5 Mitos tentang Muslim Amerika

5 Mitos tentang Muslim Amerika

Nasaruddin Umar - detikHikmah
Jumat, 26 Apr 2024 05:30 WIB
Poster
Foto: Edi Wahyono
Jakarta -

Menurut Imam Faisal Abdur Rauf, pengarang buku: What's Right With Islam Is What's Ringht With America, ada lima mitos tentang muslim Amerika. Yang dimaksud mitos menurut beliau bukan fakta. Sebaliknya muslim AS tidak berbeda dengan warga AS lainnya. Bahkan sebagian besar muslim AS paling taat hukum, anti kriminal, dan disiplin dan jujur membayar pajak.

Kelima mitos tersebut ialah, Pertama, muslim AS diimejkan sebagai pendatang dari luar negeri (foreigners). Ini tidak benar karena lebih banyak warga muslim yang hidup di AD adalah penduduk asli AS (citizens) yang dapat dibuktikan kartu-kartu identitas dan paspor. Warga muslim AS bukan hanya dari kulit berwarna tetapi juga kulit putih dan kulit hitam. Apalagi saat ini sudah banyak sekali yang tadinya orang tuanya poregners tetapi anak-anaknya lahir dan besar di AS, ahkan di antaranya sudah banyak berkiprah di pemerintahan dan militer AS. Bagaimana mereka bisa dikesankan foreignes?


Kedua, muslimAS ersifat etnik, berbudaya khusus, dengan gaya politik monolitik. Ini juga tidak sepenuhnya benar, karena seperti umat beragama lainnya di AS, muslim AS tidak menonjolkan etnik dan budaya secara ekslusif. Mereka bergaul bebas tanpa beban etnik dan budaya serta tidak juga membebani orang lain dengan ciri khasnya. Seorang muslim sulit dibedakan antara non muslim American dan non-American, terutama di musim dinigin, umumnya orang menggunakan penutup kepala untuk mencegah hawa dinginn yang menyengat. Aliran politik muslim AS juga menyebar ke berbagai partai politik, tidak berkumpun pada satu partai. Jadi tidak benar muslim AS pandangan politiknya monolitik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Ketiga, muslim AS menekan perempuan (oppress women). Faktanya kaum perempuan muslim AS lebih otonom dan lebih mandiri. Soal resspek terhadap suami memang ia karena kultur Islam memang menganjurkan suami isteri harus saling menghargai dan bersama-sama memelihara anak dan bertanggung jawab di dalam urusan rumah tangga. Jika perempuan menunjukkan begitu loyal terhadap suami dan keluarga itu bukan karena ditekan oleh kaum laki-laki tetapi perempuan shalehah ditandai dengan respektifnya terhadap keluarga. Keunggulan masyarakat Islam terletak pada terciptanya harmonisasi di dalam keluarga. Pembagian kerja secara seksual terkadang memang tidak bisa dihindari, tetapi itu bukan berarti oppressed women. Ada sebuah kerelaan yang tulus yang dilakukan kaum perempuan melakukan hal demikian itu karena pada saat yang bersamaan anggota keluarga laki-lakinya, apakah itu suami, atau ayah, juga melakukan hal yang sama dalam bidang lain. Dengan demikian, terjadi relasigender yang paralel antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga Islam. Hanya saja kita sering melihatnya secara sepihak, tidak komperhensif, sehingga kelihatan ada bias gender dalam lingkungan keluarga muslim.


Keempat, muslim AS sering menjadi alamat kelompok teroris (homegrown terrorists), ini juga tidak sepenuhnya benar. Bahkan yang umat Islam seringkali menjadi sasaran korban kelompokm teroris. Soal ada teroris beralamat di alamat yang sama dengan orang-orang Islam secara sosiologis itu wajar, karena memang mungkin anggota keluarga mereka di sana. Namun tidak identik antara komunitas muslim dengan kelompok teroris. Yang paling aktif bahkan pro-aktif terlibat dalam pencegahan teroris adalah komunitas muslim AS. Umat Islam AS paling tidak nyaman terhadap aksi teroris di mana-mana, karena pasti sasaran opini publik adalah umat Islam, termasuk dirinya.

ADVERTISEMENT


Kelima, muslim AS selalu membawa-bawa hokum Syari'ah. Ini juga tidak sepenuhnya benar. Syari'ah yang bersifat hukum privat dan Fikih Ibadah, memang ia tetapi Syari'ah dalam aspek Fikih Siyasah (politik) tidak pernah digagas di AS. Muslim AS tahu diri sebagai kelompok minoritas, secara logika dan secara demokratis sulit mengusung Fikih Siyasah Ifikih Politik) di AS. Bagi umat Islam di AS, hukum positif AS tidak menghalangi umat Islam untuk menjadi muslim sejati.

Nasaruddin Umar
Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)




(lus/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads