Setiap anak mempunyai potensi dan minat masing-masing. Maka dari itu, dibutuhkan pendekatan berbeda untuk setiap anak supaya bakatnya dapat dikembangkan sempurna.
Ini merupakan filosofi pembelajaran diferensiasi yang diungkapkan founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal. Dia mengibaratkan hubungan guru dan murid seperti koneksi orang tua terhadap anak.
"Kenapa orang tua bisa menangani anaknya yang berbeda-beda? Kenapa? Karena punya hati dan cinta kasih. Ketika anaknya nakalnya kayak apapun, diberi kesempatan untuk terus tumbuh dan berkembang karena cintanya kepada anak. Caranya, akhirnya, beda," kata Rizal dalam seminar dengan tajuk "Optimalisasi Potensi Murid Melalui Pembelajaran Diferensiasi Menuju Sekolah Menyenangkan" yang digelar Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, dikutip melalui keterangan tertulis, Senin (13/5/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rizal menekankan pendekatan diferensiasi untuk murid sebagai suatu filosofi pendidikan bukanlah tanpa alasan. Dia menyayangkan konsep ini kerap disalahartikan dan dianggap metodologi belaka yang sering usang dimakan waktu karena timbulnya kesan "memberatkan".
Rizal menilai menjadikan pembelajaran diferensiasi sebagai suatu filosofi alih-alih metodologi bisa membuatnya lebih mudah diresapi para guru dan tetap tinggal sebagai roh pendidikan Indonesia, walaupun program dan sistem dalam bentuk kurikulum terus berganti.
Rizal menyebut bukan lagi waktunya perwujudan diferensiasi di dalam pendidikan hanya sebatas formalitas. Maka dari itu diperlukan kesungguhan dengan pola pikir bahwa pedagogi pendidikan mesti mampu mengeluarkan passion dan potensi bawaan lahiriah setiap individu yang berbeda-beda, sekaligus relevan dengan lingkungan sekitar.
"Inilah wujud dari pendidikan berkebudayaan, sehingga pemaknaan dan penerjemahan kurikulum akan fleksibel, disesuaikan dengan kultur setempat," ungkap Rizal.
"Filosofi ini harus melekat pada diri guru, birokrat pendidikan, dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya," lanjutnya.
Rizal menyebut pendidikan berkebudayaan akan membuat guru menjadikan alam dan kehidupan nyata sebagai laboratorium belajar dan membangun sinergitas belajar antardalam dan luar kelas. Dengan begitu, pembelajarannya dapat melampaui sekat-sekat mata pelajaran.
"Pendidikan akan membebaskan guru dan murid, menyadarkan mereka dari kondisinya yang tidak ideal, lalu, berani berkreasi untuk menciptakan inovasi, gagasan, dan aksi yang berdampak bagi kebaikan bersama," jelasnya.
Kadisdik Kabupaten Banyumas, Joko Wiyono turut berujar guru adalah sahabat untuk para murid. Maka dari itu, kenyamanan dan rasa aman yang tercipta dalam proses belajar dan mengajar hanya akan terjadi jika setiap dialog, interaksi, dan refleksi antara guru dan murid didasarkan oleh rasa cinta.
(nah/twu)