Al-Qur'an betul-betul Ajaib karena meskipun singkat kalimatnya tetapi padat makna konotatif. Sebagai contoh, Inna anzalnahu fi lailatil qadr (Q.S. al-Qadr/97:1). Mengapa malam (lailah), bukan siang (nahar)? Meskipun siang hari Ramadhan kita menunaikan puasa, namun Allah Swt tetap memilih malam (lailah) sebagai pangkalan pendaratan Kalam Ilahi.
Malam memang mendatangkan kegelapan, tetapi bukankah kegelapan menjanjikan keheningan, kerinduan, keakraban, kehangatan, kepasrahan, dan kekhusyukan? Dalam kamus besar bahasa Arab, Lisan al-'Arab (15 jilid), lailah mempunyai banyak arti. Ada makna faktual dan ada makna simbolik. Lailah juga bisa diartikan dengan perempuan, kelembutan, feminin, nurturing, dan jamaliyyah.
Sedangkan nahar bisa diartikan dengan laki-laki, ketegaran, masculine, struggeling, dan jalaliyyah. Dalam syair-syair bahasa Arab juga kata lailah sering diartikan dengan beragam makna. Lihat saja novel fenomenal Laila Majnun, karya monumental Syekh Maulana Hakim Nidhami (1155-1223M).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam Novel ini Laila memang nama putri seorang raja tetapi kata lailah diimajinasi sedemikian rupa sehingga menyimpan makna cinta yang amat dalam.
Perhatikan cuplikan syair dalam buku tersebut: Lailah adalah cahaya malam, Majnun adalah sebatang lilin. Lailah adalah keindahan, Majnun adalah kerinduan. Lailah menabur benih cinta, Majnun menyiraminya dengan air mata. Lailah memegang cawan cinta, Majnun berdiri mabuk dengan aromanya. Perhatikan juga syair pendek seorang pengantin baru yang takut kehilangan malam: "Ya laila thul, ya shubh qif!" (Wahai malam bertambah panjanglah, wahai subuh berhentilah). Kedua syair ini mengambil makna simbolik (majazi) dari lailah.
Pelajaran penting yang daapat diperoleh dari kata lailah ialah suasana batin malam (al-lailah) mengisyaratkan jarak antara antara Tuhan dengan hamba lebih dekat ketimbang nahar di siang hari. Mungkin karena itu, Allah Swt menganjurkan shalat tahajjud di malam hari (Q.S. al-Isra'/17:79).
Mungkin karena itu pula Allah SWT mensyariatkan shalat jauh lebih banyak di malam hari daripada di siang hari. Malam kita lebih mudah menjadi khalifah dan malam lebih mudah kita menjadi hamba.
Jika al-lailah dalam arti fakta menjadi pangkalan pendaratan Kalam Ilahi, maka terbenamnya matahari menjadi prasyarat turunnya LQ. Akan tetapi jika lailah dalam arti simbolik menjadi pangkalan pendaratannya, maka tidak mesti harus menunggu malam tiba. Seseorang yang mencapai puncak keheningan dan kekhusyukan, maka sesungguhnya terjadi suasana al-lailah di dalam dirinya, meskipun itu terjadi di siang hari. Hanya Allah Yang Maha Tahu, mana yang paling tepat menjadi pangkalan pendaratan Kalam Sucinya, apakah gelapnya malam atau heningnya jiwa sang hamba.
Sekedar catatan: Sekiranya LQ turun mengacu pada pukul 02 malam waktu Indonesia, maka kasihan umat Islam AS baru pukul 14 siang, atau sekiranya pada pukul 02 malam waktu Saudi Arabiah, maka kita di Indonesia sudah keburu pagi.
Sifat-sifat dan nama-nama Tuhan (al-Asma' al-Husna) dan ayat-ayat Al-Qur'an.
Allah SWT lebih menonjolkan sifat-sifat lailiyah-jamaliyyah daripada sifat-sifat nahariyyah-jalaliyyah-Nya, dengan kata lain Ia lebih menonjol sebagai The Mother of God ketimbang sebagai The Father of God. Rasulullah Saw juga sukses karena mencontoh karakter sifat-sifat Tuhan tadi. Memang agak ironis, Tuhan, Nabi, Rasul, dan Kitab Suci, begitu lembut dan feminin, tetapi sayang umat-Nya terkadang begitu kasar dan masculine.
Semoga bulan feminin Ramadhan kali ini berhasil memompakan semangat feminin, sehingga kita terhindar dari perilaku over masculine dengan segala akibatnya.
(lus/lus)
Komentar Terbanyak
MUI Serukan Setop Penjarahan: Itu Bentuk Pelanggaran Hukum
Berangkat ke Mesir, Ivan Gunawan Kawal Langsung Bantuan untuk Gaza
BPJPH Dorong Kesiapan Industri Nonpangan Sambut Kewajiban Sertifikasi Halal