Kebijakan pemerintah sejak 2000-2023 di tiap kurikulum menekankan pentingnya numerasi. Di sisi lain, kemampuan literasi matematika atau numerasi siswa di Indonesia masih rendah menurut AN 2021-2022 dan survei PISA.
Menelusuri penyebabnya, peneliti Ariyadi Wijaya, Research Associate Tanoto Foundation dan rekan-rekan mengadaptasi konsep kesiapan organisasi untuk menerapkan sebuah program. Dalam hal ini, kesiapan kementerian hingga guru untuk mengadaptasi program-program pendidikan, khususnya terkait numerasi.
Observasi pada 12 SD dan SMP di Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur serta diskusi kelompok terpimpin (FGD) dengan 40 guru mendapati sejumlah faktor kendala siswa sulit capai numerasi di daerah tersebut. Berikut temuannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembelajaran Pasif, Tanpa Konteks Dunia Nyata
Ariyadi menjelaskan, berdasarkan rekomendasi komunitas internasional pembelajaran berorientasi literasi matematika International Community of International Teachers' of Mathematical Modelling Navigation, peningkatan numerasi siswa memerlukan pembelajaran aktif dengan konteks dunia nyata.
Namun, observasi peneliti mendapati masih ada guru yang memberikan pembelajaran pasif tanpa konteks dunia nyata (38%). Ada juga guru yang memberikan pembelajaran aktif tanpa konteks dunia nyata (13%), pembelajaran pasif dengan konteks kosmetik (21%), dan pembelajaran aktif dengan konteks kosmetik.
"Jadi misalkan ibu akan membeli minyak akar 16 liter, dan akan memberikan ke tetangganya akar 3 liter. Jadi memosisikan cerita sebagai riasan saja, belum betul-betul konteks dunia nyata. Ini yang kami maksud konteks kosmetik tadi," terang Ariyadi di Forum Diskusi Peningkatan Kualitas Pendidikan Dasar yang digelar Tanoto Foundation bersama The Smeru Research Institute di Gedung A Kemendikbudristek Jakarta, Selasa (5/12/2023).
Ariyadi menekankan, tantangan peningkatan numerasi siswa yaitu bagaimana guru bisa menghadirkan pembelajaran aktif dengan konteks dunia nyata.
"Observasi kami, baru 4% yang passive learning, real world context (pembelajaran pasif dengan konteks dunia nyata) dan baru 8% active learning, real world context (pembelajaran aktif dengan konteks dunia nyata)," terangnya.
Pengaruh Topik yang Diajarkan
Ariyadi mengatakan, temuan 8% active learning, real world context di sekolah pengamatan sudah menjadi titik awal yang baik. Namun, praktik pembelajaran numerasi yang baik saat ini masih dipengaruhi topik yang diajarkan, seperti topik uang atau belanja yang dipahami guru.
"Tantangnnya adalah konsep-konsep matematika yang hubungan antara konsep dan dunia nyatanya tidak eksplisit," tuturnya.
Mana yang Numerasi?
Studi ini juga mendapati, sejumlah guru juga menganggap numerasi terbatas pada hitung-hitungan saja. Berdasarkan studi pada pandangan guru, sejumlah guru menilai numerasi merupakan soal perhitungan saja tanpa kaitan dengan dunia nyata (13%), bentuk soal singkat atau pilihan ganda maupun benar salah dan menjodohkan jawaban (8%), penerapan matematika dalam kehidupan nyata(15%), dan soal dunia nyata soal perhitungan (60%).
Lebih lanjut, pembelajaran numerasi dianggap menjelaskan materi matematika (3%), melakukan asesmen diagnostik (3%), menggunakan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) dan media pembelajaran, dan drilling soal cerita (55%).
"Tidak salah, drilling juga salah satu cara untuk belajar. Tetapi di sini itu bagaimana fokus pada tidak hanya latihan soal," tuturnya.
Guru Kesulitan Numerasi
Kendala pandangan ini juga ditimpali kesulitan guru sendiri dalam numerasi. Studi mendapati, 5% guru merasa sumber belajar terbatas, kesulitan menghadapi kemampuan siswa yang beragam (20%), dan kesulitan menghubungkan matematika dengan dunia nyata (75%).
Menangkis Kendala Numerasi
Ariyadi menjelaskan, untuk merespons kesulitan peningkatan numerasi di sekolah, perlu penguatan kompetensi guru dan kepala sekolah. Harapannya, guru dan kepala sekolah paham numerasi, pentingnya numerasi, dan terampil membuat soal.
Sementara itu, sambungnya, sekolah perlu program terstruktur untuk numerasi. Sumber belajar numerasi dan lingkungan belajar yang mendukung numerasi pun perlu disiapkan.
"Literasi sudah punya pojok baca, gerakan literasi sekolah sudah sejak dulu ada. Numerasi mungkin our next challenge," pungkasnya.
(twu/nwk)