Pakar: Eksploitasi Lahan Sawit Bukti Sistem Pendidikan Belum Berbasis Alam

ADVERTISEMENT

Pakar: Eksploitasi Lahan Sawit Bukti Sistem Pendidikan Belum Berbasis Alam

Cicin Yulianti - detikEdu
Jumat, 12 Des 2025 12:00 WIB
Pakar: Eksploitasi Lahan Sawit Bukti Sistem Pendidikan Belum Berbasis Alam
Diseminasi Hasil Riset 2025 Pusat Pendidikan BRIN, di Auditorium Gedung Widya Graha, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan pada Jumat (12/11/2025). Foto: Cicin Yulianti/detikcom
Jakarta -

Anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sekaligus pakar bidang energi, Tri Mumpuni menyoroti soal sistem pendidikan di Indonesia yang masih belum berbasis karakter dan keseimbangan alam. Menurutnya, jauhnya siswa dari pendidikan alam dapat memengaruhi karakter anak ke depannya.

Tri mengambil contoh ekspolitasi lahan sawit yang terjadi secara besar-besaran di Sumatera. Data Forest Watch Indonesia mencatat 11,9 juta lahan di Sumatera sudah dialih fungsikan sebagai lahan sawit.

Menurut Tri, hal tersebut terjadi karena prinsip pendidikan selama ini mengarahkan anak pada pola pikir ekonomi, sehingga ketika dewasa mereka menjadi rakus. Tri menyebut seharusnya anak didik diajarkan pendidikan berbasis keseimbangan alam dan energi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Hasil dari masyarakat economic growth ya, pertumbuhan ekonomi dalam pendidikan kita, itu menghasilkan seperti yang sekarang kita lihat di Sumatera. Enggak usah jauh-jauh," ujar Tri dalam acara Diseminasi Hasil Riset 2025 Pusat Pendidikan BRIN, di Auditorium Gedung Widya Graha, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan pada Jumat (12/11/2025).

ADVERTISEMENT

Pendidikan Harus Ajarkan Keseimbangan Alam

Pengusaha yang dikenal juga sebagai "Wanita Listrik" tersebut menambahkan energi di alam bukan saja soal listrik. Lebih jauh dari itu, energi kemanusiaan lebih dipentingkan untuk menghasilkan keseimbangan alam.

"Lain dengan kalau kita bicara energy balance, itu collectivity yang selflessness dan altruistic, kesolehan. Kita bicara kesolehan di sini, tidak hanya kesolehan individu. Di republik ini kesolehan individu banyak banget, tapi bagaimana itu bisa terjadi dari kesolehan individu menjadi kesolehan sosial," ujarnya.

Sementara realitas saat ini menurut Tri, orang-orang lebih mementingkan keuntungan individual. Sehingga keseimbangan alam tidaklah tercipta dengan baik.

"Kalau kita bicara economic growth dalam sistem pendidikan kita, hasilnya ini profit, keuntungan. Kalau kita bicara energy balance, belief dalam kehidupan kita adalah benefit," tuturnya.

"Dan dalam economic growth yang dipikir hanya individuality, egois, dan greed, keserakahan. Greed is being good (keserakahan itu baik), ada yang terdengar seperti itu," tambahnya.

Anak Didik Harus Punya Rasa Kemanusiaan

Untuk melahirkan generasi muda yang sadar akan lingkungan, wanita asal Semarang tersebut menekankan adanya perubahan kebijakan pendidikan. Menurutnya, siswa harus dikuatkan pendidikan karakter.

Pendidikan tidak hanya soal mengisi otak dengan pengetahuan. Tri sepakat jika pendidikan bisa menumbuhkan kepekaan siswa terhadap masalah sosial dan lingkungan.

"Persoalahan sekarang sering kan kita, akal sehat yang common sense is very expensive and very rare (akal sehat sangat mahal dan sangat langka). Sudah sangat sulit membuat orang punya akal sehat. Kalau ada akal sehat, tidak mungkin penjarah Sumatera itu terjadi," katanya.

"Ini tidak bisa kita diamkan. Harus ada perubahan yang besar-besaran dari sistem pendidikan kita," tegas Tri.




(cyu/nah)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads