Ramai kasus 14 siswi di salah satu SMP Negeri di Sukodadi, Lamongan, Jawa Timur, digunduli oleh guru bahasa Inggrisnya. Guru melakukan tindakan tersebut karena para siswa tidak mengenakan ciput atau dalaman jilbab.
Guru berinisial EN itu menghukum dengan mesin cukur yang telah disiapkan. Sementara, menurut keterangan FSGI, tidak ada aturan di sekolah yang wajib mengenakan ciput.
"Tidak seorang pun dapat diberi sanksi ketika tidak ada aturan yang dilanggar. Jika orang dewasa seperti guru memberikan sanksi padahal aturannya tidak ada, maka tindakannya melampaui kewenangan, itu pelanggaran HAM," ujar Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar FSGI, dalam keterangan resminya, Rabu (30/8/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tindakan guru pelaku juga bisa dikenakan pasal perbuatan tidak menyenangkan, karena perbuatan tersebut berpotensi kuat mempermalukan, merendahkan, sewenang-wenang, menyerang psikis 14 anak korban," lanjutnya.
Senada, Heru Purnomo, Sekjen FSGI juga menilai guru bisa menerapkan disiplin positif ketika ada pelanggaran di satuan pendidikan. Bukan dengan hukuman atau kekerasan.
"Miris kasus ini terjadi justru ketika Kemendikbudristek sedang giat-giatnya menghapus 3 dosa besar di pendidikan sebagaimana ketentuan dalam Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Di Satuan pendidikan", ujar Heru.
Dorong Kemdikbud Turun Langsung
Terkait kasus ini, FSGI dorong Itjen Kemdikbud untuk melakukan pemeriksaan secara langsung. Dalam penanganan kasus, FSGI berharap Kemdikbud tidak hanya mendengarkan pihak sekolah, dinas pendidikan, maupun guru, tetapi juga semua pihak termasuk kepolisian.
"FSGI mendorong Itjen Kemendikbudristek dengan Pokja Penanganan Kekerasan di satuan pendidikan segera turun tangan, datang ke lokasi, dengarkan suara para korban, wawancara secara acak dengan sejumlah siswa dan perwakilan orangtua," tulis keterangan resmi FSGI.
Rekomendasi FSGI
Di samping mendorong Kemdikbud untuk turun langsung, FSGI juga memberikan lima rekomendasi, di antaranya:
1. Dorong Inspektorat Periksa Guru dan Kadisdik
FSGI mendorong Inspektorat Kabupaten Lamongan untuk memeriksa guru pelaku dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan. Karena menurut FSGI penyelesaian kasus tidak menggunakan hukum positif atau peraturan perundangan terkait perlindungan anak dan Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan.
2. Minta KOMPOLNAS Periksa Kepolisian Lamongan
FSGI mendorong Komisi Kepolisian Nasional atau KOMPOLNAS untuk memeriksa pihak kepolisian Lamongan yang telah menangani kasus ini dengan restorative justice dalam UU Perlindungan Anak. FSGI meyakini prinsip restorative justice tidak bisa diterapkan ketika pelaku adalah orang dewasa dan korbannya adalah anak di bawah umur.
Restorative Justice adalah ketentuan penyelesaian kasus anak yang berkonflik dengan hukum dalam UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Pada aturan ini, dijelaskan posisi anak adalah pelaku dan korbannya bisa sesama anak dan atau orang dewasa. Kasus ini justru sebaliknya, pelaku orang dewasa dan 14 korban usia anak.
3. Pemda Fasilitasi Transparansi Kasus
Pemerintah Daerah didorong untuk memfasilitasi penanganan kasus dan transparansi dalam proses penanganannya. Menurut keterangan resminya, FSGI mendapat dugaan isu penjualan seragam sekolah dan pemaksaan menggunakan jilbab bagi siswi yang beragama islam,
4. Minta Organisasi Profesi Guru Catutkan Kekerasan Sebagai Pelanggaran Kode Etik
FSGI mendorong seluruh organisasi profesi guru untuk mencantumkan bahwa tindak kekerasan adalah pelanggaran kode etik guru. Jadi kode perilakunya, dalam mendisiplinkan anak harus menggunakan disiplin positif tanpa kekerasan.
5. Lakukan Asesmen Psikologi
FSGI menyarankan asesmen psikologi serta pendampingan pada ke-14 korban. Adapun asesmen dan pendampingan bisa dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Lamongan.
(nir/faz)