Larangan jilbab di kelas bakal diterapkan di Austria mulai tahun ajaran baru mendatang. Ketentuan ini baru saja disahkan oleh Parlemen Austria pada Kamis, 11 Desember 2025 lalu.
Menurut aturan tersebut, larangan penggunaan jilbab di kelas berlaku untuk anak-anak di bawah usia 14 tahun. Larangan ini berlaku selama pelajaran berlangsung dan saat istirahat, sedangkan perjalanan di luar lingkungan sekolah tidak diatur.
Aturan ini mulai berlaku pada bulan Februari dan akan mulai disosialisasikan kepada pendidik, orang tua, dan anak-anak tanpa sanksi bagi yang melanggarnya. Namun setelah tahap sosialisasi ini, orang tua akan dikenakan denda jika berulang kali tidak mematuhi aturan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Orang tua dan anak melanggar aturan ini, akan dikenakan denda mencapai sekitar USD 175 hingga USD 940 atau sekitar Rp 2,9 juta-Rp 15 juta (Kurs Rp 16.690).
Alasan Aturan Larangan Jilbab Disahkan
Undang-undang larangan jilbab resmi disahkan oleh koalisi pemerintahan pusat Austria. Pihak pemerintah berpendapat, aturan ini diteken sebagai upaya untuk melindungi hak-hak anak.
Pemerintahan Austria mengklaim, aturan baru ini bisa mengubah sekitar 12.000 anak perempuan.
"Jilbab pada anak perempuan berusia 11 tahun adalah dan tetap merupakan tanda penindasan," kata Menteri Integrasi Austria Claudia Plakolm selama konferensi pers di Wina bulan lalu, dikutip dari New York Times, Rabu (17/12/2025).
Plakolm menilai, selama ini anak perempuan mengembangkan perasaan malu dan mendapatkan citra tubuh yang menyimpang. Itu membuat harga diri mereka dipandang menjadi tidak stabil.
Aturan ini sebenarnya bukan hal baru bagi pemerintahan Austria. Sebab, sejak 2019, pemerintah telah memperkenalkan larangan penggunaan jilbab bagi anak-anak di bawah usia 10 tahun di sekolah dasar, tetapi Mahkamah Konstitusional Austria membatalkannya pada tahun berikutnya.
Mahkamah Konstitusional memutuskan bahwa larangan tersebut ilegal karena mendiskriminasi umat Muslim, dan bertentangan dengan kewajiban negara untuk bersikap netral secara agama.
Namun, pemerintah Austria terus berupaya agar undang-undang tersebut ditegakkan, sampai akhirnya disahkan pada Desember 2025.
Undang-undang Akan Digugat
Komunitas Agama Islam Austria, sebuah asosiasi yang mewakili umat muslim Austria, mengumumkan bahwa mereka akan menggugat undang-undang tersebut di pengadilan. Menurut mereka, jilbab tidak boleh dipaksa, begitu pun juga tidak boleh dilarang.
"Tidak ada anak yang boleh dipaksa mengenakan jilbab; itu tidak dapat dinegosiasikan bagi kami. Tetapi pada saat yang sama, tidak ada anak yang boleh dicegah oleh larangan negara untuk secara sukarela menjalani identitas keagamaan mereka," kata Γmit Vural, presiden asosiasi tersebut, dalam sebuah pernyataan, dilansir Al Jazeera.
Direktur pelaksana asosiasi hak-hak perempuan Amazone, Angelika Atzinger, menambahkan bahwa larangan jilbab akan mengirimkan pesan kepada para gadis "bahwa keputusan sedang dibuat tentang tubuh mereka dan bahwa ini sah".
Selain dari pihak komunitas muslim, aturan ini turut menuai sorotan dari berbagai pakar. Seorang peneliti senior di Bridge Initiative Universitas Georgetown, Farid Hafez, mengatakan aturan larangan jilbab bisa mencerminkan wacana Islamofobia yang dominan di Austria.
"Undang-undang terbaru ini bukan berasal dari pemerintahan sayap kanan ekstrem semata," katanya.
Sementara pakar migrasi dan integrasi di Universitas Ekonomi dan Bisnis Wina, Judith Kohlenberger, mengatakan bahwa undang-undang tersebut mungkin akan melemahkan persatuan dan kesatuan di Austria. Menurutnya, aturan baru bisa mendorong beberapa orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka di rumah atau menuntut anak-anak mereka untuk melewatkan kelas-kelas pilihan.
"Ada kekhawatiran bahwa langkah politik ini dapat memiliki efek sebaliknya, yaitu lebih banyak segregasi," kata Kohlenberger dalam sebuah wawancara.
Diketahui, penduduk muslim dalam populasi Austria telah meningkat sejak pengungsi dari Albania serta Bosnia dan Herzegovina melarikan diri dari perang Balkan tahun 1990-an. Populasi muslim meningkat lagi setelah pengungsi dari Suriah dan Afghanistan menetap di Austria sekitar satu dekade lalu.
Saat ini, muslim berjumlah lebih dari 8 persen dari populasi Austria. Jumlah ini termasuk yang terbesar kedua setelah Katolik Roma.
Selain Austria, Prancis merupakan satu-satunya negara Eropa lain yang melarang jilbab. Dalam hal ini, Denmark, Belgia, dan negara-negara lain memiliki undang-undang yang melarang penutup wajah penuh.
Untuk Jerman memiliki beragam undang-undang yang mengatur jilbab untuk guru, meskipun peraturan tersebut berbeda-beda di setiap wilayah.
(faz/nwk)











































