Kelemahan Mayoritas Pelajar Indonesia Menurut Dosen Unesa, Apa Itu?

ADVERTISEMENT

Kelemahan Mayoritas Pelajar Indonesia Menurut Dosen Unesa, Apa Itu?

Novia Aisyah - detikEdu
Selasa, 08 Agu 2023 07:30 WIB
Lokasi sekolah menyediakan fasilitas untuk mencuci tangan bagi para siswa dan siswi karena bagian dari protokol kesehatan sebelum kompetisi dilaksanakan
Foto: DEDYISTANTO
Jakarta -

Hanya ada lima persen pelajar di Indonesia yang dapat menjawab permasalahan sains dengan baik. Hal ini diungkapkan oleh Dr Sifak Indana, MPd, dosen Fakultas Matematika dan IPA (MIPA) Universitas Negeri Surabaya (Unesa).

Dr Sifak mengatakan, kelemahan mayoritas pelajar di Indonesia adalah kurangnya kemampuan dalam berpikir saintifik untuk memverifikasi informasi secara logis dengan dasar ilmiah karena rendahnya literasi sains.

Doktor bidang Pendidikan Biologi lulusan Universitas Negeri Malang (UM) itu memaparkan, literasi sains merujuk pada kemampuan dalam mengaplikasikan pengetahuan dan pendekatan ilmiah untuk menganalisis isu ilmiah, menjelaskan fenomena, dan menarik kesimpulan menurut fakta yang ada.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Literasi sains punya peran penting agar seseorang mampu memahami dunia di sekitarnya dan mengambil keputusan menurut informasi yang dapat dipercaya," ujar Sifak dalam sarasehan daring (sedaring) Literasi Majemuk pada Sabtu (5/8/2023), dikutip dari keterangan tertulis Unesa.

Kemampuan Manusia yang Melebihi Teknologi

Dosen FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Dr Ariyadi Wijaya turut mendukung pernyataan tersebut. Menurutnya, kelemahan ini adalah basis siswa di Indonesia yang sekadar memahami suatu rumus, tetapi belum memahami makna dan kegunaannya.

ADVERTISEMENT

Pada era digital ini, disebutkan bahwa masih banyak ditemukan pelarangan siswa dalam memanfaatkan teknologi di mata pelajaran sains, contohnya kalkulator. Alat ini dinilai mampu menghambat kinerja otak.

"Kita tidak bisa menghambat teknologi untuk kebutuhan sehari-hari dan jangan sering mengandalkan. Ada satu kemampuan manusia yang melebihi dari teknologi, yakni kemampuan bernalar," kata Dr Ariyadi Wijaya.

Tak hanya kemampuan bernalar, perkembangan zaman juga dinilai mengharuskan seseorang memiliki literasi digital dan numerasi sebagai dasar menyelesaikan masalah dari beragam konteks yang sejalan dengan perkembangan teknologi. Kemampuan ini salah satunya diterapkan dalam Kurikulum Merdeka.

Dr Asri Wijiastuti, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UNESA menambahkan, literasi sains untuk anak berkebutuhan khusus dapat diterapkan melalui sejumlah metode. Urgensi pemahaman ABK dalam literasi sains merujuk pada bagaimana hidup bermasyarakat sampai keselamatan diri.

"ABK bisa didampingi dengan perangkat lunak yang bisa mengubah suara menjadi tulisan atau sebaliknya yang bisa membantu dimensi proses dengan menggunakan bukti ilmiah sebagai materinya," ungkapnya.

Pendampingan ini dinilai dapat menjawab tantangan baru literasi sains era digital pada ABK. Melalui panduan dan dukungan tepat, maka anak ABK akan mampu memahami dan menganalisis informasi yang ditemukan di dunia digital secara kritis dan mengidentifikasi berbagai sumber yang dapat dipercaya.




(nah/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads