Berkaca pada kasus bullying di sekolah internasional baru-baru ini, Ketua Yayasan Guru Belajar Bukik Setiawan mengatakan langkah dasar praktik antiperundungan terletak pada manajemen sekolah yang mengembangkan peraturan sekolah. Peraturan ini menjadi dasar bagi tindakan dan keputusan guru.
Bukik mengatakan, peraturan sekolah terkait antiperundungan perlu dikomunikasikan sejak awal, sebelum murid diterima hingga sepanjang proses pendidikan murid melalui multi moda komunikasi. Langkah ini perlu dilakukan sekalipun siswa di sekolah memiliki orang tua dengan kekuasaan tertentu, seperti pejabat publik, tokoh publik, atau berstatus ekonomi tinggi.
"Sekolah perlu memastikan, guru, murid dan orangtua punya dasar yang sama dalam mengambil keputusan dan menentukan tindakan," kata Bukik pada detikEdu, Jumat (23/2/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelasakan, salah satu aturan dasar yang penting adalah no gift policy. Larangan bagi orangtua memberi hadiah dalam bentuk apapun kepada guru penting untuk menjaga kredibilitas guru di mata orangtua dan murid. Bukik menambahkan, aturan ini juga penting untuk memastikan perlakuan guru yang setara kepada semua murid dan orangtua.
"Sekali hadiah diterima, maka guru akan tersandera, keputusan dan tindakannya," terangnya.
Langkah Antiperundungan bagi Guru
Sementara itu, Bukik menjelaskan guru juga perlu melakukan langkah-langkah dasar praktik antiperundungan di sekolah. Pertama, bangun relasi yang setara atau tidak tidak membeda-bedakan antarmurid dan orangtua. Guru juga tidak boleh menunjukkan kekaguman pada orangtua tertentu.
Kedua, guru juga perlu mengelola kelas dengan pendekatan disiplin positif. Dalam hal ini, kelas diberdayakan sebagai sistem sosial yang bisa mengatur diri berdasarkan kesepakatan kelas.
Guru juga menurutnya harus mengambil keputusan dan tindakan yang berkesesuaian dengan regulasi negara, peraturan sekolah, kode etik guru dan etika secara umum.
"Keempat, memahami dan bersikap peka terhadap gejala awal terjadinya perundungan seperti relasi antar murid yang tidak setara, kecenderungan berkumpulnya murid pada kelompok tertentu, hingga terjadinya perilaku kekerasan "kecil" baik secara fisik maupun verbal," kata Bukik.
"Kelima, menghindarkan penggunaan hukuman fisik kepada murid yang akan menormalkan terjadinya kekerasan di lingkungan sekolah," pungkasnya.
(twu/nwk)