Sampai tahun 2024, lima belas Hadiah Nobel telah dimenangkan oleh tokoh-tokoh yang tumbuh dalam tradisi Islam. Perolehan terbanyak untuk kategori Perdamaian ada delapan, diikuti Sains sebanyak empat, dan Sastra berjumlah tiga. Mereka berasal dari sebelas negara, termasuk Amerika Serikat dan Perancis. Dari empat tokoh Islam pemenang Nobel Sains, belum ada satu pun dari kategori Fisiologi/ Kedokteran ataupun Ekonomi. Hadiah Nobel merupakan wasiat dari Alfred Nobel 125 tahun yang lalu dan memiliki tujuan mulia untuk kemanusiaan.
Membahas tentang tujuan mulia, ada unsur persamaan antara berkarya sekelas Hadiah Nobel dan mengejar Lailatul Qodar di bulan Ramadan. Profesor Quraish Shihab menjelaskan bahwa Lailatul Qodar memiliki tiga makna: (1) malam yang mulia karena di dalamnya turun al-Quran, (2) malam yang sempit karena bumi dipenuhi Malaikat, dan (3) malam ketetapan-baik yang dampaknya luas seperti turunnya Al-Quran atau ketetapan pada level individu. Mereka yang memenangi Lailatul Qodar, hidupnya akan selalu terdorong untuk berbuat kebaikan dan bertransformasi ke arah lebih baik.
Sebagaimana Lailatul Qodar, pemenang Hadiah Nobel adalah tokoh-tokoh kemanusiaan pada bidang masing-masing di mana karya-karyanya telah mentransformasi masyarakat secara signifikan. Signifikansi ini sebetulnya memiliki kemiripan dengan tanda-tanda orang yang mendapatkan Lailatul Qodar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hadiah Nobel bukanlah tanpa kritik. Beberapa pemenangnya memiliki kontroversi. Sebaliknya, mereka yang layak juga tidak selalu dipilih oleh Komite Nobel. Selain itu, Hadiah Nobel adalah salah satu bentuk hegemoni Barat, di mana kriteria untuk mendapatkannya disusun sesuai dengan yang dipahami Barat sehingga ini membuatnya tidak sepenuhnya netral atau bebas nilai. Khususnya di bidang Sains, peraih Nobel biasanya mereka yang telah terbiasa dan dibesarkan di dalam ekosistem riset serta keilmuan yang sudah matang. Kondisi yang mendukung inilah yang memungkinkan seseorang untuk memenangi Nobel.
Dalam sepuluh tahun terakhir, Nobel Perdamaian beberapa kali diberikan kepada mereka yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak-anak. Isu-isu yang menurut Barat sangat penting sedangkan di waktu yang bersamaan pencapaian serupa di dunia Islam dianggap tertinggal. Ketika Malala Yousafzai menjadi pemenang Nobel yang termuda sepanjang sejarah di usia 17 tahun, namun sesungguhnya proses persiapan yang ditempuhnya telah mencapai lima tahun. Dari Malala kita belajar bahwa Nobel dimenangkan oleh mereka yang punya kesiapan (readiness), bukan mereka yang berambisi atau mengejar-ngejar (pursuit).
Berbeda dengan Hadiah Nobel yang mempunyai ruang kontroversi, Lailatul Qodar dipahami sebagai malam terhebat yang lebih mulia dari 1000 bulan atau kurang lebih 83 tahun. Lailatul Qodar adalah malam bonus sekaligus janji Allah kepada para abrar. Lebih tinggi dari abrar adalah muqarrabin. Abrar adalah mereka yang mengerjakan amalan baik karena ingin memperoleh apa yang dijanjikan Allah SWT. Sedangkan Mugarrabin ialah mereka yang menghidupkan malam dengan kesadaran penuh dan konsentrasi tinggi di bulan Ramadan yang juga berlanjut di bulan yang lain. Mereka ini tidak bertujuan mengejar iming-iming Lailatul Qodar, tetapi karena mahabbah kepada Rasulullah yang merupakan hadiah tertinggi di semesta raya agar kelak kita dapat bercakap-cakap dengan Allah sebagai puncak hadiah dan pencapaian.
Lailatul Qodar menegaskan pentingnya iradah (kehendak) dan Sunnatullah. Betapa banyak manusia yang sebelas bulannya dilumuri maksiat dan dosa. Manusia yang seribu kali berjanji untuk tidak mengulangi, seribu kali itu juga mengingkari. Akhirnya seringkali dirinya bingung sendiri-seperti tidak sinkron antara keinginan menjadi baik dan apa yang benar-benar dilakukan. Sebaliknya, ketika seseorang telah berkehendak (iradah) untuk bertaubat, jika Sunnatullah-nya adalah memenangi Lailatul Qodar, maka pada malam itu dia dibasuh, pahalanya dilipatkan. Sekotor apapun dia sebelumnya. Artinya, Sunnatullah tidak datang tiba-tiba tanpa adanya iradah manusia yang memberikannya energi untuk bergerak kepada kebaikan.
Para pemenang Nobel pun tentu memiliki iradah yang menjadi energi untuk menorehkan jejak kebaikan melalui bidang masing-masing. Untuk menjadi bagian dari solusi. Hadiah Nobel tidak pernah menjadi tujuan, tetapi sebagai bonus. Ada atau tidaknya Hadiah Nobel, mereka tidak lelah dalam berkhidmat kepada kemanusiaan.
Di antara kategori yang ada, Nobel Sains menarik untuk ditelusuri. Sains berkembang pesat pada puncak peradaban Islam yang selanjutnya bergeser ke Barat. Modernitas menonjolkan pentingnya rasionalitas dan sains dibanding tradisi atau mitos. Modernitas menekankan pada ketangkasan manusia dalam mengendalikan alam serta kapitalisme pasar. Konsep modernitas yang demikian, belum lagi seolah-olah manusia adalah pusat segalanya, secara intrinsik bertentangan dengan konsep keberkelanjutan. Selain itu, wacana modernitas hampir tidak mengintegrasikan perspektif dari para sarjana Islam dan dunia Islam, padahal masyarakat Islam adalah bagian penting peradaban global. Bagaimana bisa modernitas yang mengusung semangat inklusif, pada saat bersamaan meminggirkan, bahkan menganggap dunia Islam tidak diperlukan?
Ilmuwan par excellence, empat pemenang Nobel Sains dari tradisi Muslim yaitu Abdus Salam, Ahmed Zewail, Aziz Sancar, dan Moungi Bawendi, menawarkan pandangan alternatif tentang modernitas. Pendekatan untuk mencapai keseimbangan antara nilai-nilai Islam dan modernitas melalui lebih banyak dialektika. Kutipan yang berasal dari pidato resmi saat mereka memenangi Hadiah Nobel, menyajikan korpus langka terpilih dan berkualitas tinggi tentang kedekatan sejati manusia dengan alam.
Misalnya, Abdus Salam (Pemenang Nobel Fisika 1979) menegaskan tentang semangat inklusif, semangat kolaborasi, semangat kecintaan kepada sains, rasionalitas sekaligus spiritualitualitas. Ahmed Zewail (Pemenang Nobel Kimia 1999) menyebutkan bahwa dia adalah orang Mesir, orang Timur Tengah, orang Afrika karena Mesir di Afrika Utara, orang Muslim, sekaligus orang Amerika. Identitas-identitas tersebut membentuk dirinya dan dia bangga dengan semuanya. Salam dan Zewail berkeliling ke negeri-negeri Muslim untuk menginspirasi generasi muda. Zewail yang pernah berkunjung ke Indonesia, adalah utusan khusus Presiden Obama sebagai duta sains dunia.
Dalam Pidato di momen Nobel, Zewail menyebut tentang Piramid yang melambangkan kemajuan, kemodernan Mesir pada zamannya. Zewail mengingatkan bahwa ada Dewi Isis di Medali Nobel. Dia adalah Putera Mesir, Putera Isis yang mengembara ke Amerika dan mendapat penghargaan Nobel. Jika hadiah Nobel diberikan saat Mesir berjaya, atau saat Islam dalam masa gemilang, maka tentulah anak-anak dari peradaban tersebut akan banyak yang menjadi pemenangnya. Dengan membawa pesan ini, Zewail menegaskan universalitas sains, yang terkait dengan peradaban sebuah bangsa. Bangsa yang maju, akan melahirkan ilmuwan hebat, dan sebaliknya.
Para pemenang Nobel di atas bukan hanya fasih dalam mengkritik Barat. Mereka tidak lelah menulis, berkeliling dan berbicara di dunia Islam agar tidak melupakan sejarahnya guna menjaga kesinambungan sebagai penerus masa kegemilangan Islam meskipun secara jumlah tidak dominan. Islam dan Barat adalah kontinuitas meski substansi spiritualitas seperti melemah, sesungguhnya tetap ada. Mereka adalah bukti nyata. Karya-karya mereka melampaui usia, melewati 1000 bulan. Saat orang lain mengejar Lailatul Qodar dengan iktikaf, boleh jadi mereka berjibaku di lab, membaca buku sampai suntuk, atau menulis dengan runtun untuk mengabadikan ilmu.
Dari uraian di atas, Hadiah Nobel memiliki kriteria-kriteria tertentu yang dapat diukur. Diawali dengan iradah (kehendak) berbuat baik, yang dapat mewujud dengan Sunnatullah. Sedangkan Lailatul Qodar, juga memerlukan iradah dan Sunnatullah, tetapi tidak dapat benar-benar diukur apalagi diverifikasi, siapa yang memenangi. Jika ada orang bercerita, merasa memenangi Lailatul Qodar, boleh jadi itu perasaannya saja. Sebaliknya, mereka yang sunyi, yang bahkan tidak dapat menceritakan atau menggambarkan pengalaman, bukan berarti tidak mendapatkan Lailatul Qodar.
Orang-orang kaliber Nobel yang karyanya syarat makna, atau mereka yang mendapatkan Lailatul Qodar, dalam istilah Ibnu Sina adalah al-arif, orang yang bijaksana. Sedangkan Ibnu Arabi menyebutnya sebagai insan kamil, manusia paripurna.
Sebagai negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia, sebagai salah satu negeri demokrasi terbesar, kapankah Indonesia memenangi Hadiah Nobel? Bukankah nusantara mewarisi peradaban besar sebagaimana peradaban Sungai Indus dan Sungai Efrat-Tigris? Karena Nobel dan peradaban beriringan, maka perlu iradah sebagai bangsa secara kolektif terlebih dahulu. Dengan kerja keras, dirapal doa agar Sunnatullah menjadikannya mewujud. Ndilalah Kersaning Gusti, sewu begja kemayangan. Keberuntungan besar perlu momen yang tepat, hanya dengan ijin Allah Swt.
Sidrotun Naim
Penulis adalah Wakil Sekjen PBNU, Kaprodi MBA Institut IPMI, Alumni Universitas Arizona dan Universitas Harvard, dengan sanad keilmuan bersambung kepada para pemenang Nobel Sains dan Perdamaian
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)
(erd/erd)
Komentar Terbanyak
Ada Penolakan, Zakir Naik Tetap Ceramah di Kota Malang
Sosok Ulama Iran yang Tawarkan Rp 18,5 M untuk Membunuh Trump
Respons NU dan Muhammadiyah Malang soal Ceramah Zakir Naik di Stadion Gajayana