Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diduga telah menyebabkan 140 siswa SMP Negeri 8 Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Selasa (22/7/2025). Sejumlah siswa mengaku, makanan yang dikonsumsi sebelumnya terasa asin dan asam.
Mengutip laporan detikBali, Kamis (24/7/2025), kejadian bermula pada Selasa pagi pukul 07.30 Wita. Saat kegiatan belajar dimulai, beberapa siswa mulai izin ke toilet karena diare dan sakit perut.
"Jadi proses KBM sekitar jam 07.30 pagi, sudah ada siswa kami yang bolak-balik ke kamar mandi, ternyata mereka mencret dan ada yang sakit perut," ungkap Maria.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian belasan siswa dirujuk ke rumah sakit. Namun, akhirnya semakin banyak siswa hingga mencapai 140. Mereka dilarikan ke beberapa RS seperti RSUD S.K Lerik, RS Siloam, RS Mamami, RSUD Prof W.Z Johannes, dan RS Leona.
Respons Badan Gizi Nasional
Dua hari usai kejadian, Badan Gizi Nasional telah melakukan pengecekan sampel makanan yang disantap siswa SMPN 8 Kupang. Hasilnya masih menunggu kajian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Kami sedang menunggu hasil kajian BPOM yang mengambil sampel makanan Senin," kata Kepala BGN Dadan Hindayana saat dihubungi, Kamis (24/7/2025), dikutip dari detikNews.
Dalam keterangannya, Dadan mengatakan, ratusan siswa baru merasakan gejala keracunan satu hari setelahnya. Makanan yang disantap Senin, kemudian gejala muncul pada Selasa pagi.
"Makannya Senin, Selasa pagi diketahui ada yang sakit dan makanan (MBG) Selasa belum dimakan," ucap Dadan.
Efek Keracunan Makanan Bisa Muncul Sehari Setelahnya
Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM, Prof Sri Raharjo, menjelaskan, keracunan makanan sering terjadi tanpa tanda-tanda yang terlihat. Efeknya bahkan bisa muncul keesokan harinya.
"Makanan bisa tampak dan terasa normal saat dikonsumsi, tetapi efeknya baru muncul beberapa jam atau bahkan keesokan harinya," terangnya dalam laman resmi UGM, dikutip Kamis (24/7/2025).
Prof Sri Raharjo mengungkapkan, keracunan makanan bisa disebabkan oleh dua hal. Penyebab pertama yaitu food intoxication atau keracunan akibat racun yang dihasilkan oleh bakteri. Sedagkan penyebab kedua yaitu food infection atau infeksi akibat mengkonsumsi bakteri patogen (pemicu penyakit).
Ada Kelalaian dari Pengelola Menu
Dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM itu menyebut, keracunan makanan berasal dari kesalahan atau kelalaian dari pengelola menu. Kesalahan pengelolaannya bisa berupa penyimpanan bahan mentah yang tidak benar, proses memasak daging yang tidak merata, atau penggunaan peralatan yang tidak higienis.
"Daging dari pasar tradisional, misalnya, kerap tidak dibersihkan dengan baik setelah proses pemotongan sehingga rentan terkontaminasi oleh kotoran atau isi usus hewan," ungkap Prof Sri Raharjo.
Menurutnya, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan pemerintah dan semua pihak terkait MBG, yakni kesadaran, kapasitas, dan kontrol. Dalam hal ini, semua pihak, baik penyedia, pelaksana, hingga pengawas, harus memahami risiko dan disiplin menerapkan standar keamanan pangan.
"Penggunaan lemari es yang memadai, alat masak berkapasitas besar, hingga prosedur memasak yang memastikan setiap bagian makanan benar-benar matang," paparnya.
Poin yang tak kalah penting yaitu pemahaman waktu dalam memasak skala besar. Sebab, waktu menjadi faktor kunci terjadi atau tidaknya kontaminasi.
Ia menyarankan, jumlah produksi makanan dalam program MBG dikurangi. Pemerintah perlu mencontoh sekolah-sekolah yang sudah memiliki program makan siang sebelum ada MBG.
"Beberapa sekolah kan sudah ada yang menjalankan program semacam ini, skalanya lebih kecil karena hanya untuk satu sekolah saja. Jadi, pemerintah bisa bekerja sama dengan sekolah sehingga sekolah-sekolah itu kemudian bertanggung jawab dengan makanan siswanya masing-masing," ujarnya.
Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM tersebut menilai, sejak awal program MBG terlalu terburu-buru. Target BGN ingin mencapai 82,9 juta penerima.
Padahal, menurutnya, pemerintah seharusnya fokus pada skala kecil terlebih dahulu. Kemudian dibenahi dan pelan-pelan meluas ke sekolah lain.
"Saya menyebutnya too much, too soon," ucap Prof Sri Raharjo.
"Dengan memperhatikan standar keamanan pangan dan skala produksi yang sesuai, program MBG diharapkan dapat mencapai tujuannya tanpa mengorbankan kesehatan siswa," imbuhnya.
(faz/faz)