15 Siswa SMP di kawasan Jalan Kunti, Surabaya, Jawa Timur dinyatakan positif narkoba. Temuan ini diperoleh dari tes urine acak pada 50 siswa SMP dan SMA yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN).
"50 Siswa, 15 orang itu adalah pengguna aktif terkait dengan narkotika. Adik-adik kita yang usia SMP itu. Ya, ini suatu keprihatinan yang harus kita rumuskan bersama, kita harus mempunyai satu misi untuk menyelamatkan mereka," kata Kepala BNN Jatim Brigjen Pol Budi Mulyanto kepada wartawan di BNN Jatim, Kamis (13/11/2025), dilansir detikJatim.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan, khusus kasus narkotika pada siswa SMP bukan kejahatan. Namun, anak bersangkutan harus mendapat bantuan agar kasus ini tidak berulang.
Budi menyatakan empat langkah untuk memastikan anak diamankan dari paparan penyalahgunaan narkoba. Pertama, melakukan rehabilitasi atau penyembuhan terhadap anak pengguna narkotika. Kedua, mengikutsertakan orang tua. Ketiga, memastikan lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
"Empat, ini yang harus kita kerjakan bersama untuk mengentaskan mereka, yakni menyelamatkan adik-adik kita ini dari ketergantungan narkotika," ucapnya.
Anak Korban Narkoba Jangan Dikeluarkan dari Sekolah
Selaras, sosiolog Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), M Febriyanto Firman Wijaya menyatakan siswa bersangkutan adalah korban. Ia menyarankan agar sekolah mengurangi dampak buruk (harm reduction) narkoba alih-alih mengeluarkan siswa dari sekolah.
Ia menjelaskan, mengeluarkan siswa dari sekolah justru berisiko mengembalikan anak ke lingkungan jalanan. Hal ini dapat berbuntut pada anak kembali terpapar narkoba. Di samping itu, stigma pada anak juga memperburuk keadaan dan mengancam masa depannya.
"Mereka korban. Tidak boleh dikeluarkan dari sekolah," ucap dosen yang akrab disapa Riyan ini, dikutip dari laman kampus, Selasa (18/11/2025).
"Sekolah harus menjadi zona aman. Fokus sanksi harus diarahkan kepada pihak luar yang mengeksploitasi anak-anak, bukan kepada siswa korban," ujarnya.
Pemulihan Hubungan Anak di Sekolah
Riyan menjelaskan, langkah harm reduction sekolah dapat berbentuk Kelas Dukungan Pemulihan yang ditujukan bagi siswa terpapar narkoba. Cara ini menurutnya menjamin hak siswa untuk mendapat pendidikan.
Penerapan restorative justice menurutnya juga perlu dilakukan sekolah. Dalam hal ini, siswa menjalani pemulihan hubungan dan reintegrasi ke sekolah, bukan dengan hukuman retributif seperti dikeluarkan dari sekolah.
Riyan juga menyarankan agar pendidik di sekolah dapat bertransformasi dari sosok yang disiplin menjadi sosok pendamping emosional yang suportif.
"Guru BK harus menjadi jembatan ke layanan rehabilitasi, bukan sekadar memberi hukuman," katanya.
Ubah Program Pencegahan Narkoba
Ia juga menyorot program antipenyalahgunaan narkoba di sekolah. Pendekatan dengan model seperti DARE menurutnya kurang relevan bagi anak masa kini sehingga butuh pencegahan yang lebih sesuai.
DARE atau Drug Abuse Resistance Education merupakan salah satu bentuk program pendidikan melawan penyalahgunaan narkoba di AS. Pada program ini, siswa berjanji tidak mengunakan narkoba ilegal. Selama beberapa pekan, anak juga menyimak penjelasan dari penegak hukum tentang bahaya penyalahgunaan narkoba, seperti dikutip dari laman resminya.
Riyan menjelaskan, remaja saat ini mengalami tekanan cyberbullying, anomali digital, dan kebutuhan akan kepuasan instan, yang mendorong pada pelarian seperti penggunaan narkoba.
Faktor-faktor tersebut menurutnya juga ditimpa dengan ketimpangan sosial struktural. Dengan stres, masalah kesehatan mental, dan akses terbatas ke sosok pengayom, remaja dari keluarga berpenghasilan rendah lebih rentan dieksploitasi pengedar.
Untuk itu, ia menyarankan sekolah untuk menerapkan pelatihan resiliensi. Siswa peserta program ini diajarkan keterampilan mengatur diri (self-regulation), literasi digital kritis, dan keterampilan mengelola stres secara sehat.
Saran ke Pemerintah & BNN
Menurutnya, Pemkot Surabaya dan Badan Narkotika Nasional perlu menelurkan kebijakan sosiologis yang lebih agresif untuk melindungi anak dari penyalahgunaan narkoba. Riyan memandang peristiwa ini bukan sekadar kenakalan remaja, tetapi sinyal krisis struktural yang butuh intervensi kebijakan sosial.
"Kasus ini adalah alarm serius. Penanganannya tidak cukup dengan pendekatan moralitas, tetapi membutuhkan perbaikan institusi dan lingkungan sosial secara menyeluruh," ucapnya.
Ia menilai akar persoalan penyalahgunaan narkoba oleh siswa disebabkan oleh kontrol informal yang gagal dilakukan lingkungan. Merujuk pada teori jendela pecah (broken windows), kehadiran pengedar dan bandar di kawasan Kunti, Surabaya menurutnya berisiko membuat anak terbiasa akan paparan negatif ini.
"Ini bukan semata kegagalan keluarga. Lingkungan yang rusak membuat remaja rentan, dan komunitas kehilangan fungsi kontrol sosial," ucapnya.
Ia menyarankan pendekatan sistem sosial ekologis sebagai berikut:
Revitalisasi Infrastruktur Sosial
- Membangun pusat kegiatan remaja yang dikelola komunitas di kawasan setempat.
- Menyediakan program seni, olahraga, dan pelatihan gratis sehingga waktu luang anak digunakan untuk aktivitas positif.
Integrasi Outreach Worker Lokal
- Merekrut tokoh masyarakat atau mantan pengguna yang pulih sebagai petugas jangkauan BNN untuk menjangkau remaja berisiko melalui jejaring informal.
Pengawasan Jaringan Sosial di Sekitar Sekolah
- Mewajibkan pemantauan titik-titik rawan seperti warung atau area pertemuan informal yang sering dimanfaatkan pengedar.
(twu/nwk)











































