Kini

Meskipun Kerajaan Arab Saudi kini memiliki lembaga pengelola Masjidil Haram bernama ar-Ri'âsah al-'Âmmah li Syu'ûni al-Haramain, namun urusan kunci Ka'bah dan pengelolaan langsung Ka'bah masih tetap dipegang oleh Āl al-Syaibi, keturunan Bani Thalhah.

Merekalah yang menyimpan kunci Ka'bah dalam kantong khusus dari kiswah, menentukan siapa yang boleh masuk ke dalam Ka'bah, mengatur penggantian kiswah dan pencucian bagian dalam serta melakukan serah terima amanah berdasarkan senioritas umur. Pejabat tertinggi dari keluarga ini dikenal dengan sebutan Kabîr as-Sadânah. Kini jabatan ini dipegang oleh Syaikh Abdul Wahhab Zainal Abidin al-Syaibi.

Pada tahun 2013 sempat mencuat polemik ketika otoritas Masjidil Haram dikabarkan mengganti gembok Ka'bah tanpa sepengetahuan keluarga Bani Syaibah. Mereka langsung bersurat kepada Raja Abdullah bin Abdul Aziz untuk menegaskan bahwa kunci Ka'bah bukan sekadar simbol fisik, tetapi bagian dari amanah Rasulullah Saw. yang tak bisa dicampuri, bahkan oleh institusi negara. Hal ini memperlihatkan betapa tradisi kenabian dan warisan sejarah tetap hidup, meski di tengah dunia modern yang serba administratif.

Masyarakat dunia mungkin tak akan pernah menyentuh kunci Ka'bah, atau masuk ke dalamnya, kecuali orang-orang tertentu. Tapi mereka patut tahu bahwa di balik pintu emas itu ada sejarah yang dijaga dengan kesetiaan, cinta, dan amanah langit. Syaikh Abdul Wahhab al-Syaibi bukan hanya memegang kunci besi. Ia memegang kunci kesadaran spiritual umat, bahwa rumah Allah dijaga bukan hanya oleh bangunan, tapi oleh kalbu manusia yang takut akan Allah dan setia pada wasiat Rasul-Nya.

Muchlis M Hanafi

Penulis adalah Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Kementerian Agama RI

Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel merupakan tanggung jawab penulis. (Salam - Redaksi)




(inf/erd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads