SMAN di Cimarga, Lebak, Banten tengah menjadi sorotan usai ramai kepala sekolah (kepsek) menampar murid yang ketahuan merokok di lingkungan sekolah. Kini, kepala sekolah tengah menjalani proses penonaktifan.
Peristiwa ini turut disorot oleh Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) yang menilai perlu ada catatan evaluasi. Pertama soal dugaan menampar yang tidak bisa dinormalisasi.
Kedua, merokok di lingkungan sekolah harus digarisbawahi sebagai kesalahan atau pelanggaran, yang tidak boleh dinormalisasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menurut kami, kekerasan di sekolah tidak bisa dibenarkan, begitupun merokok di lingkungan pendidikan, jelas tidak boleh dinormalisasi, keduanya melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku," ujar Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim, melalui keterangan tertulis yang diterima Rabu (15/10/2025).
Kekerasan dan Merokok di Lingkungan Sekolah Melanggar Undang-Undang
Satriwan menjelaskan kekerasan dalam bentuk apa pun dilarang di lingkungan sekolah. Ini telah diatur dalam Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023.
Dalam aturan itu, disebutkan bahwa warga sekolah baik guru maupun murid tidak boleh melakukan kekerasan dalam bentuk apapun. Bentuk kekerasan dalam Pasal 6 dan 7 disebutkan terdiri atas: Kekerasan fisik; Kekerasan psikis; Perundungan; Kekerasan seksual; Diskriminasi dan intoleransi; Kebijakan yang mengandung kekerasan; dan bentuk kekerasan lainnya.
Sementara untuk larangan merokok khususnya di fasilitas pendidikan seperti sekolah telah diatur berdasarkan UU No. 17 Tahun 2023 pasal 151 dan PP No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Secara spesifik, Kemendikbudristek sudah mengeluarkan Permendikbud No. 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah, khususnya di pasal 5 ayat 1 berbunyi:
"Kepala sekolah, guru, peserta didik, dan pihak lain dilarang merokok di lingkungan sekolah."
Sanksi yang Bisa Diberikan
Dalam Permendikbud No. 64 Tahun 2015 pasal 5 ayat 2, kepala sekolah diberi kewenangan untuk memberi sanksi kepada guru, murid, atau tenaga kependidikan yang merokok di lingkungan sekolah. Namun, sifatnya teguran atau peringatan terlebih dahulu.
"Kepala sekolah wajib menegur dan/atau memperingatkan dan/atau mengambil tindakan kepada guru, tendik, dan peserta didik apabila melakukan larangan tersebut," ungkap Satriwan.
Meskipun sekolah atau kepala sekolah berwenang memberi sanksi kepada peserta didik yang merokok, tetapi tidak boleh ada sanksi berupa kekerasan fisik karena telah dilarang oleh UU.
UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 76C menyebut:
"Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak."
Dalam hal ini, sekolah-sekolah di Indonesia seharusnya sudah memiliki "Aturan Tata Tertib Sekolah" dengan klasifikasi jenis-jenis pelanggaran dan tingkatan sanksi yang diberikan.
"Sanksi fisik seperti menampar murid rasanya tidak akan ada dalam aturan tata tertib sekolah di Indonesia," imbuh Satriwan.
Menurutnya, jika siswa membawa atau merokok di sekolah, akan dipanggil orang tua, diperingatkan, dibuat surat perjanjian. Bahkan dalam kondisi tertentu siswa dapat dikeluarkan dari sekolah jika sudah melakukan pelanggaran kategori berat.
"Kami menyayangkan kepala sekolah bereaksi dengan dugaan sikap menampar murid tersebut. Meskipun berdasarkan pernyataan Bu Kepsek, bahwa beliau tidaklah menampar atau memukul dengan keras muka murid tersebut, sehingga berdarah atau luka lainnya, melainkan dengan pelan," tutur Satriwan.
Proses Penonaktifan Kepala Sekolah Perlu Ditinjau Ulang
Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, menilai proses penonaktifan kepala sekolah imbas kasus ini, perlu diperhatikan. Menurutnya, ada aturan tersendiri untuk memprosesnya.
Berdasarkan pasal 39 Permendikbudristek 46 Tahun 2023, disebutkan bahwa penanganan kekerasan oleh satuan pendidikan dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan dengan tahapan, penerimaan laporan; pemeriksaan; penyusunan kesimpulan dan rekomendasi; tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan; dan pemulihan.
"Nah, apakah pencopotan jabatan kepala sekolah ini sudah melalui mekanisme seperti itu? Apakah hasil laporan Satgas dari Pemda melalui proses laporan, pemeriksaan dan rekomendasi pencopotan jabatan? Yang kami khawatirkan sanksi ini berdasarkan perasaan semata karena kasusnya viral," kata Iman.
Iman khawatir, bahwa selama kasus ini terjadi, tidak ada laporan dan pernyataan dari Satgas TPPK yang seharusnya dibentuk oleh Pemda. Ia juga memandang, orang tua cenderung sangat berlebihan melaporkan kepala sekolah kepada aparat kepolisian.
Dalam hal ini, P2G menggarisbawahi bahwa regulasi mulai dari UU sampai aturan teknis sudah sangat lengkap mengatur mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam proses pendidikan di sekolah.
Maka dari itu, P2G mendesak Gubernur Banten tidak terburu-buru melakukan pemberhentian kepala sekolah tersebut. Komite Sekolah bersama pihak sekolah diharapkan bersama-sama membangun dialog dan suasana kondusif agar murid kembali aktif bersekolah, tidak dengan aksi mogok belajar yang merugikan murid secara kolektif.
"Pemprov Banten khususnya Dinas Pendidikan melakukan upaya dialog konstruktif bersama orang tua murid pelapor, kepala sekolah, dan guru," desak P2G.
P2G juga meminta aparat kepolisian untuk mengedepankan asas "Restorative Justice" dalam merespons dan menyelesaikan laporan orang tua murid. Pendekatan ini juga telah diatur dalam Peraturan Polri No. 8 Tahun 2021 yang digunakan untuk kasus-kasus tertentu, seperti tindak pidana ringan.
"Kepolisian hendaknya mengedepankan prinsip restorative justice untuk menyelesaikan tindak pidana dengan menekankan pemulihan hubungan dan keadaan, bukan sekadar pembalasan, serta melibatkan korban, pelaku, keluarga, dan tokoh masyarakat untuk mencari penyelesaian damai," tutup P2G.
(faz/nwk)











































