Kisah Pencipta Hymne Guru: dari Siulan hingga Jual Jas buat Kirim Lirik

ADVERTISEMENT

Kisah Pencipta Hymne Guru: dari Siulan hingga Jual Jas buat Kirim Lirik

Trisna Wulandari - detikEdu
Minggu, 02 Jul 2023 10:00 WIB
Sartono, guru honorer seni musik pencipta Hymne Guru
Inilah kisah Sartono, pencipta Hymne Guru yang sempat kerja di Lokananta, grup keroncong, hingga menjadi guru seni musik honorer sampai menutup mata. Foto: Dok. Sartono
Jakarta -

Hymne Guru Pahlawan tanpa Tanda Jasa diciptakan Sartono pada 1980. Saat itu ia seorang guru honorer untuk mata pelajaran seni musik di SMP Katolik Santo Bernardus, Madiun, Jawa Timur.

Baru dua tahun sebelumnya ia menjadi guru di sana. Sartono disebut sebagai satu-satunya guru musik yang bisa membaca not balok di Madiun saat itu.

"Bapak belajar musik secara otodidak. Beliau adalah guru seni musik yang belajar sendiri dari berbagai pengetahuan. Pada tahun 1978, Pak Sartono adalah satu-satunya guru seni musik yang bisa membaca not balok di wilayah Madiun. Itu semua ia pelajari sendiri, tanpa mengenyam pendidikan tinggi tentang musik," terang sang istri, Damiyati, seperti dikutip dari Antara Jatim.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kisah Pencipta Lagu Hymne Guru

Kelahiran 29 Mei 1936 ini semula putus sekolah di kelas 2 SMA di SMAN 3 Surabaya. Sartono pun mulai bekerja di perusahaan rekaman dan piringan hitam Lokananta, seperti dikutip dari Why Must Teacher oleh Dody Rhys Rasyid.

Lokananta adalah bekas badan usaha milik negara Indonesia di bidang perekaman. BUMN yang berkantor di Solo, Jawa Tengah ini semula bagian dari Jawatan Radio Kementerian Penerangan Republik Indonesia. Fungsi utama Lokananta saat itu menduplikasi bahan siaran Radio Republik Indonesia (RRI). Kelak, Lokananta menjadi bagian Percetakan Negara RI.

ADVERTISEMENT

Sartono kemudian bergabung dengan grup musik keroncong Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) di Madiun. Pada 1978, ia pun memantapkan diri jadi guru seni musik honorer.

Siulan Hymne Guru & Jual Jas

Suatu hari pada 1980, Sartono sedang dalam perjalanan menuju Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani) Nganjuk, Jawa Timur. Ia ke sana untuk mengajar kulintang.

Di perjalanan, Sartono tidak sengaja membaca pengumuman lomba cipta lagu Hymne Guru. Kompetisi itu diselenggarakan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), yang kini jadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Kompetisi cipta lagu pendidikan itu bertepatan dengan momentum Hari Pendidikan Nasional pada tahun 1980. Sartono pun tertarik ikut lomba cipta lagu itu.

Damiyati menuturkan, karena keterbatasan alat musik yang ia punya, Sartono menciptakan lagu Hymne Guru dengan bersiul sambil mencatatnya di atas kertas.

Lirik Hymne Guru karya Sartono semula melebihi durasi 4 menit yang ditentukan. Alhasil, ia pun membuang beberapa lirik dan menutupnya dengan baris pahlawan tanpa tanda jasa.

Namun ia terkendala uang untuk mengirim lirik tersebut ke Depdiknas. Alhasil, ia menjual jas untuk menutupi ongkos kirim.

Lagu Wajib Nasional

Kerja keras dan lirik Hymne Guru karya Sartono yang indah mengantarkannya sebagai pemenang lomba cipta lagu tersebut. Karyanya mengalahkan kiriman ratusan peserta.

Lagu Hymne Guru ditetapkan pemerintah sebagai lagu wajib nasional pada tahun 1980. Di samping mendapatkan sejumlah uang sebagai pemenang, yang Sartono bersama sejumlah guru teladan lainnya di seluruh Indonesia dikirim ke Jepang untuk studi banding.

Kelak, Sartono pun menciptakan delapan buah lagu bertema pendidikan lainnya, dikutip dari laman Kemdikbud.

Guru Honorer & tanpa Royalti

Sartono kelak menjadi guru honorer sampai pensiun. Kendati punya karya lagu pendidikan populer, semasa hidup, ia tidak menerima royalti apapun dari lagu ciptaannya itu, seperti dikutip dari Mencari Perlindungan Guru oleh Syahrul Mustofa, SH, MH.

Hymne Guru Pahlawan tanpa Tanda Jasa kerap digunakan dalam berbagai produksi rekaman maupun cetakan. Namun tanpa royalti, pensiunan ini hidup sederhana dari uang pensiunan ia dan istrinya di masa senja.

Damiyati menuturkan, Sartono purna tugas sebagai guru honorer dari sekolah tersebut pada 2002. Untuk bertahan hidup, pasangan ini mengandalkan gaji Damiyati yang merupakan PNS guru dan mengajar di SDN Klegen V Kota Madiun. Sang istri kelak pensiun per Januari 2011.

"Selama bertugas, gajinya sangat pas-pasan, bahkan tidak banyak. Bapak pernah menerima gaji hanya Rp22 ribu per bulan waktu itu, kemudian bertahap naik hingga Rp 60 ribu per bulan. Penghasilan tersebut disesuaikan dengan jam mengajar Bapak," papar Damiyati.

Bentuk apresiasi dari pemerintah di sisi lain berupa penghargaan, antara lain dari Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Yahya Muhaimin (2000), Dirjen Pendidikan Soedardji Darmodihardja, dan Mendiknas Bambang Soedibyo (2005).

"Seingat kami, perhatian sekali pernah diberikan oleh Wali Kota Madiun yang saat itu menjabat, yakni Bapak Kokok Raya. Beliau memberikan bantuan berupa satu unit sepeda motor Garuda pada 2006," tuturnya.

Damiyati bercerita, penghargaan dan perhatian lainnya terus mengalir, justru dari universitas, lembaga, dan komunitas lain. Sartono pun kerap menerima bantuan dari penggalangan dana oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jatim, Paguyuban Warga Madiun di Jakarta, komunitas motor, dan sejumlah komunitas lainnya.

Lebih lanjut, IDI Jatim menyiapkan biaya, tenaga medis, maupun lainnya untuk Sartono. Inilah yang menepis rumor Sartono sakit dan butuh bantuan sumbangan saat itu. Terlebih, Sartono sendiri sedang di perjalanan menuju warga Madiun dan sekitarnya di Jakarta.

Akhir Hayat Pahlawan tanpa Tanda Jasa

Di masa senja, Damiyati kerap menemani Sartono sebagai tamu ke sejumlah daerah. Pada 2004, ia sempat diminta TNI AD untuk menghibur dan memberi semangat para guru di Tanah Rencong. Damiyati mengatakan, sang suami berharap guru-guru kelak memperoleh kesejahteraannya, kendati mereka berdua dapat hidup sederhana.

Sartono dan Damiyati terus hidup di rumah kayunya di Jalan Halmahera Nomor 98 Kelurahan Oro-Oro Ombo, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun.

"Kondisi Bapak (Sartono) saat ini sudah pikun karena usianya yang renta. Tapi kalau diajak menyanyi Hymne Guru, beliau masih ingat dan bersemangat," tutur Damiyati pada 2011.

Empat tahun kemudian, ia menuturkan, Sartono terjatuh dari ranjang tempat tidur pada Kamis, 15 Oktober 2015. Dua hari kemudian, ia enggan makan dan lengannya terasa sakit. Dua pekan kemudian, Sartono mengalami koma di RSUD Madiun. Refleks nyeri, kedipan mata, serta komunikasi pada organ tubuh tidak lagi muncul.

Sartono mengembuskan napas terakhirnya pada 1 November 2015, sekitar pukul 12.40 WIB. Ia dinyatakan meninggal akibat komplikasi gejala stroke, jantung, kencing manis, dan penyumbatan pembuluh darah di otak. Pahlawan tanpa tanda jasa ini meninggalkan karyanya sebagai apresiasi bagi pendidik se-Indonesia.




(twu/nwy)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads