Tiga Klaster Utama Integrasi Pesantren (2)

Kolom Hikmah

Tiga Klaster Utama Integrasi Pesantren (2)

KH. Yahya Cholil Staquf - detikHikmah
Jumat, 31 Jan 2025 20:00 WIB
Ketua PBNU KH Yahya Cholil Staquf dalam acara Pembukaan Konbes NU dan Halaqah Nasional Strategi Peradaban NU di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, Senin (29/1/2024).
Foto: PBNU


Klaster 2: Pesantren sebagai Pilar Komunitas

Di samping menjalankan fungsi sebagai lembaga pendidikan, ada idealisasi bahwa pesantren juga memikul tanggung jawab sosial terhadap komunitas di sekitarnya. Pesantren dianggap sebagai solusi untuk berbagai masalah di dalam masyarakat. Dan selama ini, sejak 1970-an, ada promosi tentang strategi sosial-ekonomi melalui pesantren. Gambaran ideal tentang pesantren yang semacam itu terus dipertahankan sampai sekarang. Pesantren diposisikan sebagai pusat jaringan yang strategis untuk mengatasi masalah-masalah komunitas, sehingga ketika pesantren diberdayakan, komunitas di sekitarnya juga ikut mendapatkan manfaat. Dengan dasar pertimbangan seperti itulah pemerintah mendorong pengembangan ekosistem ekonomi pesantren, yang tujuannya adalah memperkuat kemandirian ekonomi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Secara konsep, tidak ada yang keliru dengan semua itu. Namun, idealisasi peran dan posisi pesantren ini, bagaimanapun, perlu dilihat secara lebih jernih. Dahulu, pesantren memiliki posisi yang sangat kuat di tengah komunitas karena konteks sosial dan sejarahnya. Pemimpin-

pemimpin pesantren saat itu berfungsi sebagai pemimpin komunitas, meneruskan tradisi dan struktur sosial masyarakat Nusantara yang sudah ada sejak zaman pra-Islam. Di masa itu, masyarakat Nusantara memiliki pemimpin-pemimpin komunitas, ialah mereka yang berjuluk Ki Ageng, yang berperan penting dalam mengelola kehidupan sosial, budaya, dan spiritual komunitas masing-masing.

Ketika Islam masuk ke Nusantara, para misionaris Islam mulai mengisi posisi sebagai pemimpin komunitas. Para Ki Ageng yang semula Hindu atau Budha menjadi pemeluk Islam dan tetap memimpin komunitas, tetapi dalam kerangka Islam-sambil mempertahankan praktik-praktik tradisional seperti suwuk dan semacamnya. Hal ini mencerminkan proses transformasi sosial yang terjadi secara bertahap.

ADVERTISEMENT

Seiring waktu, ketika Islam semakin berkembang di Nusantara, hubungan dengan pusat-pusat Islam di luar negeri, terutama Timur Tengah, semakin lancar. Akses
terhadap elemen-elemen akademis dalam tradisi Islam juga meningkat. Pembukaan Terusan Suez memudahkan perjalanan ke Timur Tengah, memungkinkan lebih banyak orang untuk belajar di sana, dan membawa kembali pengetahuan mereka ke Nusantara. Dari sini, muncul pesantren-pesantren yang mulai berfokus pada pendidikan akademis.

Awalnya, orang datang ke pesantren untuk mencari kesaktian, bukan sekadar untuk belajar agama. Namun, seiring waktu, kurikulum pesantren berkembang mencakup fikih, ilmu alat, dan bidang-bidang keilmuan lainnya. Salah satu tonggak penting adalah generasi Kiai Nawawi Banten, yang membawa elemen-elemen akademis ke dalam tradisi pesantren. Ulama-ulama pada masa itu bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga akademisi yang berdedikasi penuh pada ilmu pengetahuan.
Kiai-kiai seperti Kiai Hasyim Asy'ari adalah contoh akademisi sejati. Mereka tidak hanya mendalami ilmu secara intensif, tetapi juga menjalani laku spiritual yang mendalam. Dedikasi mereka terhadap ilmu bahkan melebihi akademisi modern. Namun, selain sebagai intelektual, kiai-kiai ini juga menjalankan fungsi sosial di tengah komunitasnya. Mereka tidak hanya menjadi guru, tetapi juga pemimpin yang mengelola berbagai aspek kehidupan masyarakat, sesuai dengan tradisi lama yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Belakangan, pesantren semakin banyak menyerap elemen-elemen akademis sehingga aktivitas pengajaran akademis menjadi semakin dominan. Hal ini menyebabkan para kiai lebih sibuk dengan kegiatan di dalam pesantren, yang secara alami mengurangi intensitas keterlibatan mereka dengan komunitas.
Saya masih ingat, KH Ali Maksum dulu sangat dikenal oleh semua orang. Dia sering berjalan menyambangi teman-temannya di kampung, hal yang tampaknya sulit dilakukan oleh kiai-kiai sekarang. Perubahan ini menyentuh aspek kepemimpinan sosial yang dulunya merupakan bagian tradisional dari fungsi kiai. Kiai-kiai dahulu sangat efektif dalam menggerakkan komunitas.

Ketika Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa jihad untuk membantu perang Surabaya, fatwa itu menjadi panggilan yang luar biasa. Semua orang merespons, bukan hanya yang tinggal di wilayah sekitar, tetapi juga mereka yang di Cirebon, Temanggung, dan daerah lainnya. Mereka datang dengan membawa semangat, hanya berbekal doa dan kesiapan untuk mati melawan sekutu. Korban perang saat itu sangat besar-di Malang, dalam satu hari korban mencapai lebih dari 16.000 orang, sementara perang Surabaya berlangsung dari September hingga November.

Pertanyaannya, apakah kiai-kiai hari ini masih memiliki daya panggil seperti itu? Apakah intensitas keterlibatan mereka dengan komunitas masih terjaga seperti dulu? Sampai generasi ayah saya, saya masih melihat bagaimana pekerjaan utama kiai adalah menemui tamu. Setiap hari, rumah kiai penuh dengan orang-orang yang datang dengan berbagai hajat.

Kiai Wahab Hasbullah, meskipun menjadi Rais Aam dan sering bolak-balik Jakarta-Jombang, tetap mempertahankan intensitas keterlibatannya dengan masyarakat. Ketika kembali ke Jombang, Mbah Wahab melayani tamu dari pagi hingga sore, memenuhi berbagai hajat-mulai dari doa, suwuk, hingga membantu mencarikan pasangan untuk menikah. Pernah suatu ketika, ada anak muda menemuinya, duduk di ruangan tempat Mbah Wahab menerima tamu, dan tetap tidak pulang sampai semua tamu lain sudah pamit.

"Anda dari mana?" tanya Kiai Wahab. "Dari sini," kata si anak muda.

"Siapa namanya?"

"Adib. Adib bin Wahab Hasbullah."

Ternyata anak muda itu putranya sendiri, dan Mbah Wahab tidak mengenalinya karena terlalu sibuk menerima tamu seharian. Situasi sekarang sudah jauh berbeda. Apakah kiai-kiai masa kini masih memiliki tamu sebanyak itu? Apakah mereka masih punya waktu untuk memenuhi berbagai hajat masyarakat?
Jadi, kita harus melihat ini dengan jernih. Asumsi-asumsi lama yang melandasi idealisasi peran kiai perlu dikaji ulang. Apakah model seperti itu masih relevan dengan kondisi saat ini?

Mungkin itu salah satu yang harus kita relakan lepas ketika kita berupaya mengejar standar- standar baru, seperti peningkatan mutu pendidikan di pesantren, yang jelas membutuhkan konsentrasi penuh dari para kiai, termasuk alokasi waktu yang lebih besar.

Halaman selanjutnya: Klaster 3


Hide Ads