Klaster 3: Kaitan antara Pesantren dan NU
Hal ini tidak bisa diabaikan, karena bagaimanapun NU didirikan sebagai ekstensi dari jaringan pesantren. Interaksi antara NU dan pesantren menjadi bagian penting dalam memahami tantangan yang harus kita hadapi saat ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada masa awal, pesantren identik dengan NU. Pesantren-pesantren yang didirikan belakangan bisa dikatakan hanya meniru pola tersebut. Maka, komunitas-komunitas yang tergabung dalam jaringan pesantren semakin terkonsolidasi di dalam NU, dan lingkaran konstituensinya pun meluas. Bahkan bukan hanya mereka yang terlibat langsung dengan pesantren, orang-orang yang pernah berinteraksi dengan pesantren pun turut mengidentifikasi diri dengan NU sebagai payung besar bagi dunia pesantren.
Kini, afinitas masyarakat terhadap NU telah berkembang menjadi sangat luas dan semakin sulit untuk didefinisikan. Data terbaru survei menunjukkan bahwa pada 2024, sebanyak 57,6% populasi Indonesia mengaku berafiliasi dengan NU. Sebelumnya, survei LSI pada 2023 menunjukkan angka serupa, yaitu 56,9%. Angka ini mencerminkan identifikasi diri, di mana masyarakat secara eksplisit menyatakan bahwa mereka adalah bagian dari NU. Perubahan ini sangat mencolok jika dibandingkan dengan data tahun 2005, di mana hanya 27% yang mengaku NU. Dalam kurun waktu 18 tahun, angka ini melonjak hingga lebih dari dua kali lipat.
Data ini mengejutkan, dan, sebagai fenomena, ini luar biasa. Pertanyaan besarnya, apa dasar dari pengakuan ini?
Pada generasi sebelumnya, seseorang mengaku NU karena alasan yang jelas: Mereka belajar langsung di pesantren. Mereka terhubung langsung dengan tradisi pesantren, belajar dari kiai- kiai yang memiliki kedalaman ilmu. Namun, pada generasi sekarang, khususnya generasi Z, ada banyak yang secara sadar mengaku sebagai bagian dari NU, meskipun mereka tidak memiliki keterkaitan langsung dengan pesantren. Ini perkembangan yang sangat menarik untuk ditelusuri.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi fenomena ini. Salah satu faktor penting adalah berkembangnya model forum-forum atau platform-platform komunikasi publik yang diasosiasikan dengan NU. Sebelum reformasi, pengajian umum hampir selalu diselenggarakan di lingkungan pesantren, dan platform komunikasi publiknya terhubung erat dengan para kiai pesantren. Pengajian besar diadakan di pesantren-pesantren seperti Tebuireng, Ploso, atau Situbondo. Komunikatornya para kiai yang benar-benar alim, memiliki pengetahuan mendalam, dan dihormati.
Setelah reformasi, platform komunikasi publik meluas dan menjadi lebih beragam. Pengajian- pengajian tidak lagi terbatas di pesantren, tetapi melibatkan banyak ruang publik di luar pesantren. Komunikatornya pun bukan lagi semata-mata kiai yang terhubung dengan pesantren,
tetapi juga individu-individu dengan latar belakang yang lebih longgar. Dengan kemajuan teknologi dan media sosial, platform-platform ini terus berkembang
dan menarik perhatian banyak orang.
Kini, siapa saja yang memiliki citra sebagai komunikator agama dapat memanfaatkan platform ini untuk membangun kepemimpinan agama, selama pendekatannya dirancang dengan baik.
Platform-platform ini sering kali melibatkan elemen optik dan teknis yang dihitung dengan cermat oleh tim event organizer (EO). Dengan pendekatan ini, orang yang sebelumnya tidak dikenal bisa tiba-tiba menjadi tokoh besar di dunia agama melalui proyeksi citra yang dibangun secara artifisial. Fenomena ini sering kali dinisbatkan kepada NU, karena pesantren-yang memiliki hubungan historis dengan NU-biasanya menjadi sumber utama kegiatan semacam ini. Akibatnya, platform-platform ini menarik konstituen yang kemudian juga mengidentifikasi diri mereka dengan NU.
Perkembangan ini membawa dampak besar. NU kini tidak lagi sekadar identik dengan pesantren secara eksklusif, tetapi menjadi lebih inklusif, mencakup berbagai kalangan yang mungkin tidak pernah merasakan pengalaman langsung belajar di pesantren, tetapi tetap merasa terhubung dengan nilai-nilai NU. Banyak orang merasa menjadi bagian dari NU karena mengikuti tokoh- tokoh populer yang muncul di panggung-panggung besar atau platform digital.
Platform-platform baru itu telah menciptakan standar identifikasi yang semakin longgar dan jauh dari akar tradisional NU. Di satu sisi, fenomena ini menguatkan posisi NU sebagai payung besar bagi umat Islam di Indonesia, tetapi, di sisi lain, ia menghadirkan tantangan bagi NU dalam menjaga identitas dan nilai-nilai tradisionalnya. Jika NU tidak melakukan upaya untuk mendistilasi, menjernihkan kembali identifikasi terhadap organisasi ini, NU berisiko kehilangan esensinya. Definisi tentang apa itu NU akan terus bergeser dan menjadi semakin kabur, atau justru NU-nya yang terbawa mengikuti arus besar platform populer.
Masalah lainnya adalah bahwa pesantren, yang memiliki hubungan erat dengan NU, kini telah menjadi bagian dari sistem kenegaraan melalui Undang-Undang Pesantren. Undang-undang ini membawa pesantren ke dalam domain politik dengan segala implikasinya, seperti pengelolaan anggaran, distribusi sumber daya, dan regulasi oleh Kementerian Agama. Hal ini menciptakan tantangan baru bagi NU, karena kepentingan pesantren tidak dapat dipisahkan dari kepentingan NU.
Konsekuensi dari masuknya pesantren ke dalam domain politik ini adalah pesantren menjadi bagian dari dinamika yang lebih kompleks, termasuk dalam soal wewenang dan distribusi sumber daya. Dalam situasi ini, NU harus memastikan bahwa pesantren tetap bisa
mempertahankan esensinya sebagai lembaga pendidikan agama yang independen, sekaligus mampu beradaptasi dengan sistem politik yang ada.
Apa yang seharusnya dilakukan NU dalam menghadapi dinamika ini? Ada dua pilihan utama. Pilihan pertama, bertarung secara politik. Pilihan ini berarti NU harus bertarung habis-habisan untuk memperebutkan sumber daya dan simpul-simpul kebijakan dalam pemerintahan, sebagai turunan dari diberlakukannya Undang-Undang Pesantren. Namun, jika ini yang dipilih, dampaknya sangat besar, karena NU harus melakukan konsolidasi politik yang masif. Dengan basis konstituen yang lebih dari separuh populasi Indonesia, sentimen membela NU akan menjadi kekuatan yang sangat besar dan dapat mengancam kekuatan politik lainnya.
Konsolidasi seperti ini memiliki risiko besar bagi keutuhan bangsa. Jika NU memobilisasi politik berbasis identitas, bangsa ini berpotensi terbelah menjadi dua kelompok: yang NU dan yang bukan NU. Ini akan menjadi ancaman besar yang bisa membawa bencana bagi Indonesia.
Potensi terburuknya, kita akan mengalami situasi serupa dengan yang terjadi di India, di mana RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangh) memobilisasi identitas Hindu untuk kepentingan politik. Ketika mereka menjadi mayoritas yang dominan, dampaknya adalah represi terhadap minoritas. Jika NU mengikuti pola ini, hasil akhirnya bisa menjadi fasisme. Semangat identitas yang dipompa untuk mobilisasi politik akan menciptakan perilaku sosial yang intoleran dan diskriminatif, dan itu membahayakan bagi tatanan sosial dan politik Indonesia.
Pilihan kedua adalah universalisasi pesantren. Pilihan ini berfokus pada upaya menjadikan pesantren sebagai tema kepentingan universal. Ia bukan hanya milik NU. Artinya, NU tidak perlu bertarung untuk menguasai kebijakan atau sumber daya pesantren. Selama pemerintah memastikan proses governing system atas pesantren dilakukan secara adil dan transparan, NU tidak perlu terlibat dalam perebutan sumber daya. Kuncinya adalah standar regulasi dan kebijakan yang jelas dan adil.
Universalisasi ini menghilangkan potensi konflik politik berbasis identitas. Pesantren akan dilihat sebagai bagian dari warisan bangsa yang universal, dan santri adalah aset nasional yang melampaui batas kelompok. Bahkan, jika memungkinkan, konsep NU itu sendiri bisa diuniversalkan sehingga NU menjadi entitas inklusif yang aman dan nyaman bagi semua orang.
Dalam konteks ini, khidmah NU harus diarahkan kepada pelayanan yang inklusif, melayani semua orang tanpa memandang latar belakang mereka. Tidak perlu hanya memprioritaskan orang NU; sebaliknya, NU harus fokus meningkatkan kapasitas ekonomi seluruh rakyat. Jika kapasitas ekonomi rakyat meningkat, maka orang NU-yang jumlahnya lebih dari separuh populasi-akan otomatis merasakan manfaatnya.
Dalam konteks ini, saya pribadi tidak setuju dengan gagasan untuk mendorong kemandirian NU yang hanya menguntungkan internal NU. Fokusnya harus pada kebijakan negara yang menyentuh seluruh rakyat. Jika rakyat terurus, NU juga akan terurus. Tentu, ada kebutuhan mendesak untuk mencari solusi bagi pengurus NU agar memiliki sumber daya yang cukup untuk membiayai kegiatan organisasi. Namun, selebihnya, biarlah menjadi bagian dari kebijakan negara yang inklusif.
Pilihan ini bukan sekadar keputusan teknis, tetapi mencerminkan visi besar NU dalam mempertahankan perannya sebagai penjaga keutuhan bangsa sekaligus pelayan umat. Maka, universalisasi adalah jalan terbaik. Dengan ini, NU tidak hanya menjaga persatuan bangsa, tetapi juga memperkuat identitasnya sebagai organisasi yang inklusif dan berorientasi pada kepentingan bersama.
KH. Yahya Cholil Staquf
Penulis adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)
(erd/erd)
Komentar Terbanyak
MUI Kecam Rencana Israel Ambil Alih Masjid Al Ibrahimi di Hebron
Pengumuman! BP Haji Buka Lowongan, Rekrut Banyak SDM untuk Persiapan Haji 2026
Merapat! Lowongan di BP Haji Bisa untuk Nonmuslim