Akselerasi Transmisi Turats saat Puasa Ramadan

Kolom Hikmah

Akselerasi Transmisi Turats saat Puasa Ramadan

Mahrus eL-Mawa - detikHikmah
Rabu, 12 Mar 2025 12:45 WIB
Wakil Ketua RMI PBNU, Mahrus eL-Mawa
Foto: Dok. Mahrus eL-Mawa
Jakarta -

Sepanjang sejarah keilmuan di dunia ini, tampaknya, tak ada satupun transmisi keilmuan terbanyak dan tercepat selain di Indonesia. Fakta ini dapat kita jumpai praktiknya melalui pondok pesantren pada bulan Ramadan. Tradisi transmisi keilmuan, sebut saja, turats, atau kitab kuning ini sering disebut dengan pasanan, pasaran, mbalagh, atau kilatan. Mungkin masih ada istilah lainnya, sebab setiap daerah, setiap pesantren menggunakan istilah tersendiri secara mandiri.

Semua istilah transmisi tersebut sangat lokal, kecuali "kilatan", itupun masih berbau sapaan. Dimana artinya belajar secara singkat selama bulan puasa di pondok pesantren. Pasanan diambil dari kata puasa, ditambah imbuhan -an, menjadi pasanan. Artinya, belajar kitab kuning dengan cepat selama bulan puasa di pondok pesantren. Hal serupa untuk kata pasaran, kata dasar "pasar", imbuhan -an. Dalam Bahasa Jawa, pasar berati jangka waktu yang lamanya lima hari. Mengingat, ada 5 hari pasaran; Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Artinya, belajar kitab kuning selama satu bulan. Dalam pengalaman penulis, istilah terakhir inilah pertama kali mengenal saat mondok di pesantren Salafiyah, Kauman Pemalang Jawa Tengah, sekitar tahun 1985/1986.

Kenapa disebut transmisi turats terbanyak dan tercepat? Dapat dibayangkan, jika pondok pesantren yang berjumlah 42 ribu menurut data resmi EMIS Kemenag RI itu, katakanlah "pasanan", dilaksanakan sepuluh ribu pesantren, lalu santri yang ikut minimal 100 orang, berarti dalam waktu kurang satu bulan, sudah ada santri yang belajar kitab kuning 1 juta. Padahal jumlah itu rerata pesantren menengah ke atas di Jawa, sekurangnya 300an santri untuk sekali pasaran. Lalu, kitab kuning yang dibaca itu juga beragam, mulai dari kitab tingkat dasar, hingga kitab tingkat mahir. Tingkat dasar, misalnya dalam bidang tauhid, tijan darori, hingga kitab Ihya Ulumuddin atau Shahih Bukhari atau Shahih Muslim.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nama dan jumlah kitab yang ditransmisikan di pesantren juga berbeda-beda. Jumlahnya dalam sehari, mulai dari habis shalat Subuh, Dluha', Dhuhur, Ashar, hingga shalat Isya' dalam satu pesantren pada waktu yang sama, kitab yang dipasarkan itu lebih dari 10 kitab, bergantung dengan kyai/gus/nyai/ning yang membacakan kitabnya. Pola transmisi turats ini, seringkali hanya membaca secara cepat dan utuh, terkadang ada penjelasan singkat, hingga kitab itu dibaca tuntas, khatam atau selesai pada tanggal 17 Ramadan atau hingga 23 Ramadan. Akan tetapi, belakangan ini, seiring dengan trend ngaji online, acapkali tidak khatam sesuai kebutuhan saja. Secara umum transmisi turats di pesantren selama Ramadan untuk satu kitab, dipastikan khatam. Jika sudah khatam, maka santri tersebut kembali pada pesantren asal atau pulang ke rumah, jika berasal dari pesantren yang sama.

Uniknya, transmisi turats selama Ramadan ini, seringkali bukanlah santri dari pesantren asal. Sebab, pembelajaran pesantren asal, seperti galibnya, selama bulan puasa itu libur, kecuali pesantren sebagai tempat mondok dari santri bersekolah di Madrasah, Sekolah atau Kampus, sebagai Pendidikan formal di luar pesantren. Dalam Bahasa UU Pesantren No. 18 tahun 2019, model pesantren tersebut disebut pesantren terintegrasi, yakni sekolah sambil mesantren. Model sekolah seperti ini, selama bulan Ramadan harus mengikuti Surat Edaran Bersama Tiga Menteri, Pendidikan Dasar dan Menengah RI No. 2 Tahun 2025, Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 2025, dan Menteri Dalam Negeri RI No. 400.1/320/SJ tentang Pembelajaran di Bulan Ramdlan 1446 H/2025 Masehi.

ADVERTISEMENT

Fungsi pendidikan sebagaimana amanah konstitusi, tentu saja pesantren sudah melakukannya bertahun-tahun lamanya, jauh sebelum ada kebijakan Merdeka Belajar yang saat ini telah diganti yang lainnya. Melalui transmisi turats di atas, pondok pesantren membuktikan bahwa tradisi keilmuan, tradisi transmisi keislaman tak lekang oleh sebuah perubahan pemerintahan, hebatnya lagi, semuanya itu juga tanpa ada campur tangan Pemerintah. Dengan demikian, kemandirian pesantren dalam transmisi keilmuan turats ini dapat dikatakan sebagai salah satu pionir utama dalam dunia pendidikan di seluruh dunia, hanya dalam waktu singkat, selama bulan puasa Ramadan.

Pada sisi lain, akselerasi transmiri turats di pesantren selama bulan Ramadan yang sudah berlangsung bertahun-tahun ini menjadi salah satu indikator bahwa santri dapat menjadi generasi Emas, tidak perlu menunggu tahun 2045. Jikapun harus tuntas pada tahun 2045, santri sudah harus mencapai keemasan lainnya, pada aspek atau bidang yang berbeda. Sehingga, keilmuan pesantren santri semakin lengkap.

Wallahu a'lam bish shawab.

Mahrus eL-Mawa

Penulis adalah Wakil Ketua RMI PBNU

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)




(hnh/hnh)

Hide Ads