Desakan agar program Makan Bergizi Gratis (MBG) memiliki payung hukum yang lebih kuat semakin menguat. Hal tersebut seperti disampaikan oleh Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtuwene.
Felly mendorong pembentukan Undang-Undang (UU) MBG agar program ini berjalan lebih sistematis. UU juga dapat menjamin berkelanjutan program, terlebih setelah maraknya kasus keracunan massal di sejumlah daerah.
"Tata kelola di sini yang memang betul-betul kurang kontrol, Pak, dan belum paripurna," ujar Felly dalam Rapat Kerja Komisi IX dengan Menteri Kesehatan, Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Kepala BPOM dan Kepala Badan Gizi Nasional, dikutip dari website DPR, Jumat (3/10/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Felly, aturan yang jelas dan mengikat bisa membantu pelaksanaan MBG lebih terkontrol. Ia mendorong adanya aturan minimal Peraturan Presiden (Perpres).
Pembentukkan UU MBG adalah Langkah Strategis
Menanggapi hal itu, pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr King Faisal Sulaiman, menilai pembentukan UU MBG adalah langkah strategis.
"Program ini sejatinya adalah upaya untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia, terutama pelajar. Karena itu, sangat penting jika diatur melalui undang-undang agar keberlanjutannya terjamin. Kalau hanya berbasis Perpres, jelas terlalu lemah. UU akan memberikan kepastian hukum, baik dari sisi kewenangan maupun pembiayaan," katanya dikutip dari laman UMY, Jumat (3/10/2025).
Menurut Faisal, keberadaan UU MBG akan memperjelas pembagian peran antara pemerintah pusat dan daerah. Pasalnya, selama ini pembagian peran masih terlihat kabur, terutama soal mekanisme pendanaan.
"Misalnya soal alokasi anggaran, jangan hanya dibebankan pada APBN. Perlu ada porsi dari APBD agar pembagian tanggung jawab lebih proporsional," jelasnya.
Faisal menekankan, kasus keracunan makanan belakangan ini seharusnya menjadi alarm evaluasi menyeluruh. Hal itu terjadi karena tidak ada dasar hukum yang kuat sehingga sistem pengawasan sulit ditegakkan.
Tak Cukup Normatif, Harus Substansial
Faisal juga menyebut UU MBG tidak boleh berhenti pada norma umum. Ada sejumlah aspek substansial yang perlu diatur, mulai dari tata kelola, mekanisme pengawasan, alokasi anggaran, hingga partisipasi masyarakat.
"Undang-undang ini jangan hanya normatif. Harus jelas soal tata kelola, siapa mengawasi siapa, bagaimana mekanisme anggarannya, dan bagaimana masyarakat bisa ikut serta. Partisipasi masyarakat penting, karena selain memperkuat pengawasan, juga bisa membuka lapangan kerja baru. Jadi dampaknya bukan hanya pada gizi, tapi juga ekonomi," tambahnya.
Selain itu, ia menilai UU MBG harus memuat aturan sanksi yang jelas untuk mencegah penyalahgunaan, baik administratif maupun pidana. Hal ini diperlukan agar tidak ada lagi vendor yang bermain-main dengan kontrak atau menyalahi standar penyediaan makanan.
"Dengan legitimasi hukum yang kuat, pengawasan bisa lebih efektif dan tidak ada lagi vendor yang bermain-main dengan kontrak, apalagi sampai membahayakan kesehatan masyarakat," tegasnya.
(cyu/nah)