Badan Gizi Nasional (BGN) mengusulkan pada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) agar pendidikan gizi masuk sebagai bagian dari kurikulum sekolah. Para siswa rencananya diajarkan konsep dasar gizi, kelompok makanan dan porsi yang tepat, peran zat gizi bagi tubuh, dampak negatif dari kebiasaan makan yang buruk.
Dewan Pakar Bidang Gizi BGN Ikeu Tanziha mengatakan pendidikan gizi dalam kurikulum juga rencananya akan meningkatkan pemahaman siswa tentang gizi seimbang dan mengajarkan siswa mengambil keputusan yang lebih baik terkait asupan makanan.
"Hal ini sudah disampaikan kepada Kemendikdasmen. Tujuan utama dari langkah ini adalah menciptakan generasi Indonesia yang sehat, cerdas, dan berdaya saing," kata Ikeu di Jakarta, Sabtu (19/7/2025), dilansir Antara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mendikdasmen: Pendidikan Gizi Tak Masuk Kurikulum
Sementara itu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti mengatakan pendidikan gizi tidak perlu masuk lewat kurikulum. Ia mengatakan, pendidikan gizi harus ditanamkan lewat kebiasaan.
Mu'ti menjelaskan, Makan Bergizi Gratis sendiri merupakan bagian dari penanaman pendidikan karakter. Di dalamnya, terdapat nilai menghormati sesama, tenggang rasa, cinta lingkungan, kepemimpinan, dan kebersihan.
"Jangan dimaknai semuanya dalam bentuk mata pelajaran, karena tidak semua hal itu harus diajarkan di sekolah. Dibiasakan saja. Kalau nanti bentuknya mata pelajaran, ujung-ujungnya hanya pengetahuan tapi tidak menjadi perilaku. Jadi pendidikan itu adalah proses kita membentuk perilaku melalui kebiasaan dan pembiasaan," kata Mu'ti, Minggu (20/7/2025).
Pakar: Jangan Hanya Andalkan MBG
Merespons usulan pendidikan gizi tersebut, pakar gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (Unair) Lailatul Muniroh SKM M Kes berpendapat, program Makan Bergizi Gratis (MBG) dari pemerintah tidak berdiri sendiri. Untuk itu, literasi gizi lewat pendidikan kontekstual menjadi penting.
"Kita tidak bisa mengandalkan MBG kalau isinya tidak merepresentasikan gizi seimbang. Anak-anak perlu tahu kenapa mereka harus makan makanan sehat, apa akibat dari kekurangan zat gizi makro maupun mikro," ucapnya, dikutip dari laman Unair, Selasa (29/7/2025).
Ia menambahkan, sejumlah ibu sebagai pengampu pertama urusan konsumsi keluarga juga masih sering tidak tahu apakah makanan program MBG memenuhi kebutuhan gizi atau tidak. Maka, perlu sinergi antara sektor pendidikan, kesehatan, serta keluarga dalam mendukung pendidikan gizi anak.
Di sektor pendidikan sendiri, ia menggarisbawahi, perlu kesiapan guru, kurikulum kontekstual, hingga kebijakan yang adaptif terhadap kondisi lokal untuk menjalankan pendidikan gizi.
Usul Konsep Pendidikan Kontekstual
Lailatul Muniroh mengatakan literasi gizi sendiri harus dimulai sejak dini. Ia mencontohkan, pembahasan makronutrien bisa dibahas pada pembelajaran IPA.Gizi juga bisa dibahas melalui pembelajaran Bahasa Indonesia melalui narasi literasi pangan.
Di samping itu, gizi juga bisa bersentuhan dengan Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) melalui proyek penyusunan menu sehat dan pengamatan kantin sekolah.
"Konsepnya adalah pendidikan kontekstual," ucapnya.
"Kita tidak ingin anak-anak sekadar tahu nama sayur, tetapi memahami mengapa mereka harus memilihnya," imbuhnya.
Lailatul Muniroh juga menilai pendidikan gizi perlu dibingkai sebagai bentuk keterampilan hidup (life skill). Dengan begitu, siswa memiliki kesadaran pangan dan gaya hidup preventif sejak usia sekolah.
"Pendidikan gizi adalah investasi jangka panjang. Kalau kita abai hari ini, anak-anak akan membayar mahal di masa depan dalam bentuk stunting, penyakit metabolik, hingga produktivitas yang rendah," ucapnya.
(twu/faz)