Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf menyorot carut marut PPDB sistem zonasi. Dia meminta pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melakukan perbaikan dengan cara mencari solusi atas permasalahan penerimaan siswa baru jalur zonasi.
Dede menegaskan, jika setiap tahun permasalahan selalu terjadi, maka perlu adanya perbaikan. Dia mengatakan, pihak Kemendikbudristek diberi waktu hingga Oktober mendatang.
"Kalau setiap tahun permasalahan ini selalu terjadi, perlu ada perbaikan. Dan kami beri waktu sampai Oktober ini, jika masih belum ketemu solusi, maka ubah sistemnya," ujarnya dalam keterangan (27/7/2023), dikutip dari detikNews.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Usul PPDB Kembali ke Sistem Pendaftaran Sekolah yang Dulu
Dede mengusulkan agar PPDB dikembalikan seperti sistem pendaftaran sekolah terdahulu, yaitu berdasarkan nilai hasil ujian akhir sekolah. Contohnya seperti ketika masih ada nilai EBTANAS murni atau NEM. Meski demikian, menurutnya sistem semacam ini juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan setiap daerah.
"Maka kita akan minta segera membuat sistem baru yang lebih mengedepankan azas dan hak ke testing (ujian), misalnya bisa kembali kepada sistem 'NEM', namun testing-nya itu hanya buat pendaftar-pendaftar yang non-zonasi," paparnya.
Walau demikian, Dede menyebut sistem zonasi masih tetap diadakan, tetapi berkurang jadi 20%.
"Jadi sistem zonasinya masih tetap ada, ya zonasi bisa berkurang lah menjadi 20%, lalu ada sistem prestasi, itu nonakademik," lanjutnya.
Di samping usulan itu, Dede turut meminta pemerintah mempertimbangkan agar mengambil alih tanggung jawab terhadap siswa yang tidak diterima di sekolah negeri. Misalnya dengan memberi bantuan dana atau subsidi bagi peserta didik yang pada akhirnya terpaksa masuk sekolah swasta. Langkah ini utamanya bagi siswa dari keluarga kurang mampu.
"Karena banyak sekali keluarga yang terjebak pada masalah biaya pendidikan setelah anaknya tidak diterima di sekolah negeri. Jadi boleh bersekolah di swasta tapi dibiayai oleh negara, itu opsi yang lebih kuat lagi, tetapi nanti ujung-ujungnya adalah kemampuan anggaran negara harus siap," terangnya.
Pertimbangkan Panja PPDB
Komisi X DPR sedang mempertimbangkan adanya panitia kerja atau panja PPDB, mengingat kompleksnya masalah penerimaan siswa baru. Menurutnya, panja tersebut tak hanya untuk mencari solusi mengenai sistem PPDB, tetapi juga dapat menangani banyaknya temuan pelanggaran oknum-oknum tertentu.
"Sekarang tugas pemerintah merespons apabila temuan Ombudsman merujuk adanya pelanggaran administratif oleh guru dan pejabat-pejabat terkait. Kita pantau, kalau perlu sehabis reses bikin Panja PPDB," kata dia.
Dede ikut menggarisbawahi data UNICEF yang mengatakan bahwa 4,1 juta anak-anak di Indonesia usia 7-18 tahun tidak memperoleh pendidikan pada 2021. Jumlah tersebut jauh dari target Sustainable Development Goals (SDGs) yang menargetkan agar tidak ada anak yang tidak sekolah pada 2030.
Merujuk Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan, Dede mengingatkan bahwa Negara perlu melakukan berbagai usaha untuk menjamin agar setiap anak di Tanah Air dapat bersekolah demi masa depan yang baik.
Dede mengatakan, pendidikan adalah hak anak yang wajib dilindungi negara. Dengan adanya pendidikan, maka anak-anak bisa mengembangkan potensinya dan menjadi SDM unggul berkualitas.
Maka dari itu, dia berharap polemik PPDB bisa segera dituntaskan, sehingga negara memenuhi kewajibannya sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945.
"Polemik PPDB harus segera diselesaikan, dibarengi dengan upaya Pemerintah untuk melakukan pemerataan fasilitas pendidikan dan meningkatkan jumlah sekolah serta kualitas gurunya. Tentunya hal ini juga akan berpengaruh jika ingin mempertahankan sistem PPDB zonasi," ujarnya.
(nah/twu)